HE ISN'T MYBROTHER

Aku Bukan Bibit Pelakor, Ma



Aku Bukan Bibit Pelakor, Ma

0"Tidak. Aku tidak mau melanjutkan ini, Sayang. Kamu tega denganku, berteman dengan nyamuk?" bisik Delon di telinga Rachel.     

Namun, perempuan itu hanya mengangkat kedua bahu tak peduli. Siapa yang menanam itulah yang menuai. Delon sudah merusak mood pagi hari Rachel yang cerah. Kini, suami tampannya itu harus bertanggung jawab.     

"Kamu sudah biasa berteman dengan kak Regan ... pasti dengan nyamuk pun juga akan lebih bisa lebih akrab," sahut Rachel yang membuat Delon menghela napas beratnya.     

"Bagaimana kamu bisa menyamakan Regan dengan nyamuk?"     

Rachel masih menyebar pandangan ke sekitar lobby hotel mencari keberadaan Regan. Karena Rachel ingin segera pulang dan mengunci kamar. Untuk membuat Delon benar-benar tidur di luar. Tapi, bukannya Regan yang terlihat, malah kedua orang yang begitu Rachel kenal sedang mengayun langkah mendekat ke arah dirinya dan Delon.     

Papa?     

Rachel dengan cepat mengembalikan kepalanya menutup sebagian wajah dengan syall yang melingkar indah di leher jenjang Rachel sedari tadi. Suara sepatu itu semakin terdengar mendekat diiring dengan suara hills Martha yang lebih dulu melangkah ke arah resepsionis untuk mengembalikan kunci kamar sepertinya.     

'Ya Tuhan, kenapa bisa bersamaan kayak gini dengan Papa?' batin Rachel yang masih memeringkan tubuhnya ke arah tubuh kekar Delon.     

Delon yang tidak tahu hanya mendirikan tubuh dengan begitu santai, berdiri dengan gaya keren yang mampu membius setiap mata wanita yang memandang. Apalagi kaca mata hitam yang bertengger di tulang hidung mancungnya semakin mengukuhkan ketampanan lelaki itu.     

"Sayang, kamu di sini dulu, ya? Aku akan mencari Regan di mana ... sepertinya kamu sudah tidak tahan berlama-lama di hotel ini," ucap Delon yang langsung diangguki Rachel cepat. Delon mencium kening istrinya terlebih dulu sebelum ia benar-benar keluar hotel untuk mencari Regan yang sedaritadi tidak memunculkan dirinya.     

Cup     

"Jangan ke mana-mana. Tetaplah di sini." Satu kali lagi perintah Delon yang hanya diangguki Rachel dengan gayanya menyembunyikan wajah dari kedua orang tua Rachel yang semakin mengikis jarak di antara mereka.     

"Cepat kembali!" balas Rachel dengan suara lirih, saat punggung kekar Delon sudah semakin jauh darinya. Entah lelaki itu mendengar atau tidak, tapi suara Rachel memang sangat pelan. Mungkin semut saja pun tak akan bisa mendengarnya.     

"Haduh, ini gimana? Harusnya gue tadi ikut kak Delon aja. Kalo gini gue nggak bisa bergerak lagi, jarak mereka udah semakin deket. Apalagi Papa ... dia sepertinya sedang memperhatikan ke arah gue berdiri," gumam Rachel saat melihat Jeno yang juga sedang melihat dirinya.     

Saat ia menoleh mencuri lirik ke arah Jeno untuk memastikan jarak di antara mereka berdua. Dengan cepat Rachel mengembalikan tubuhnya ke posisi semula.     

'Haduh mampus guee!' batin Rachel memejam kedua matanya erat. Hingga kedua buku tangannya sudah basah karena keringat dingin.     

Rachel semakin gugup dibuatnya, saat mata tua Jeno menatap mata Rachel dengan begitu lekat, walaupun kedua mata itu tertutupi kaca mata hitam. Tapi, tetap saja peluh sebesar butiran jagung dan suasana tubuh Rachel yang tak bisa dibohongi telah berubah menjadi panas dingin dibuatnya.     

"Pa, kamu mau ke mana?" tanya Martha saat melihat suaminya sedang mendekati seorang perempuan muda dengan memeringkan tubuh, seperti sedang ingin melihat wajah dari perempuan bersyall tebal itu.     

Jeno sudah berada di belakang perempuan muda yang begitu menarik perhatian lelaki paruh baya tersebut. Entah kenapa Jeno ingin menghampiri perempuan muda itu dan melupakan, jika di belakangnya masih ada Martha yang sedang mencebikkan bibirnya.     

Padahal kata maaf baru Martha layangkan setengah bendera. Kini lelaki tuanya malah berani menggoda perempuan muda dengan memakai pakaian bak kehidupan di Eropa. Semua tubuhnya tertutup, padahal cuaca di Indonesia saat ini sedang panas-panasnya.     

Kenapa malah berpakaian bodoh seperti itu? pikir Martha yang menggeleng tak percaya mengikuti gerak langkah Jeno yang terhenti di belakang perempuan muda itu.     

"Selamat siang Nona, apa kam—" Belum sempat Jeno melanjutkan kalimatnya. Martha sudah langsung menyambar kalimat lelaki paruh baya itu dengan begitu ketus seakan Jeno sedang ingin menggoda perempuan lain.     

"Kamu nggak kepanasan?" sahut Martha dengan melotot tajam ke arah Jeno yang langsung meringkuk mundur. Ia tidak mau menambah masalah di antara mereka berdua, setelah maaf yang sudah ia kantongi, meski tidaklah banyak. Tapi, cukup untuk membuat Martha tidak kembali ke Belanda.     

"Kenapa kalo kepanasan? Kamu mau ngipasin dia? Atau nyewain satu hotel besar ini untuk dia? Begitu?" todong Martha yang membuat Jeno menggeleng takut dengan apa yang dituduhkan istrinya.     

Jeno pun juga bingung kenapa dirinya bisa datang ke sini, seperti tatapan dari dalam kaca mata hitam yang tidak terlalu jelas Jeno lihat itu menghipnotisnya untuk mendekat. Bukan alasan yang lain yang dituduhkan Martha padanya.     

Melihat Martha yang memarahinya di depan umum seperti dirinya yang ketahuan berselingkuh. Membuat Jeno langsung menyentuh bahu Martha dengan lembut karena melihat para karyawan hotel yang masih berada di sana.     

Mereka masih menuggu kepergian pemilik hotel yang baru. Tapi, tidak sisangka malah harus terkekeh menahan senyum ketika disajikan adegan Martha yang begitu galak dengan ekspresi bule yang begitu lucu.     

"Sayang, kita dilihat banyak orang. Kamu jangan begitu," ucap Jeno dengan berbisik.     

Tapi, Martha yang sudah tersulut emosi sudah tidak memperdulikan siapa yang melihat. Istri itu nomor satu. Istri berhak menjaga suaminya dari bibit-bibit muda pelakor seperti sekretaris Jeno dan perempuan muda yang kini masih membelakangi dirinya dan Jeno.     

Martha tidak tahu, jika yang dikatakan bibit pelakor ini adalah putrinya sendiri.     

"Aku tidak peduli. Kalo kamu sudah tertarik dengan dia, pasti dia sudah menggunakan pelet untuk memikatmu, Mas." Wanita paruh baya itu menunjuk ke arah punggung Rachel hingga tubuh ramping itu terdorong ke depan dengan terpaksa karena ulah jari telunjuk Martha.     

'Mamaaaa! Bisa-bisanya aku dibilang bibit pelakor! Astagaa, tega sekali,' batin Rachel menggeleng samar dengan sudut mata yang melirik ke arah wajah Martha yang sudah memerah karena menahan cemburunya.     

Jeno menarik tangan Martha dengan paksa. Kondisi sudah mulai semakin ramai banyak mata yang memperhatikan sikap Martha yang sudah kehabisan akal menghadapi Jeno yang semakin liar dipikiran Martha karena ia pikir Jeno menyukai daun muda di usia tuanya.     

"Jangan seperti itu, Ma. Aku hanya tertarik ke sini, karena seperti melihat Rachel pada perempuan ini. Kamu tidak perlu semarah ini juga," ujar Jeno yang langsung membuat Rachel ternganga tak percaya, seraya semakin menutup rapat wajahnya dengan shyall.     

"Ha? Rachel? Tidak mungkin dia bisa membuatmu seperti ini. Kamu bahkan bisa tertarik dengan seorang perempuan muda. Kamu dulu tidak seprti ini ...." Jeno langsung merangkul bahu Martha dan membawanya pergi. Sebelum Jeno benar-benar pergi, ia sempat membungkukkan tubuh untuk memintaa maf kepada sosok yang membuatnya mengingat putrinya.     

"Maafkan istri saya. Ini tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang."     

"Lepas, Pa! Aku ingin menarik perempuan muda itu yang berani-beraninya menggodamu dengan pelet."     

"Ayo, pulang, Ma! Dengar penjelasanku di mobil!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.