HE ISN'T MYBROTHER

Suasana Canggung



Suasana Canggung

0Suasana menjadi cengang. Rachel yang biasanya berisik menjadi terdiam kaku. Bibirnya terasa kelu. Bahkan untuk menelan salivanya pun terasa susah.     

Tatapan Rachel bergirlya dari atas hingga ujung kaki Delon. Mata hitam Rachel berhenti sejenak pada benda yang tercetak tertutupi oleh handuk kecil yang sengaja Delon pasang pada pinggang kekarnya.     

Kali ke dua. Saliva Rachel sangat sulit turun. Astaga, pemandangan apa ini. Jantung Rachel berdegub dengan kencang.     

Pasalnya Rachel memang baru bertemu dengan Delon pagi ini.     

Dengan cara yang seperti ini pula. Delon pulang saat Rachel telah tertidur. Tentu Rachel sangat terkejut dengan pria tampan di depannya saat ini.     

"Hai. Kenapa kesini?" tanya Delon sembari menggoyahkan rambut basahnya.     

Lagi, dan lagi. Rachel dibuat terpesona dengan ketampanan Delon. Setiap gerakkan Delon selalu membuat Rachel terbungkam.     

Delon yang melihat adiknya bersikap aneh. Delon langsung menanyakan kembali maksud kedatangan Rachel ke kamarnya.     

"Kenapa kesini? Lain kali ketuk pintu dulu." Delon meninggalkan Rachel untuk mengambil pakaiannya. Sedangkan Rachel masih saja terpaku di balik pintu.     

Setelah kepergian Delon. Rachel berhasil mengerjapkan matanya dengan susah. Bahkan napasnya menghela keras.     

Astaga, apa yang terjadi? Tubuhku tadi susah bergerak. Kak Delon sangat tampan.     

"Emm... a--aanu itu, Kak. Mama ...," jawab Rachel kebingungan. Seraya memaju mundurkan telunjuk jarinya.     

"Mama?" tanya Delon lagi sembari mengernyit, "Kenapa? Kamu masih nakal?" lanjutnya. Langkah kaki Delon semakin mengikis jaraknya dengan Rachel.     

Delon sudah siap dengan setelan kemeja rapi dengan sepatu hitam pantofelnya.     

Rachel menatap bingung dengan pakaian yang dipakai kakaknya. Bukannya Delon baru datang dari Amerika? Kenapa Delon ingin pergi lagi?     

Rachel menggeleng cepat. "Kak mau kemana? Bukannya kamu baru pulang?"     

"Ke kampus."     

Rachel membulatkan matanya. Kenapa kakaknya ingin pergi kekampus? Lagi-lagi Rachel dibuat bertanya-tanya.     

"Bukan urusan kamu." Delon mendorong tubuh Rachel hingga terbentur tembok. Delon keluar tanpa memperdulikan nasib Rachel yang sedang meringis kesakitan.     

Brak!     

"Agh... sakit," lenguh Rachel mengulas siku tangannya yang terbentur tembok.     

"Mentang-mentang udah tampan, sikap kak Delon jadi sombong," gumam kesal Rachel.     

Delon mengeluarkan napas beratnya. Bukan hanya Rachel saja yang terlihat canggung tadi. Delon pun juga merasa sedemikian rupa.     

Matanya teralih pada baju tidur mini yang dipakai oleh adiknya itu.     

Meskipun ini bukan hal yang baru bagi Delon. Tapi, kali ini berbeda. Jujur jantung Delon bergemuruh dengan cepat.     

Kaki jenjang putih selaras dengan wajah bantal Rachel. Membuat perempuan itu terlihat sangat menggairahkan jiwa lelaki Delon.     

Namun dengan cepat. Delon menipis pikiran kotornya itu.     

Delon berkali-kali mengumpat kebodohannya saat itu. Hingga dia harus berjuang menyembunyikan perkembangan benda tumpul miliknya di balik handuk putih kecil yang menyemat dalam pinggang kekarnya, tadi.     

Rachel... Rachel. Hasrat gila sebagai seorang pria membuat Delon harus menyadarkan dirinya berkali-kali.     

Seandainya hubungannya dengan Rachel tidak serumit ini. Pasti sejak dulu Delon telah menyatakan perasaannya.     

Sedangkan di lantai bawah. Mama Martha tidak henti-hentinya mendumel mengenai kelakuan putri satu-satunya itu. Rachel.     

Bibi Rina hanya tersenyum mendengar ocehan nyonya besarnya. Setiap hari Martha memang selalu bercerita atau mengeluh mengenai sifat kekanak-kanakan Rachel padanya.     

Bi Rina sudah bersama keluarga itu semenjak Nona mudanya terlahir kedunia. Bi Rina datang karena rekomendasi dari Tuan besar Jeicho, ayah dari Jeno.     

"Nona muda Rachel memang seperti itu, Nyonya. Ulahnya selalu saja membuat kita kangen." Bela bi Rina sembari tangannya sibuk memindahkan sayuran segar ke dalam almari pendingin.     

"Aku bisa darah tinggi dengan cepat kalau seperti ini, Bi. Anak itu tidak mau berkuliah, tidak mau melanjutkan bisnis papanya"     

"Mau jadi apa dia nanti," lanjut Martha dengan pasrah.     

Bibi Rina hanya menarik senyumnya kembali. "Nona sangat cantik dan pintar, Nyonya."     

Jika tidak ada Rachel di rumah ini. Mungkin suasana tidak akan sebahagai saat ini. Di penuhi teriakan. Aduan. Dan kejahilan dari Rachel.     

Bi Rina sangat beruntung bisa bekerja dengan majikan sebaik keluarga Tuan Jeno.     

Mendengar penjelasan dari bi Rina tadi. Martha mengukir senyum bahagianya.     

Rachel adalah karunia Tuhan yang sangat istimewa bagi Martha. Di tengah penantian Martha selama bertahun-tahun sebagai seorang wanita.     

"Masak iga sapi, sama apa ya, Bi? Buat tuan nanti di kantor," tanya Mama Martha yang sudah melupakan rasa kesalnya.     

"Soup ayam, Nyonya? Bagaimana?" tawar bi Rina.     

Mama Martha pun mengangguk. Saran itu adalah salah satu daftar dari kesukaan suaminya.     

"Tapi, kenapa tuan masuk kekantor, Nyonya? Bukannya hari ini tuan muda Delon yang menggantikan?" tanya Bi Rina lagi dengan rasa penasarannya.     

Pasalnya tuan besarnya sudah memutuskan pansiun saat tuan mudanya kembali dari inggris menyelesaikan study-nya.     

Dan sekarang Delon telah kembali.     

"Delon baru saja pulang, dia saja belum menengok kantor, sudah langsung ditugaskan kakak ipar di...," belum sempat Martha melanjutkan kalimatnya. Suara Delon memotong dengan sapaan paginya.     

Dari arah anak tangga. Turun pria tampan kekar dengan kemeja hitamnya turun perlahan. Dengan rambut hitam tertata rapi.     

"Selamat pagi, Ma." Sapa Delon yang sudah terduduk di meja makan, "Papa ke kantor, Ma?" tambahnya.     

"Selamat pagi, Bi Rina. Apa kabar?"     

Bi Rina ikut tersenyum menyambut sapaan tuan mudanya itu. Ketampanan Delon semakin bertambah. Hingga membuat bi Rina sedikit terbengong.     

"Selamat pagi, Tuan muda. Selamat datang, Tuan. Kabar bibi Alhamdulilah baik." Delon membalas dengan anggukan dan senyum tampannya kepada bi Rina.     

"Syukurlah."     

Martha tersenyum bahagia ke arah pusat panggilan itu. Karena tangannya sedang terfokus memotong beberapa sayuran segar untuk dimasukkan ke dalam masakan buatannya.     

"Selamat pagi, Sayang" jawab Martha, "Papa sedang bersiap. Kamu beneran mau menjadi dosen pengganti pamanmu Sementara?" tanya menelisik.     

"Tapi, kamu belum beristirahat," tambah Martha dengan perasaan yang cemas.     

Delon mengangguk tanpa beban.     

"Aku sudah beristirahat dengan cukup, Ma." Martha yang mendengar jawaban dari putranya itu hanya bisa menghela napas beratnya.     

Sebagai seorang ibu. Martha tidak rela putranya menderita. Apalagi Martha tahu jika Delon baru sampai saat waktu subuh datang. Bisa dihitung berapa jam Delon tertidur.     

"Selamat pagi semua," teriak Rachel dengan suara bergema di seluruh ruangan.     

Martha, Bi Rina dan Delon membalas sapaan Rachel. Rachel langsung mendudukkan dirinya di samping Delon.     

"Rachel ikut mobil kakakmu nanti. Pak Raden harus mengantar papamu," ucap Martha dari arah dapur.     

Rachel langsung mendengus kesal. Saat mendengar perintah dari mama Martha. Setelah kejadian tadi. Rachel tidak akan melupakan perbuatan Delon padanya.     

"Tidak mau."     

"Kenapa? Kalian 'kan baru bertemu lagi. Apa kalian tidak saling rindu?" tanya Martha sembari ingin membujuk putrinya itu.     

Rachel menatap Martha beberapa waktu. Lalu pandangannya ia putar kearah pria di sampingnya yang sedang mengoles selai coklat di atas roti tawar gandum.     

"Tidak usah dipaksa jika tidak mau, Ma. Rachel juga sudah besar," sahut Delon acuh.     

"Kak Delon jahat, Ma. Dia harus bertanggung jawab padaku." Seluruh orang dibuat terkejut dengan perkataan Rachel.     

"Apa maksud-mu, Nak?" tanya seseorang dari arah belakang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.