Dendam Winarsih

Pemakaman Diman



Pemakaman Diman

0Dina cukup lama bersama dengan suaminya, akhirnya dia membiarkan perawat rumah sakit mengurusnya, pemakaman Diman akan di lakukan esok hari.     

"Aku harus ikhlas mas, semua jalan yang terbaik buat kita semuanya, aku berharap kamu tenang mas di sana dan tidak sakit lagi," ucap Dina dengan lirih.     

Mama mertua Dina mendekati menantunya yang duduk di bangku tunggu, dia menunggu jasad Diman di urus oleh Papa mertuanya.     

"Ikhlas kamu sayang?" tanya mama Amy ke Dina menantunya yang kini harus hidup sendiri dan membesarkan anak-anak seorang diri.     

"Sebagai manusia, apa kita harus ikhlas atau tidak Ma? Kita juga akan ke sana, jadi apapun itu saya akan ikhlas dan selalu ikhlas, tidak penting apa yang terjadi nantinya, saya akan ikhlas selalu, semua untuk memudahkan jalan mas Diman nanti," jawab Dina yang lebih tegar dari sebelumnya.     

Berita meninggalnya Diman tersebar, Deka dan Deki yang mendengar kabar sahabatnya meninggal terdiam dan mereka tidak percaya dengan apa yang mereka dengar saat ini.     

"Dia meninggal juga, tapi dia sakit apa ya, apa dia sakit karena kutukan atau apa," gumam Deki yang sudah pulih dan akan kembali ke keluarganya dan tentu hanya sebentar saja, dia akan mengakui apa yang telah dia janjikan ke Narsih.     

"Diman, aku harap kamu tenang di senang di sana selalu," ucap Deka yang melihat TV di rumah sakit memberitakan kematian Deki seorang pengusaha terkenal.     

Bram yang tubuhnya sudah tidak bisa di gerakkan sama sekali tidak mengetahui kalau Diman meninggal, dia hanya mengandalkan mbah Agung yang merawatnya.     

"Mbah, ada kabar buruk, sahabat bos Bram meninggal, yang waktu itu datang ke sini, dan hari ini dia di makamkan, duh kasihan sekali, apa yang akan kita katakan kalau bos tanya ya?" tanya Sanusi ke mbah Agung.     

Mbah Agung yang mendengar apa yang dikatakan oleh Sanusi hanya menghela nafas panjang, dia tidak tahu apa yang akan dia katakan ke Bram.     

"Dia saja sudah seperti itu apa dia akan menanyakan ke saya bagaimana kabar sahabatnya, saya hanya mau dia membuka jimat itu, dengan begitu kita bisa lebih mudah obati dia," jawab Mbah Agung ke Sanusi.     

"Tapi, kalau dibuka bukannya seperti sahabatnya itu, yang ada kita yang di salahkan, mbah mau di salahkan?" tanya Sanusi ke mbah Agung.     

"Saya mau ketemu dengan dia, kamu mau bawa saya ke sana tidak?" tanya mbah Agung yang meminta Sanusi untuk membawa dia ke tempat wanita yang Bram incar.     

"Maksudnya siapa yang mbah Agung katakan itu?" tanya Sanusi yang bingung siapa yang di maksud oleh mbah Agung.     

"Wanita yang bos kamu kejar itu, aku yakin dia bisa membantu bos kamu itu, ayo temani saya, jika kamu mau," ucap mbah Agung yang mengatakan siapa orangnya.     

"Baiklah, kapan kita ke sana?" tanya Sanusi ke mbah Agung.     

"Mbah maunya sekarang, mumpung si Bram tidur," jawab mbah Agung ke Sanusi dan di anggukkan oleh Sanusi.     

Keduanya langsung beranjak pergi, sebelum pergi mbah Agung melihat Bram baik saja dan bisa di tinggalkan sebentar.     

Di tempat lain, Dina yang sudah kembali ke rumah dengan jenazah Diman, dia langsung duduk bersama dengan anak-anaknya. Papa Diman mendekati anak mantunya, untuk menanyakan apa kah sudah bisa di makamkan atau belum.     

"Dina, kita harus memakamkan Diman, jangan terlalu lama, yang ada kita akan menghambat dia di sana, dia akan tersiksa," ucap Papa Diman ke Dina.     

"Baiklah, kalau begitu, makamkan saja, terlalu lama pun tidak baik juga," jawab Dina dengan tenang.     

Papa Diman yang mendengar apa yang dikatakan oleh anak menantunya pun menganggukkan kepala. Papa Diman pun bangun dan meminta pegawai di rumahnya untuk mengangkat jasad Diman untuk di bawa ke pemakaman.     

Dina pun ikut dari belakang dia ingin sekali mengantar kan Diman ke peristirahatan terakhirnya.     

"Mama, apa Papa tidak kembali lagi ke kita?" tanya anak Diman ke Dina yang ikut keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil.     

"Iya nak, Papa sudah kembali ke tempat yang bahagia, dia akan tenang di sana, kita di sini doakan papa ya nak," ucap Dina ke anaknya.     

Anak Dina menganggukkan kepala dan memeluk Dina dengan erat. Perjalanan mereka ke pemakaman Diman tidak terlalu lama, mobil pun sampai di tempat yang di tujuan.     

Dina keluar dari mobil dan langsung mengikuti orang mengangkat keranda Diman, Dina benar-benar tidak menyangka Diman harus pergi, dia sudah mendapatkan semua yang dia lakukan di dunia ini, dia benar-benar sudah tidak lagi memikirkan dendam wanita itu, dia sudah tenang.     

Perlahan keranda Diman di turunkan ke liang lahat, tidak terasa air mata Dina turun bercucuran dia tidak tahu jika ini kepergian terakhir suaminya dari sisinya, ada rasa penyesalan di hati Dina yang tidak bersama dengan suaminya.     

"Sabar sayang," ucap Mama Dina ke anaknya.     

Dina menganggukkan kepala, di harus sabar dan ikhlas dalam menghadapi cobaan ini. Keranda Diman tertutup dengan tanah dan tentu saja dia melihat terakhir suaminya dan setelah ini tidak lagi. Semua menaburkan bunga ke makam Diman dan setelah itu semuanya pulang satu persatu.     

"Ayo Dina, kita pulang, kasihan anak kamu, kita harus segera pergi dari sini." ucap Mama Dina ke Dina.     

"Iya Ma," jawab Dina dengan cepat.     

Dina yang mendekati makam Diman, dia mengelus batu nisan Diman, dia menangis karena dia akan meninggalkan Diman sendirian.     

"Aku pergi ya, aku harap kamu bahagia dan tenang di sana, aku akan mendoakan kamu," ucap Dina ke makam Diman.     

Dina yang sudah pamitan langsung beranjak meninggalkan makam Diman dan pergi bersama anaknya. Selesai sudah kehidupan Diman di dunia ini dia sudah tenang, dia tidak takut lagi.     

Malam harinya, di rumah Diman di adakan pengajian dan tentu saja Narsih berada di sana dia melihat istri Diman yang sudah membunuh dirinya tegar, satu orang sudah meninggal dan satu lagi yang belum meninggal. Dan dua lagi juga sudah mengatakan ke keluarga kalau mereka melakukan kesalahan dan tinggal pulih mereka akan menyerahkan diri.     

Narsih meninggalkan rumah Diman, dia akan melihat Bram yang masih pada pendiriannya untuk tidak mau melepaskan jimatnya itu, dia juga tidak ingin meninggal di tangan Narsih.     

"Kamu masih betah Bram, kamu tidak ingin pergi kah? Jika kamu tahu sahabat kamu meninggal maka kamu akan tahu bagaimana karma itu Bram," ucap Narsih yang sudah berada di kamar Bram dan melihat wajah Bram yang sudah tidak seperti biasanya, dia kelihatan menyedihkan sekali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.