HE ISN'T MYBROTHER

Nathan Rindu Mama



Nathan Rindu Mama

0Nefa berdiri dengan iris coklat bulat sengaja setengah dilebarkan. Menanti apa yang akan dikatakan papanya. Tubuh kecil itu bergerak ke kanan kembali ke kiri.     

Delon menghela napas berat samar saat pandangan itu kembali ke arah makanan yang sudah berada di tangan.     

"Sayang, papa diet."     

Perkataan itu sontak membuncahkan gelak di belakang. Lelaki dengan umur berbeda itu seakan berkonspirasi untuk membuat gadis kecil itu menangis karena Delon.     

Delon tak peduli. Tatapan dan senyum terpaksa harus ia toreh di sana untuk mempengaruhi apa yang berada di pikiran sang putri.     

"Papa diet? Sejak kapan?" Nefa memutar tubuh karena mendengar suara tawa yang merasuk dalam gendang telinga. "Diet apa, Om Nino?" tanyanya.     

Delon menepuk kening. Ia lupa putrinya masih berusia lima tahun awal.     

Nino berdehem untuk memudarkan tawa yang menyeruak di dalam tenggorakkannya. Kemudia tatapan teduh dengan bekas luka mengering di sudut ekor mata tak membuat tatapan lelaki tampan itu memudar.     

"Diet ya? Apa papamu tidak mau menjelaskan?" tanya Nino dibalas Nefa dengan menggeleng polos.     

Delon meraih tangan kecil sang putri. "Kan Tuan Putri belum bertanya pada Papa. Ayo tanyakan saja pada Papa. Jangan tanya pada lelaki itu," tanggapnya dengan nada kecil menirukan sang putri.     

Nefa mengembalikan tubuh menghadap Delon. Kaki kecil itu bergerak ke arah lelaki tampan tersebut, mengalungkan kedua tangan kecilnya di leher Delon.     

"Apa, Om? Kok lama?" Suara kecil itu mengejutkan Nino. Ia pikir Nefa akan menunggu jawaban dari Delon bukan dirinya. Dasar mengesalkan!     

"Nggak tahu. Om lupa," jawab Nino kesal.     

Delon mengulum senyum melihat Nino yang jarang sekali merajuk. Dan kali ini hanya karena putrinya, lelaki itu mendengus.     

"Diet adalah suatu usaha Papa buat menurunkan berat badan. Dan hanya makan makanan yang selalu Nefa tidak mau. Seperti sayuran hijau, Nefa mau makan seperti Papa?" tanya Delon kembali. Ia berharap tidak akan pernah melihat bahan mentahan menjijikkan yang sudah sengaja ia giring menjauh menggunakan kakinya.     

Terlihat Nefa sedang menujulurkan lidah dengan kedua bahu kecil menjengit. "Yeekkss... tidak suka. Nefa juga tidak mau makan diet. Nefa mau makan sosis aja," katanya membuat Delon melukis senyum kemenangan.     

"Sekarang Papa mau man—"     

"Tunggu dulu dong! Itu makanan Nefa belum dimakan, Pa. Nefa tidak menambah sayuran tidak enak itu kok." Lanjutnya membuat Delon membulatkan mata.     

"Tapi, Sayang ... itu 'kan ada cacingnya. I-tu juga tanah," kata lelaki itu dengan kalimatnya terbata.     

Nefa semakin merekatkan pelukannya di leher Delon. Pipi putih gembul itu menempel di rahang tegas Delon. "I-ni benar dimakan, Sayang?" Ulang Delon yang semakin berharap jawabannya tidak.     

Gadis kecil itu mengangguk. "Makan, Pa. Tadi Kakak dan Om Nino juga kok ...."     

Delon membungkukkan badan dengan tangan terulur untuk kembali mengambil piring kecil yang sempat mencicipi dinginnya lantai putih tersebut.     

Lelaki itu mulai ngayun sendok saat benda kecil itu sudah berisi nasi alias tanah merah, sudah akan meluncur bebas di depan gerbang.     

"Eh, pura-pura aja, Pa. Hehehe."     

Delon menghentikan geram tangan. Iris hitamnya bergerak ke arah putrinya yang tersenyum lebar. Tanpa aba-aba benda itu terjatuh kembali di atas piring. Delon segera membawa putri kecilnya ke dalam pelukan. Mencium gemas seluruh wajahnya.     

"Beraninya mengerjai Papa yaa?"     

***     

Setelah waktunya bersama dengan kedua anaknya telah selesai ia bergerak untuk kembali ke kamar. Entah apa kabar kamar pribadinya di rumah Delon dan Rachel sendiri. Sudah berganti hari tapi keadaan istrinya masih tetap sama. Apa usulan yang diberikan mama mertuanya benar?     

Apa Delon memang harus membawa kedua anaknya?     

Lelaki itu mengunci dirinya di dalam kamar. Ia tidak mengizinkan siapa pun untuk mengganggu dirinya.     

Delon sedang mempertimbangkan semuanya. Sudah sebulan Rachel tidak bangun. Air mata yang dulu pernah ia lihat juga sudah tidak pernah lagi ia lihat. Apakah Rachel senyaman itu di sana hingga tidak mau pulang dan memeluk dirinya?     

"Apa yang harus aku lakukan? Apa jadinya jika Nathan dan Nefa tidak bisa menerima keadaan mamanya yang memang tidak sedang belajar melainkan kecelakaan," gumamnya dengan napas gusar.     

Delon rasanya ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya untuk melampiaskan seluruh kegundahan dalam hati.     

"Chel, apa yang harus aku lakukan? Apa ini semua baik?" tambahnya kembali. Lelaki itu menyegurkan rambut hitamnya. Lalu, mendirikan tubuh menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas tempat tidur.     

Delon mengayun langkah dengan cepat. Tangannya terulur untuk menarik gagang pintu seraya mengeluarkan tubuh tegapnya.     

"Lon kau mau ke mana?" Suara itu membuat Delon menghentikan langkah, membalik tubuh. Pantulan iris mata hitam legamnya menatal keeradaan wanita paruh baya yang sedang membantu pelayan untuk menyiapkan sarapan.     

"Nyonya Martha, apa hari ini sayur juga di keluarkan?" tanya pelayan yang membuat wanita paruh baya itu sedikit menoleh.     

"Maksudku sop?" tanggap Martha yang diangguki pelayan tersebut. "Tentu. Untuk kedua cucuku, itu cukup bagus untuk perkembangan tubuhnya," tambahnya.     

Pelayan tersebut langsung pergi dari tempat di mana majiikannya sedang berdiri. Ia bergerak ke arah dapur kembali untuk menjalankan perintah.     

"Hei, mau ke mana pagi-pagi?" Martha mengulangi perkataannya kepada sang menantu yang masih mematung di sana.     

"Mau ke rumah sakit, Ma. Ini sudah sebulan. Aku harus pergi dengan kedua anakku," jawab Delon dengan nada tergesa. Ia kembali melajukan langkah ke arah kamar kedua anaknya tanpa menunggu jawaban dari Martha.     

Martha mengangkat setengah kedua alisnya saat melihat punggung Delon semakin menghilang dari iris mata coklatnya.     

"Dia menuruti perkataanku, sekalipun sedikit terlambat."     

Delon memang sudah kembali tinggal di rumah besar ini lagi. Menikmati masa-masa dulu ia tumbuh dengan cinta dan memberi cinta dari seorang lelaki kepada adik angkatnya.     

Dirinya tak mungkin selalu berada di rumah Regan karena Delon menyadari jika mereka tidak mempunyai hubungan darah. Ia sedikit bingung saat dirinya harus kembali ke rumah sedangkan kedua anaknya harus ada yang menjaga saat dirinya bekerja.     

Dan pada saat itu Martha dan Jeno datang ke rumah memang untuk menjemput dirinya dan kedua anaknya setelah mendengar Delon memutuskan untuk meninggalkan rumah Regan.     

Ceklek     

Bunyi pintu terbuka membuat kedua bocah yang sedang bermain di atas kasur memutar kepala. Senyum mereka terbit dengan cerah.     

Ini hari libur dan mereka berdua begitu senang. Mereka pikir bisa melihat papanya satu hari penuh untuk meluangkan waktu bermain dengan mereka.     

"Yee! Papa liburr! Kita bermain di mana, Pa? Mama sudah pulang kan?" tanya Nathan yang sudah berdiri di atas tempat tidur dengan dua tangan terbuka saat lelaki dewasa itu mengayun langkas semakin dekat.     

Hap!     

Delon menagkap putra kecilnya. Memberi kecupan selamat pagi seperti biasa di kedua pipi gembulnya.     

"Papa, mama sudah pulang 'kan? Nathan sangat merindukan mama."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.