Dendam Winarsih

Dia Kembali Lagi



Dia Kembali Lagi

0Bram terbangun dari pingsannya, dia melihat tidak ada siapa pun di kamarnya, sedangkan dia sekarang berada di lantai dengan keadaan polos. Tubuhnya sakit dan perih, Bram melihat ke arah tubuhnya da ternyata luka yang tempo hari muncul lagi dan membuat dia meriang.     

"Dia kembali lagi, luka ini muncul kembali dan rasanya sangat sakit sekali, kenapa ini muncul lagi, padahal sudah di obati," gumam Bram yang berusaha bangun dan menggerakkan badannya perlahan.     

"Aku merasakan, jika aku sudah di tipu oleh dukun itu, awas saja mereka semuanya," ucap Bram lagi sambil berjalan pelan menuju kamar mandi.     

Bram melihat lukanya makin merah dan ada bekas tangan di tubuhnya. Bram kembali mengingat jika bekas tangan ini adalah tangan Narsih dan tentu saja membuat dia mengepalkan tangannya dengan kencang.     

"Hantu itu benar-benar membuat aku kehabisan akal, aku tidak tahu harus berbuat apa, dia selalu menang dan tidak pernah kalah sama sekali, aku sangat muak dengan dia," omel Bram yang membersihkan lukanya, dia mandi perlahan dan selesai mandi lukanya di berikan obat dari dukun Agung.     

"Aahkkk, perih sekali, aku harus istirahat, tubuhku sangat sakit, biarkan mereka mencari aku, Diman kenapa tidak ada kabar sama sekali, apa sudah mati dia," gumam Bram yang langsung duduk di ranjang dan perlahan merebahkan diri di kasur.     

Drt ... drt ...     

Bram menoleh ke arah nakas ada telpon masuk, Bram meraih telpon dan langsung mengangkat telpon yang tertera nama Diman yang tentunya membuat kening Bram berkerut.     

"Halo, ada apa Man?" tanya Bram kepada Diman.     

"Aku mau tanyakan, apakah kamu sudah bunuh si Deki, aku sudah katakan, anak buah aku sudah menemukan dia, apa jadi kamu eksekusi dia?" tanya Diman kepada     

Bram terdiam sesaat, dia tidak tahu harus apa, dan dia juga bingung karena dirinya tidak mengerti apa yang harus dia katakan. Diman yang tidak mendengar jawaban Bram menghela nafas, pagi-pagi sudah melamun pikir Diman kepada Bram.     

"Masih pagi ini Bram, jangan melamun, aku hanya ingin tahu sudah kamu eksekusi belum, kenapa tidak ada kabar sama sekali?" tanya Diman lagi.     

Bram yang melamun langsung tersentak dan menghembuskan nafasnya secara kasar.     

"Aku rasa, kita tidak mungkin bisa mengeksekusi Deki, anak buahku meninggal dan dia meninggal di tempatku, di depan mataku, Narsih yang bawa dan Narsih juga membuat mereka meninggal, entah di mana mayat yang dia tunjukkan padaku semalam, aku gagal juga membawa rambutnya Narsih, dia lebih dulu mengambilnya," ucap Bram dengan suara yang lemas karena dia sudah tidak bisa mendekati sahabatnya itu.     

"Jadi, maksud kamu, mereka di lindungi oleh Narsih, bukannya dia pembunuh juga, kenapa bisa di lindungi oleh Narsih?" tanya Diman kepada Bram.     

"Entah lah, oh ya, tubuh kamu luka lagi tidak ? Aku luka lagi, dan sekarang makin sakit, aku sudah kasih obat, tapi masih berdenyut juga," ucap Bram dengan suara lirih.     

"Iya, aku juga, tadi pagi aku baru tahu, dan kata istriku, aku tidak bisa dekat dengannya, dia bilang tubuhku bau tanah dan bau bangkai, entah lah, aku bingung, sekarang mereka kembali ke rumah mertuaku, aku tidak tahu harus apa saat ini, " ucap Diman yang mengingat istrinya pergi dari rumah karena tubuhnya kembali terluka.     

"Pakai saja obat yang mbah Agung berikan, jika habis kita ke rumah dia lagi, gurunya ke sini katanya mau bantu, jika kamu mau bisa kita ke sana," ucap Bram lagi.     

"Boleh, aku ke rumah kamu saja Bram, aku sepi di rumah sendirian," ucap Diman kepada Bram yang mengeluh karena dia kesepian di tinggal istrinya.     

"Datang saja, aku juga lagi tiduran, tubuhku lemas karena sakit yang aku derita, aku merasa nyawaku hampir lepas karena luka ini," keluh Bram yang merasakan tubuhnya sakit karena luka tidak kunjung sembuh.     

"Baiklah, aku akan ke sana, kamu tunggu saja ya, aku di sana," sambung Diman kepada Bram.     

Panggilan keduanya berakhir dan Bram kembali meletakkan telponnya di atas nakas. Bram memejamkan matanya, dia mengingat saat dia menjadi pria yang jauh dari semua yang dia alami sekarang. Ada rasa penyesalan di hati tapi balik lagi dia tidak bisa mengulang waktu yang sudah lewat, sekarang menerima apa yang akan terjadi di depannya.     

****     

Dino yang sudah sampai rumah, masuk bersama Paijo, mereka selamat dari sosok itu, tapi itu hanya sebentar, mereka langsung di hadapkan oleh sosok yang tadi mereka hindari.     

Brakkkk!     

Mobil pak ustad, langsung remuk di hantam sosok yang tiba-tiba muncul di depan mereka. Pak ustad dan yang lainnya terkejut mengetahui keributan yang terjadi, mereka buru-buru ke luar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi di luar.     

Crkelkkk!     

Semua yang sudah di luar berlari keluar rumah dan melihat ada keributan apa. Saat di luar rumah, mereka melihat ada sosok yang menurut mereka mengerikan yang sedang berada di atas mobil pak ustad.     

"A-ada ini?" tanya Ian yang heran melihat sosok yang mengerikan sedang memandang ke arah Narsih.     

"Dino, ada apa? Kenapa kalian di luar dan Nona kenapa ada di sini? Bukannya dia di sana ya?" tanya mang Dadang yang heran Nona kembali lagi.     

"Dia kembali lagi mang, tadi kami jumpa dia di rumah Bram dan dia ikuti kami, kami bawa dia jauh dan meninggalkan dia tapi lihatlah, dia kembali lagi, dan sekarang merusakkan mobil pak ustad, terlalu sekali dia," ucap Paijo kepada Mang Dadang.     

"Nona kami jemput, pokoknya panjang ceritanya mang, yang jadi masalah itu dia, dia ini biang keroknya dan lihat lah dia sudah menghancurkan mobil pak ustad, harus minta ganti ke pemiliknya," ucap Dino kepada mang Dadang lagi.     

"Hajar saja mbak Narsih jangan biarkan dia lepas, tarik ubun-ubunnya yang tidak seberapa ini, aku ingin sekali menghajar dia, geram sekali aku," ucap Ian yang kesal dengan sosok yang entah apa maunya.     

Narsih memandang ke arah sosok yang ada di depan matanya, dia bersiap ingin menyerang tapi dia mendengar lantunan ayat suci dari pak ustad, Narsih mundur ke belakang, dia tahu kalau ini pasti jebakan untuk dia karena di rumah Bram, Bram sudah berani mengambil rambutnya apa lagi ini.     

"Ini pasti dukun Bram, kita harus cari tahu Paijo, di mana dukun itu berada," bisik Ian dengan suara pelan.     

"Iya kamu benar, kita harus segera mengikuti dia lagi, jika tidak maka habislah kita, kita akan terus diikuti sosok yang lainnya," jawab Paijo yang mundur kala sosok yang di mobil pak ustad Mahdi menggeliat kepanasan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.