Dendam Winarsih

Bisa Sembuh Mbah



Bisa Sembuh Mbah

0Sanusi menunggu di tempat yang tadi di awal dia menunggu, dia terdiam di sana menunggu si mbah keluar.     

Tap ... tap ...     

Langkah kaki terdengar menaiki tangga dan saat di atas terlihat kepala pelayan yang tadi melarang mereka untuk nginap di sini.     

Sanusi melihat kepala pelayan yang datang dan menatap ke arah Sanusi dengan tatapan menyelidik.     

"Sanusi, saya mau tanya, kenapa kamu membawa orang asing itu, bukannya biasanya pak Bram itu menemuo dokter? Apa kamu yang melakukannya kah? Atau kamu yang menyarankannya, biasanya pak Bram tidak melakukannya, dia pasti ke rumah sakit tidak ke tempat itu, kenapa kamu membuat dia sesat Sanusi?" tanya Pak kepala Djorghi kepada Sanusi yang memandang dia dengan tatapan datar.     

"Bapak menyalahkan saya kah? Apa bapak tidak bertanya kepada langsung ke pak Bramnya? Tidak kan? Kenapa hmm? Takut kah?" tanya Sanusi dengan wajah kesal karena dia di tuduh yang tidak-tidak.     

"Kamu kan anak buahnya, kenapa saya tanya dia, lagian besok kalian pulang saja, saya akan panggil dokter saja, biar dokter yang biasa saja yang rawat pak Bram dan sahabatnya ith," jawab kepala pelayan dengan wajah yang sedikit kesal dan tentunya membuat Sanusi mandang tajam ke arahnya.     

"Baik, saya akan bilang ke pak Bram kalau anda mengusir kami, kita lihat siapa yang di usir aku apa anda, aku tahu bagaimana sifat bos, jadi kita lihat saja ya," ucap Sanusi kepada pak kepala pelayan dengan tegas dan sedikit mengancam.     

Kepala pelayan yang mendengar apa yang di ucapkan oleh Sanusi mengertakkan gigi, dia tidak tahu kenapa Sanusi bisa mengancam dia, Sanusi tidak peduli jika dirinya di tatap tajam karena dia tidak salah, dia bos Bram yang memintanya buka dia yang minta, jadi dia tidak mungkin mau melakukan apa yang tidak bosnya minta.     

"Saya pastikan, pak Bram memecat anda karena sudah membuat dia tersesat," ucap pak Djorghi dengan tatapan tajam.     

Sanusi hanya diam saja dan tidak lagi mengatakan apapun, dia diam dan melihat pak pelayan itu pergi dari hadapan dia dan bersamaan mbah Agung keluar dari kamar bos Bram dan mendekati Sanusi yang wajahnya tidak sedap di pandang.     

"Dia kenapa lagi?" tanya mbah Agung kepada Sanusi yang wajahnya di tekuk dan masam.     

"Ya begitu lah, dia ingin menunjukkan kalau dia yang berkuasa, ada perlu apa mbah?" tanya Sanusi yang melihat mbah Agung datang menemui dia.     

"Tidak ada, karena mereka masih tidur dan lukanya juga sudah mengering dan tidak seperti tadi," jawab mbah Agung kepada Sanusi yang di anggukkan oleh Sanusi.     

"Jadi, mereka nggak perlu obat yang mbah bilang tadi kan?" tanya Sanusi kepada mbah Agung yang meramu obat lainnya.     

"Perlu, jika tidak kita tidak bisa melihat luka itu sembuh," ucap mbah Agung kepada Sanusi yang menatap dia meramu obat.     

"Baiklah, kalau begitu, tapi bisa sembuh mbah bos Bram dan sahabatnya itu?" tanya Sanusi yang masih penasaran dengan obat-obatan.     

"Bisa, dia bisa sembuh kok, jangan khawatir, saya hanya kasih obat yang dari guru saya katakan," jawab si mbah.     

Sanusi menganggukkan kepala dan dia juga tidak banyak bicara dia hanya melihat si mbah membuat ramuan yang untuk bosnya.     

"Sudah, saya mau kasih ini dulu, dan kamu tunggu di sini," jawab si mbah lagi.     

Syurrrrr!     

Angin masuk ke ruang tamu dan keduanya saling pandang satu sama lain dan menatap ke arah jendela yang kain gordennya tersibak cukup kencang.     

"Saya rasa, kita kedatangan tamu," ucap mbah Agung kepada Sanusi yang memandang dirinya.     

"Siapa mbah?" tanya Sanusi yang penasaran karena mendengarkan apa yang mbah Agung katakan.     

"Saya rasa itu dia yang datang, tapi saya tidak tahu, saya masuk dulu, saya mau lihat dulu kalau begitu," ucap mbah Agung yang beranjak ke dalam untuk melihat keadaan Bram dan Diman.     

Mbah Agung masuk ke dalam kamar Bram, dia melihat kamar Bram masih aman dan tapi dia merasakan ada sesuatu yang aneh di kamar itu.     

Narsih yang berdiri di dekat sudut jendela memandang mbah yang membawa ramuan untuk Bram dan Diman, dia berusaha untuk mengobati Bram dari kutukan yang dia ucapkan di depan kuburannya.     

"Aku rasa kamu pasti bertanya kenapa aku mengobati dia kan?" tanya mbah Agung kepada Narsih yang berdiri di tempatnya.     

Mbah Agung berjalan menuju tempat di mana Bram tidur, terlihat keduanya tidur sangat nyenyak, dan Narsih yang mendengarnya hanya tersenyum kecil dan terbang perlahan ke arah mbah Agung dan berdiri di belakangnya.     

Mbah Agung yang tahu akan hal itu tersenyum dan tentu saja dia tidak bisa berbalik, Narsih seolah menempel dengan punggungnya.     

"Pergilah, dia sudah menderita, jangan salahkan aku jika kamu yang tidak akan bisa kembali dan tidak tenang," jawab mbah Agung kepada Narsih yang masih tetap berada di belakangnya.     

"Aku rasa kamu akan tahu apa yang akan aku lakukan, aku tidak akan melepaskan dia, dia sudah membuat hidupku menderita dan aku tidak akan membuat dia tenang sebelum dendamki terbalas, lihatlah, ini belum seberapa ada lagi yang harus aku lakukan untuk dia dan aku pastikan dia akan mendapatkannya, jangan sekali-kali dekat dengan dia jika tidak ingin aku melakukan hal yang sama, menjauh lah dari dia," ungkap Narsih dengan wajah yang datar.     

"Aku tidak takut, aku akan melawanmu, dan itu pasti," ucap mbah Agung dengan tegas dan di sambut tawa dari Narsih.     

"Aku akan pastikan kamu akan mendapatkan hal yang sama mbah tua, aku pastikan itu," ucap Narsih yang terbang dan langsung menghilang dari mbah Agung.     

Bram yang mendengarnya terdiam, dendamnya masih ada padaku, dia tidak akan melepaskan ternyata, aku harus bersiap membuat dia tidak akan kembali ke alam baka pikirnya kembali.     

Mbah Agung yang memandang Bram yang sudah membuka mata tersenyum, dia tahu Bram pasti mendengarnya dan tentu saja dia tidak bisa berkata apa-apa.     

"Kamu mendengarkannya, baiklah, jangan kamu dengarkan dia dan ingat kamu tidak perlu dengarkan dia, dan ingat satu hal kalau kamu harus tetap bertahan, lukamu juga sudah sembuh, aku akan bantu kamu. Tapi, kenapa kamu tidak mau mengakui saja, jangan lawan dia, dia bukan tandinganmu, aku juga tidak bisa karena dia sudah terlalu dendam pada kalian, berdamailah dan akui saja, itu saran dariku," nasehat mbah Agung kepada Bram yang tentu saja meminta Bram menyerah.     

Bram yang mendengarnya hanya diam saja dan tidak mengatakan apapun dia hanya bisa melamun. Mbah Agung tidak bisa berkata apa-apa lagi dia hanya bisa melihat apa yang pasiennya ini lakukan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.