HE ISN'T MYBROTHER

Chel, Kamu di Mana?



Chel, Kamu di Mana?

0Anita menerbitkan senyum saat maendapat kelopak matanya terbuka bukan di tangan musuhnya. Melainkan di tangan anak buahnya.     

"Nona sudah bangun?" tanya salah satu dari mereka yang terlihat cemas.     

"Kalian bawa aku ke mana? Apa semua aman? Kalian sudah memastikan tidak ada yang mengikuti kalian," tanyanya kembali. Anita tidak akan bisa tidur tenang jika ada seseorang yang mengikuti dirinya dan mengikuti siapa seseorang yang berada di balik topeng.     

Satu di antara mereka mengangguk untuk menjawab kegusaraan wanita lemah itu. "Nona, jangan bergerak! Anda kekurangan darah cukup banyak. Dan kita aman," jelasnya yang membuat perempuan itu kembali tertidur.     

Pandangan Anita mengitari seluruh ruangan yang mereka sedang tempati. Ini terasa aneh, ruangan yang tak pernah ia singgahi sebelumnya. Bagaimana bisa anak buangnya membawa dirinya ke mari?     

"Kita di mana? Bagaimana cara kalian menghindari mereka?" Pertanyaan memberondong dari Anita membuat mereka saling menatap satu sama lain.     

Anita masih menunggu mulut salah satu dari mereka terbuka. Setidaknya jika Anita sudah mendengar bagaimana kelicikan anak buahnya, ia tidak akan lagi terbodohi seperti anak buahnya yang harus ia lenyapkan.     

"Kita berada di Motel, Nona. Tapi, kami harus memilih kondisi yang paling terburuk agar mereka tidak bisa melacak kepergian kita. Namun ada satu masalah, Nona ...." Salah satu mereka menghentika kalimatnya. Dia begitu ragu untuk menuntaskan melihat ekpresi Anita sulit ditebak.     

"Apa yang ingin kalian katakan? Kalian tidak mau bukan, sampai peluruku menembus isi kepala kalian?" Anita menggeram mendengar lambatnya informasi yang akan ia terima.     

Mereka saling menyikut untuk memberi kode salah satu dari mereka menyampaikan kepada Anita. Dan jelas hal tersebut tak bisa ditoleran oleh Anita. Wanita itu menerbitkan senyum masamnya.     

Ceklek ... DOR!     

Tangan wanita itu yang merenggangkan senjata yang selalu di simpannya di pinggang. Kembali peluru panas tersebut menembus kepala anak buah Anita.     

Suara kencang pelatuk itu menyemburkan peluru begitu pengang. Hingga mereka menempatkan kedua tangan di depan telinga, menutup agar tidak merusak gendang telinga.     

"Bereskan mayat itu. Apa ada yang ingin bermain lagi dengan pertanyaanku?"     

Anita mentap tajam ke arah seluruh anak buahnya yang ia bawa jauh-jauh dari Inggris. Tapi, kemampuannya masih saja lemah tak sekuat perkiraannya.     

"Ti-da-k, No-na!" jawab mereka secara serempak dengan nada bergetar. Lidah mereka begitu kelu untuk menjawab pertanyaan itu.     

Anita meniup sisa asap yang keluar dari moncong pistolnya. Lalu, memberi kode isarat untuk mereka mengatakan apa yang dikatakan tadi. Dan sisanya sudah mengangkat mayat tersebut.     

"Kami sangat tergesa-gesa tadi malam, Nona. Ka-mi belum sempat membersihkan jejak darah Nona. Dan hal tersebut pasti telah diketahui mereka," ucap ragu-ragu salah satu dari mereka yang jelas mencuri perhatian Anita saat tatapannya masih lekat memandang senjata kesayangannya.     

"Bodohhh! Kalian bodoh!" pekik Anita dengan amarah membuncah. Ia menjatuhkan begitu saja senjatanya. Lalu perlahan mulai mendirikan tubuh meski kesulitan.     

"Anggota mereka cukup banyak, Nona. Dan kami hanya beberapa orang saja. Kami hanya memikirkan keselamatan Nona Anita. Jika Anda berhasil ditangkap balas dendam akan berakhir dalam waktu sekejap," tambahnya lagi dengan nada memaksa.     

Salah satu anak buah Anita hanya ingin wanita itu tahu jika anak buah Delon tidak akan main-main dengan siapa pun yang sudah berhasil membuat istri dari tuan mereka terbujur lemah tak berdaya di rumah sakit. Dan hal tersebut juga berlaku pada Anita.     

Wanita itu mengangguk. "Kau benar. Mereka hanya akan tahu golongan darah spesifikku. Bukan siapa pemilik darah tersebut, apalagi wajahnya," sahutnya dengan iris hitam mengarah pada nakas. Di sana sudah ada benda pipihnya tergeletak begitu saja.     

Anita mengambilnya, lalu menyalakan dengan senyum sumringah. Ia mengingat dirinya kemarin telah mengirim pesan kepada Delon. Namun belum tahu respon seperti apa yang diberikan lelaki tampan tersebut.     

Kening wanita itu mengkerut saat jemarinya sudah menaik-turunkan room chat antara dirinya dan Delon. Tapi, sama sekali tidak ada balasan. Ia tidak percaya dengan ini. Anita pikir Delon akan dengan murka memblasa chatnya.     

"Kenapa dia tida—"     

"Nona Anita, nona Anin menghubungi Anda!"     

Ha?     

***     

Delon melakukan seluruh tugasnya dengan tuntas. Ia sudah kembali berada di dalam mobil untuk kembali ke rumah sakit bertemu dengan Rachel. Ini sudah tiga hari berlalu tapi istrinya juga masih tetap saja terlelap dalam bantuan selang-selang bening tersebut.     

Hal paling terberat untuk Delon hadapi adalah pertanyaan kedua anaknya yang seakan tak mempunyai lelah untuk bertanya kapan Rachel pulang. Dan kapan mereka bisa memeluk mama mereka kembali?     

Delon tak sanggup membayangkan bagaimana rapuh hati kedua anaknya jika melihat mama mereka bukan belajar. Tapi, terbaring di atas brankar tak berdaya.     

"Maafkan papa, Sayang. Kalian pasi bisa menunggu sedikit lagi. Tunggu dan berdoa," ucapnya lirih saat pandangannya mengarah padal kepadatan jalanan karena efek hari kerja.     

Bunyi klakson sore hari membuat pikiran Delon tidak kosong. Ia hari ini harus menggunakan mobil sendiri tanpa bantuan pak Yono yang ia perintahkan untuk menjemput Nathan dan Nefa.     

"Maju!"     

"Lo tahu rambu nggak sih?"     

"Heey, tuli Lo!"     

Seluruh umpatan dan prtites mereka Delon dengarkan tanpa terkecuali. Biasanya ini adalah kebiasaan yang paling dibenci Delon. Namun berbanding terbalik dengan Rachel yang menyukai suara Meraka saling bersaut.     

"Kak, kamu tahu caranya menikmati hidup? Kedua anak kita tidak boleh sampai hanya pekerjaan dan kejayaan saja yang mereka kejar. Mereka juga harus menikmati bagaimana Tuhan melukis langit jingga itu ...." Rachel menunjuk ke arah langit yang sudah telah berubah sempurna menjadi langit cantik.     

Delon mengikuti arah tunjuk istrinya. Ia pun memandang ke arahangit. Sesuai dengan apa yang telah ditunjukkan istrinya. Langit tersebut nampak anggun dengan goresan warna tak hanya hingga di sana.     

"Apa kamu pernah melihat langit itu, Kak?" tanya Rachel tanpa mengalihkan perhatiannya. Delon menggeleng sembari menoleh ke arah wajah cantik perempuan itu.     

"Pantas aja koleksimu kuno-kuno," ejeknya yang membuat terkekeh dibarengi dengan Delon hanya bisa menggaruk kepala belakangnya.     

"Buka deh kacanya," perintah Rachel membuat mata hitam Delon membulat sempurna. Lelaki itu penuh dengan kecemasan yang berlebihan mengingat keberadaan kedua ankanya masih berada di kandungan istrinya.     

Berbagai pertimbangan penolakan sudah Delon lontarkan kepada Rachel. Mengenai asap rokok dan polusi yang tidak baik untuk kandungan istrinya.     

"Aku tidak apa-apa, Kak. Coba kamu buka dan dengar kecemasan mereka? Mungkin di antara mereka ada yang lebih terburu-buru daripada kita. Tapi, mereka diam dengan mencari bantuannya sendiri ..."     

"Mengekspresikan kekesalan juga tidak hanya diam. Lihat mereka yang sampai mengeluarkan kepala. Apa kamu pernah melihat seperti itu di dunia bisnismu? Lucu bukan?" sambung Rachel tertawa terbahak dengan mata menyipit melihat aksi salah satu pengendara yang tidak terima dengan kemacetan sore ini.     

Delon perlahan menarik garis lengkungnya, ikut tertawa melihat aksi lelaki bertubuh tambun itu begitu aneh di mata Delon.     

"Benar, Sayang. Dia sepert seora—" Delon menoleh dengan senyum mengembangkan ke samping bangkunya. Dan mendapati bangku itu kosong. Ia memutar tubuh untuk melihat keberadaan istrinya di bangku belakang.     

"CHEL, KAMU DI MANA!?" teriak kencang Delon.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.