HE ISN'T MYBROTHER

Kamu Harus Resign



Kamu Harus Resign

0Rachel tertawa terbahak. Ia masih dalam pelukan suami pencemburunya. Terkadang sifat manis Delon selalu membuat Rachel melupakan sisi jelek suaminya.     

"Kenapa harus bilang begitu?" tanya Rachel dengan suara samar, karena Delon tidak mengizinkan dirinya untuk lepas dari pelukan itu.     

"Apa aku harus berkata, kalau aku cemburu?" tanya Delon kembali dengan nada kesal. Tetapi, Istrinya justru tertawa tanpa henti. Padahal.ia sudah menahan tubuh itu dalam dekapan.     

"Uttu... utu Suamiku sedang cemburu. Sekarang tidur ya! Besok aku masih menjadi bebanmu, Kak. Maaf," ucap Rachel dengan nada sendu sembari mengusap lembut punggung kekar suaminya.     

Rachel besok akan merepotkan suaminya untuk menyiapkan beberapa keperluan sekolah kedua anaknya. Dan sarapan pagi, karena pembantu mereka sedang mengambil cuti sebelum Rachel masuk rumah sakit.     

Rasanya Rachel begitu tak berguna karena hanya diperbolehkan Delon duduk di atas kursi roda tanpa boleh melakukan apa pun.     

"Jangan bicara seperti itu, Sayang. Saat nanti kamu bisa berjalan lagi, aku yang akan merepotkanmu. Aku akan tidur di pangkuanmu, dan hanya mau makan, jika kamu yang menyuapiku. Itu akan sangat merepotkanmu, Sayang. Percayalah. Jangan pernah mengeluh untuk itu nanti," tanggap Delon mengecup dalam pucuk kepala Istrinya.     

Rachel mengangguk dengan mata memejam. Kalimat manis Delon juga telah mendatangkan kantuk di ujung kelopak mata indah itu dan mimpi indah akan segera menyambutnya di gerbang mimpi.     

"Selamat tidur, Kak. Aku mencintaimu."     

Rachel semakin memeluk tubuh kekar itu erat, namun perlahan pelukan itu mulai mengurai seiring dengan mimpi indah yang telah perempuan itu masuki.     

Delon yang belum juga terkantuk, tidak melepaskan pelukan itu meski tangan Istrinya tak lagi memeluk dirinya. Lelaki itu mengecup lembut berkali-kali di pucuk kepala Rachel.     

Hidup memang seperti ini. Saat tubuh Rachel menyerah untuk bertahan, Delon akan berusaha sekuat mungkin memeluknya. Ia tak akan pernah membiarkan Rachel merasakan luka sedetik pun. Jika luka itu masih terasa, ia akan menjadi penawar.     

"Aku tak perlu mengatakan balasanku. Karena seluruh cintaku hanya untukmu, Sayang."     

Matahari telah memunculkan wujud-nya. Semesta begitu ramah menyambut ditemani dengan kicau burung yang tak ada henti-hentinya saling bersautan menambah hangatnya pagi ini.     

Seseorang masih terbaring dengan lemas di atas brankar, meskipun begitu ia sudah lebih dulu membuka kelopak mata daripada sang Istri yang masih memejam sembari menggegam tangannya.     

Suara pintu terbuka membuat iris hitam itu bergerak dengan satu tangan yang terbebas meletakkan jari telunjuk di depan bibir pucat pasi Nino.     

Seorang suster masuk seraya mendorong sebuah meja yang terdapat makanan yang khusus untuk Nino dan beberapa obat yang harus diminumnya.     

Nino memerintahkan untuk Suster itu tidak berisik dan mengganggu tidur Istrinya. Namun, saat Suster itu mengangguk, tanpa sengaja kakinya tersangkut kaki kursi yang berada di samping Monica.     

Nino memejamkan mata erat, tubuhnya sedikit terlonjak saat melihat pergerakkan dari kedua bahu kecil Monica yang tertelungkup.     

"Heum... kamu udah bangun, Sayang?" tanya Monica sembari mengucek kedua mata yang masih terasa kantuk.     

Sedangkan Suster tersebut sudah mengangkat kedua tangan di atas udara dengan senyum sumringah terbit di sana. Seperti seorang lawan yang menyerah pada musuhnya.     

Nino mengkode sang Suster untuk segera pergi. Ia hanya ingin berdua dengan Monica setelah apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Ia ingin memberi penjelasan lebih tentang apa yang telah ia lakukan dan apa yang terjadi padanya.     

Suster itu pun mengangguk, lalu mulai keluar dari ruang rawat Nino.     

Monica mengernyitkan kening melihat gerakkan bola mata suaminya bergerak di belakang tubuhnya, seperti sedang berbicara dengan seseorang. Perempuan itu berbalik, kemudian menyebar pandangan ke seluruh ruangan. Tapi, tidak ada siapa pun di sana. Lalu, Nino berbicara dengan siapa?     

"Kamu sedang apa, Sayang?" tanya Nino dengan suara serak. Ia melihat kelakuhan Monica begitu aneh. Biasanya setelah bangun dari tidur, perempuan cantik itu mengecup kedua rahangnya. Tapi, sekarang tidak.     

Monica menunjuk ke arah belakang. "Ada siapa tadi?"     

Nino mengulas senyum lebar dengan mata menyepit. Inilah yang lelaki itu sukai dari Monica. Dirinya bahkan tak pernah bisa berkata bohong pada perempuan itu, meski dirinya telah berusaha.     

Ia sudah lama meyakini jika judul sebuah novel 'playboy tobat' itu memang diambil dari kisah nyata, seperti dirinya.     

"Ada suster yang mengantar makanan. Itu.lihat di belakangmu," kata Nino sembari menunjuk dengan iris hitam legamnya.     

Monica mengingikuti apa yang dikatakan suaminya. Ia kembali memutar tubuh, dan anehnya kedua mata Monica melihat makanan yang tertutupi oleh penutup makanan yang terbuat dari alumunium.     

"Oh, aku kira siapa. Kamu mau makan sekarang? Sebentar, aku cuci muka dulu," kata Monica yang perlahan bangkit dari duduknya. Nino hanya mengedipkan mata membiarkan Monica berjalan ke arah kamar mandi.     

Selama Monica berada di kamar mandi Nino perlahan mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. Ia ingin tahu bagaimana kelanjutan kasus Martha dan Jeno. Dan bagaimana Max, saudaranya itu bahkan tidak mengunjungi dirinya hingga detik ini.     

"Gue cincang sampai habis kalau Max berani jadi jarum dalam jerami!" gumamnya saat kedua mata hitam itu mulai berselancar memeriksa pesan dan email yang masuk.     

Dan sialnya, tidak ada seseorang pun yang memberi kabar apa pun. Sedangkan dirinya tidak bisa mengandalkan Regan yang selalu saja didampingi Monica. Ia tidak bisa menanyakan dengan bebas apa yang sedang ia cemaskan.     

Jemari itu mengetikkan sebuah email kepada Delon, untuk meminta kabar terbaru dari keputusan yang diambil Anin.     

"Sayang, kamu mau bersih-bersih dulu nggak?" teriakan itu membuat Nino gelagapan dan segera meletakkan ponselnya di balik bantal.     

Nino menghela napas dalam, jantungnya hampir lepas saat mendengar suara sendal bertatap dengan lantai kamar rawatnya.     

"Ada apa lagi denganmu?" Suara itu semakin dekat bahkan parfum yang belum juga hilang dari tubuh Istrinya semakin menyeruak di hidung Nino.     

Nino menoleh ke kanan, ia melihat pandangan Monica menelisik ke arahnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Aku hanya udah lapar aja. Apa kamu nggak melihat suami semakin kurus di sini," kilah Nino berucap manja seolah dirinya sedang menderita di atas brankar.     

Monica berdecak mendengar keluhan suaminya. Ia mulai mengayun tangan untuk mengangkat tudung saji, lalu mengangkat mangkuk bubur untuk sarapan Nino.     

"Kamu nggak perlu kerja sama pak Delon. Kamu bisa kerja di perusahaan papa. Rachel dan pak Delon hanya bisa membuatmu dalam bahaya," tanggap Monica dengan nada dingin.     

Meski nyawa Nino terselamatkan, tapi kekesalan dirinya terhadap Rachel dan Delon belum juga surut karena telah membuat Nino hampir kehilangan nyawa.     

"Sayang, kamu tahu 'kan aku nggak suka kerja di perusahaan. Aku udah ikut kak Delon dari aku dan Rachel kecil ... jadi—"     

"Nggak ada jadi-jadian! Kamu harus resign!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.