HE ISN'T MYBROTHER

Niatan Ryan



Niatan Ryan

0Tio masih saja memegang tangan Jenny sembari menyetir. Ini memang berbahaya. Tapi, apa boleh buat. Tio tidak mempunyai cara lain.     

Jenny sempat mencoba melompat keluar dari pintu mobil, untuk kabur.     

Dan Tio, sudah tidak mau mengambil resiko lagi.     

Jenny memilih menghilang, dari pada harus menanggung malu mengemis di kaki seorang Antoni Hwang.     

"Pi, jangan ke sana! Aku mohon ...," lirih Jenny memohon lagi. Tapi, Tio bergeming. Ia masih terfokus pada perjalanannya.     

Sebagai seorang ayah. Tio tidak mau masa depan putri tunggalnya itu rusak dengan cara seperti ini.     

Bahkan seluruh media juga sudah tahu mengenai video Jenny dan Antoni.     

Ini tidak akan mudah untuk Tio menangani. Kecuali Antoni Hwang mengiyakan untuk menikahi Jenny.     

"Jenny, jangan bod*h kamu! Kamu harus bisa menikah dengan Anton," jawab Tio penuh penekanan.     

"Aku tidak mau. Aku hanya ingin menikah dengan Delon!" pekik Jenny menolak.     

"Kamu sudah mempermalukan Papi. Delon juga tidak akan sudi menyentuhmu, jika kamu sudah tidak sebersih dulu," sahut Tio dingin.     

Jenny menangis. Ia tidak tahu lagi nasibnya setelah ini.     

Semua nasib sial selalu saja menimpa dirinya. Tidak ada kebahagian yang datang untuknya. Bahkan, rencananya untuk memiliki Delon seutuhnya juga telah gagal.     

Mobil Tio telah melaju kencang menerobos ramainya jalanan kota.     

"Pi, aku mau turun! Aku mau turun!" ronta Jenny lagi, saat di pertengahan perjalanan.     

Jenny tahu, jika mobil Tio sebentar lagi akan sampai di perusahaan Antoni.     

Jenny mencoba kembali membuka paksa pintu mobil. Tapi, ternyata usahanya sia-sia. Tio telah menguncinya, tanpa sepengetahuan Jenny.     

"Diam Jenny!" bentak Tio.     

Bukannya Jenny menurut dengan perintah Tio. Tangan Jenny langsung meraih hills nya. Dan melempar keras ke arah kaca mobil depan. Hingga serpihan kaca mengenai tubuh Jenny.     

PRANG     

"JENNY!" teriak Tio yang sudah tidak bisa mengendalikan laju kendaraannya.     

Tio langsung menghentikan mobilnya dengan mendadak. Ia benar-benar hampir dalam ujung kematian.     

"Ya Tuhan! Hampir saja ...," lirih Tio, seraya mengatur napasnya.     

Sedangkan Jenny hanya tersenyum kecut melihat dirinya dan Tio hampir kehilangan nyawa. Tidak ada raut ketakutan di wajah perempuan itu.     

"Apa kau sudah gila, hingga ingin membuat Papimu sendiri dalam ambang kematian!?" tandas Tio berapi-api.     

"Aku sudah bilang. Aku ingin turun. Tidak ada yang bisa menghentikanku, termasuk Papi!" balas Jenny yang sudah berhasil meloloskan diri dari mobil Tio.     

"JENNY KEMBALI!" teriak Tio yang kehilangan Jenny, masuk ke dalam sebuah mobil hitam asing.     

Tio mengulas wajahnya dengan kasar. Ia tidak tahu harus mengatakan apa kepada istrinya nanti.     

Delon dengan terpaksa mengiyakan permintaan Dinu untuk ikut pulang bersama keluarga barunya.     

Rumah yang dulu menjadi kenangan kecil indah bersama sang mama. Kini, rumah itu sudah menjadi tempat tinggal istri baru Dinu.     

"Ayo masuk, Lon!" ajak Dinu pada putranya yang nampak ragu untuk menampakkan kakinya di rumah penuh kenangan itu.     

"Ayolah! Kita rasakan kembali, kenangan mamamu." Dinu kembali memutar tubuhnya, lalu melangkahkan kakinya ke arah Delon. Tangan tuanya langsung merangkul bahu kekar Delon.     

Delon hanya mengikuti gerakkan kaki Dinu yang menggiringnya masuk.     

"Kalian lama sekali. Makanlah dulu, sebelum kalian menghabiskan waktu bersama," kata Marina lembut, sembari meletakkan beberapa makanan di atas meja.     

Di sana juga sudah ada Rian yang nampak tidak peduli dengan keberadaan saudara tirinya itu.     

"Tidak, terima kasih. Saya sudah kenyang," jawab Delon menolak.     

Marina hanya mengulas senyum khasnya saat mendengar penolakan Delon.     

Marina tahu ini akan butuh waktu lama untuk menempatkan dirinya sebagai pengganti mama Delon.     

"Kalian makanlah dulu. Aku akan mengobrol berdua bersama Delon," ujar Dinu, yang langsung diangguki Marina.     

Dinu berjalan lebih dulu, lalu diikuti Delon di belakangnya.     

Semua yang ada di rumah ini tidak ada yang berubah. Masih hangat dan aroma mama Delon masih tercium di sana.     

"Apa kamu tidak ingin pindah kemari, Lon?" tanya Dinu sembari melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.     

"Tidak. Aku masih ingin tinggal di sana," jawab Delon singkat.     

"Tapi, di sini juga keluargamu. Kamu akan mulai akrab dengan mama Marina jika kamu di sini," sambung Dinu lagi.     

Delon terdiam sejenak. Lalu berkata, "Aku akan pikirkan."     

Dinu dan Delon sudah sampai di balkon rumah mewah mereka. Di sana adalah tempat favorit dari Delon, almarahum istrinya, dan tentunya Dinu dulu.     

Dinu mengulas senyumnya saat merasakan angin segar yang menerpa wajah tuanya.     

"Apa kamu mengingat semuanya? Mamamu sering kesal dengan Papa di sini, jika kita mengerjai mamamu."     

Delon memutar kepalanya ke arah pria paruh baya di sampingnya. Dengan kedua tangannya yang memegang besi penghalang balkon.     

Delon hanya diam, ia juga mengingat hal itu. Mengingat saat Delon bisa tertawa bebas bersama mamanya tanpa rasa beban apapun.     

"Mamamu tidak akan pernah tergantikan, Lon. Kamu pasti tau akan hal itu ...,"     

"Papa sangat mencintai mamamu hingga detik ini. Namun, setelah kecelakaan yang terjadi dulu, Marinalah yang menolong Papa," sambung Dinu menatap lurus ke depan.     

"Maaf, aku belum bisa menerima dia," sahut Delon yang memang belum siap menerima Marina.     

Dinu mengangguk. "Papa tidak akan memaksamu lagi. Marina adalah wanita yang hebat. Ia sudah terlalu baik merawat Papa."     

"Ya. Aku tau itu."     

Delon tahu jika Marina yang merawat Dinu selama ini.     

Sebenarnya Delon ingin membalas segala kebaikan Marina, tapi entah kenapa Delon belum bisa akrab dengan Marina.     

Marina dan Rian melanjutkan makan malam mereka berdua. Hanya obrolan kecil dari mulut Rian untuk menemani sang Mama.     

"Mam, apa aku bisa mendapatkan Rachel?" tanya Rian tiba-tiba. Hingga membuat Marina tersedak.     

"Uhuk ...,"     

"Kamu jangan ngawur, Rian. Kamu sudah memiliki kekasih. Bukannya kamu akan segera betunangan?" tanya kembali Marina pada putranya itu.     

Rian mengendikkan bahunya. Pisau dan garpu langsung Rian letakkan. "Aku merasa tidak cocok dengan Yona, Mam."     

"Kamu selalu begitu. Kasihan Yona, jika kamu seperti ini." Marina menatap Rian dalam.     

Rian selalu seperti ini. Ia selalu mempermainkan hati setiap kekasihnya. Terkadang Marina juga tidak tahu harus berbuat apa untuk menyadarkan Rian.     

"Dia bermain tidak hanya denganku, Mam. Wajar saja aku mencari wanita lain," jelas Rian.     

Marina hanya menghela napas dalam. Ia tidak tahu harus menanggapi ungkapan Rian seperti apa.     

"Mama tidak setuju. Kita akan malu dengan kedua orang tua Yona. Kamu tidak boleh seenaknya, Rian!" bentak Marina dengan nada tingginya.     

"Tidak setuju kenapa?" tiba-tiba pertanyaan itu membuat Marina dan Rian memutar kepala ke arah asal suara.     

"Mas ...," panggil Marina pelan.     

"Iya, tidak setuju kenapa?" tanya Dinu kembali. Sekarang tubuhnya sudah terduduk di kursi makannya. Begitupula dengan Delon.     

Marina agak ragu untuk mengatakan. Karena di sini ada Delon.     

Belum sempat Marina membuka mulutnya. Rian sudah lebih dulu mengatakan niatnya tadi.     

"Aku mau melamar Rachel, Pah," kata Rian tanpa beban. Sedangkan Marina dan Delon sudah menatap terkejut ke arah Rian.     

"Aku menyukainya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.