HE ISN'T MYBROTHER

Masih Belum Menemukan Martha



Masih Belum Menemukan Martha

Mobil hitam mewah keluaran terbatas dari Eropa menembus lengangnya jalanan kota, pikiran gusar Jeno membayang selalu melihat Martha yang begitu marah dan kecewa padanya. Kedua manik mata tua Jeno pun masih setia memandang ke arah luar jalanan raya dari jendela.     

"Aku harap malam ini kita bisa membicarakan berdua, Martha."     

Jeno berharap bisa menemukan istrinya di area pinggiran jalan raya. Biasanya Martha akan menepikan mobil yang dia bawa, jika sedang bersedih seperti ini. Ia bukan wanita bodoh yang akan melajukan mobil dengan kecepatan penuh untuk bisa melampiaskan rasa kesal itu.     

Dia tipe wanita yang takut mati, sifat ini begitu sama dengan Rachel. Terkadang, jika Jeno merindukan Rachel, sifat yang menurun pada putrinya ia bisa menemukan pada Martha dan begitu sebaliknya.     

"Renar ... apa kau berpikir, jika istriku juga akan meninggalkanku?" Pertanyaan Jeno begitu sulit untuk Renar jawab. Ia memandang ragu pada wajah gusar itu. Jika, bisa memilih, Renar tak akan pernah mau menjawab pertanyaan jebakan ini.     

"Sa... saya, ti—tidak tahu, Tuan ..." jawab Renar dengan terbata. Ia benar-benar bingung untuk menjawab. Renar belum memahami urusan rumit rumah tangga ini. Apalagi ditambah Lina yang semakin membuat rumah tangga Tuannya semakin bertambah rumit tanpa ujung.     

"Bagaimana, bisa kau tidak tahu! Kau selalu bersamaku setiap hari! Bahkan waktuku lebih banyak denganmu daripada istriku, dan kau mengatakan tidak tahu? Perbaiki kinerjamu."     

Lihat, apa yang sudah kukatakan tadi? Pertanyaan itu bukan pertanyaan normal ... ada jebakan di dalamnya. Dan kalimat yang cocok untuknya saat ini 'matilah saja kau Renar!'     

Karena kecerobohan sekretaris baru Jeno akhirnya menjadikan semua menjadi lebih rumit dari yang Jeno pikir sebelum ini. Padahal ia memasang pengawal di berbagai sudut rumah hanya untuk menghindari Tio dan Dinu yang mungkin saja kembali ke rumahnya dengan dalih bertaubat mereka. Jeno tak akan tertipu untuk kedua kali. Cukup kebodohannya dulu.     

"Tuan, jalanan begitu sepi. Mobil Nyonya tidak ada di berbagai pinggir jalanan ..." kata Renar yang lebih memelankan laju mobil mewah Jeno sembari mengarahkan bola mata hitamnya berkeliling ke sekitar jalanan luar yang hanya di terangi oleh lampu temaram.     

"Tetap cari, jangan pulang dulu sampai istriku ditemukan," perintah Jeno yang langsung diangguki Renar patuh.     

"Baik, Tuan Jeno."     

Lelaki paruh baya itu mengusap wajah tuanya dengan kasar. Bola mata hitamnya juga belum bisa menemukan istrinya yang sekarang entah berada di mana. Ini sudah sangat di luar dugaan dari apa yang Jeno perkirakan tadi.     

Jeno pikir ia bisa menemuka Martha di pinggir jalanan, tapi kenyataannya Martha seperti menghilang ditelan bumi. Ia tidak bisa menemukan di mana pun tempat yang biasa istrinya datangi. Tidak satu pun ... lalu, harus ke mana lagi Jeno sekarang?     

"Tuan Jeno, kita masih mempunyai satu tempat yang belum dikunjungi. Salah satu cafe favorit nyonya besar juga. Saya baru mengingatnya," kata Renar tiba-tiba setelah tiga jam perjalanan mereka berlalu tanpa terasa.     

Jeno mengangguk sebagai jawabannya. Ia juga mempercayai apa yang dikatakan Renar, karena Martha juga sering meminta Renar untuk menemani istrinya ketika sedang acara. Tentu asisten pribadinya juga begitu mengetahui tempat favorit Martha.     

"Kita coba cari di cafe yang terakhir ... semoga saja dia berada di sana," ucap Jeno yang lagi-lagi diangguki patuh Renar. Kini mobil hitam itu melaju dengan kecepatan pesat untuk kembali mencari nyonyanya dan ini adalah kali keempat mereka mendatangi cafe salah satu tempat favorit Martha. Tapi, semalam ini apa masih buka?     

Tidak membutuhkan waktu lama, Renar sudah menepikan mobilnya. Ia turun, tapi dengan cepat Jeno ikut kembali keluar tanpa Renar sadari. Lelaki paruh baya itu sudah berjalan sedikit berlari dan membuat Renar terkejut hampir terjatuh ke samping karena kedatangan Jeno yang tiba-tiba mendorong lengannya untuk meminggir.     

"Astaga... Tuan! Anda mengejutkan saya," ucap Regan dengan dengan menyentuh dada. Napasnya naik-turu tak beraturan memandang menbulat pada punggung panjang yang kini melaju lebih dulu darinya.     

"Jangan bodoh! Cepat cari istriku. Tiga tempat yang kau datangi sendirian tak pernah mendapatkan hasil. Ini yang terakhir ... aku harusnya mencarinya sendiri. Aku tak percaya padamu, " ujar Jeno yang sudah mempercepat laju jalan langkahnya kembali.     

Renar menautkan kedua alis saat mendengar perkataan Jeno seraya melipat kedua tangannya dengan berani memajukan wajah ke arah bayangan Jeno yang sudah menghilang.     

"Memang ini semua gara-gara siapa? Istri siapa? Tuan yang ngerasain enaknya didudukin Lina, jadi aku yang kena lagi ... inget ya, Tuan! Aku, tuh, belum menikah!" seru Renar dengan menaikkan sudut bibir, langkahnya mulai maju menyusul Jeno yang sudah berada di dalam cafe.     

Di dalam cafe sudah heboh saat Jeno tiba-tiba datang, hingga membuat para pelayan berbisik untuk memberikan informasi penting ini pada rekan kerjanya yang tidak tahu. Bisa bahaya, jika Jeno sampai mengetahui ketidak sopanan mereka.     

"Eh, itu, Tuan Jeno?"     

"Kenapa, Tuan Jeno kesini? Ini 'kan sudah waktunya tutup ... di mana nyonya Martha? Sekarang kelihatannya Tuan Jeno tidak sedang bersama nyonya Martha lho!"     

"Jangan buang-buang waktu, ayo cepat langsung berbaris!"     

Para pelayan yang tadinya sedang menata kursi-kursi para pelanggan begitu terkejut dengan kedatangan salah satu orang yang begitu terpengaruh di pusat ibu kota ini. Mereka langsung berbaris dengan rapi menyambut kedatangan Jeno yang nampak begitu menakutkan hari ini, semua ketegangan tergurat jelas dalam garis di wajah tua itu.     

Seperti seorang Boss yang tak puas dengan hasil pekerjaan para pekerjananya saat ini.     

"Selamat malam Tuan Jeno! Apa yang bisa kami bantu?" sambut manger dari cafe tersebut yang sudah lebih dulu menempatkan diri dengan hormat di samping para pekerja, sedangkan Jeno sudah semakin mengikis jarak di antara mereka.     

"Apa istriku ke sini tadi? Jika, kau berbohong aku akan menghancurkan tempat ini hingga menjadi serpihan debu! " tanya dan ancaman Jeno menjadai satu dengan nada dinginnya yang langsung membuat para pekerja cafe itu saling menatap takut dan begitu juga manager cafe yang terlihat bingung untuk menjawab.     

Ia takut untuk salah menjawab dan akan berakhir pada kehancuran cafenya. Ia tahu, jika ancaman Jeno tak pernah main-main seperti Delon juga. Ia semakin bergidik takut. Kedua lelaki itu terasa pasangan iblis yang begitu cocok, jika berkolaborasi bersama.     

Jeno menyebar pandangan ke arah mereka semua yang berada di ruangan ini bersamanya, dari ujung ke ujung mereka hanya bisa terdiam tanpa mampu menjawab pertanyaan Jeno yang tidak suka dibuat menunggu dengan jawaban mereka.     

"Apa istriku ke sini?" ulang tanya Jeno dengan menggeram, menekan setiap kata sehingga suara itu terdengar begitu menyeramkan dan dingin.     

"Ti—tidak, Tuan," jawab manager terbata. Dan jawaban itu mewakili para pekerja yang begitu ketakutan, jika sudah mendengar nada suara seperti itu dari Jeno.     

"Renar, periksa cafe ini!"     

"Baik, Tuan Jeno."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.