HE ISN'T MYBROTHER

Keadaan Nino Setelah Operasi



Keadaan Nino Setelah Operasi

0Monica tidak bisa diam untuk tetap duduk untuk menunggu suaminya. Kaki itu sudah berapa kali melangkah ke kanan kembali ke kiri hingga membuat Sellyn menatap jengah.     

Sudah tiga jam berlalu dan sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dan masih belum juga ada para medis yang keluar dari ruang operasi. Perasaan Monica semakin gusar saja mendapati kemungkinan yang terburuk bagi Nino.     

Monica mengangkat pandangan ke arah lampu merah yang masih nyala hingga saat ini. Dan perlahan pandangan sendu itu ia turunkan ke arah mama mertuanya yang sedang tertidur dipelukan Regan.     

Dirinya hanya bisa menghela napas dalam. Bagaimana jika kemungkinan buruk itu terjadi? Lalu apa yang terjadi pada wanita paruh baya tersebut?     

"Mon istirahat dulu. Lo udah jalan mulu sedaritadi," cicit Sellyn yang terduduk dengan menautkan jemarinya.     

Monica memutar pandangan ke arah pusat suara. Langkah itu mengayun pada tempat duduk Sellyn yang masih kosong. Ia memang tidak bisa berhenti untuk tidak berpikiran tentang suaminya.     

"Ini semua gara-gara Rachel. Coba kalau dia nggak nyupir sendiri, pasti suami gue nggak bakal dapet tugas kayak gini," ucap Monica tanpa beban. Inilah ungkapan hati terdalam perempuan itu yang tak henti-hentinya menyalahkan Rachel atas semua yang terjadi.     

Sellyn menoleh ke arah sampingnya. Perkataan Monica membuat perempuan itu ingin menenggelamkan di dasar laut. Jika Sellyn ingin memutar waktu, ia pun akan berpikiran seperti Monica. Tapi semua ini tidak semudah itu, dialah yang meminta Rachel membawa mobil.     

"Kenapa Lo nyalahin Rachel terus? Apa Lo nggak kasihan sama dia udah kehilangan dua kakinya?" balas Sellyn dengan menggeram.     

Monica tidak memandang ke arah Sellyn. Ia perlahan menundukkan kepala. Hatinya juga sakit mengatakan hal itu. Tapi, apa boleh buat hatinya sudah terlanjur sakit dengan apa yang terjadi. Ia tidak tahu bagaimana keadaan Nino di dalam sana.     

"Lo tahu, Lo salah Mon. Semua ini bukan salah Rachel. Dia cuma korban dari semuanya."     

Monica masih menundukkan kepala. Ia mendengar semua perkataan Sellyn. Ia hanya seorang istri yang tidak ingin kehilangan suami yang paling dia cintai.     

Dan segala kebahagian yang baru saja ia rengkuh, tiba-tiba akan hilang dalam sekejap mata. Hanya karena membela Rachel. Hati Monica benar-benar sakit mengingat kenyataan itu semua.     

"Lo harus tahu satu hal. Yang minta Rachel bawa mobil itu gue. Seharusnya Rachel dianter pak Yono. Dan karena rengekan gue, Rachel akhirnya mau nganter gue ke super market. Dan setelah itu ... gue juga nggak tahu kalau bakal buat kaki Rachel lumpuh ..."     

"Apa dia nyalahin gue? Marah ke gue? Jawabannya nggak, Mon! Dia memang marah, tapi Rachel nggak nyalahin gue. Dan itu berlaku buat Lo juga. Gue tahu ini berat tapi, Lo harus tahu Rachel juga berat nerima semuanya," tambah Sellyn panjang lebar.     

Sellyn hanya ingin Monica tahu jika pengorbanan Rachel pada dirinya dan Monica sudah tidak bisa lagi dihitung menggunakan jari. Rachel adalah sosok sahabat yang tidak bisa lagi terganti oleh apa pun.     

Tidak lama suara lampu ruang operasi telah mati. Dan suara pintu terbuka membuat .okica dengan cepat berlari ke arah pintu ruangan tersebut. Di sana sudah ada seorang lelaki paruh baya masih memakai pakaian prosedur operasi.     

Sellyn pun berjalan ke arah Monica sembari memegan lengan tangan sahabatnya. Sedangkan ia mengkode ke arah suaminya untuk tetap berada di sana sampai mami Sarah terbangun dengan sendirinya.     

Regan mengangguk dengan mengulas senyum simpul.     

"Apakah ada keluarga terdekat dari Pak Nino?" tanya Dokter itu terlihat sedang meneliti pada dua sosok perempuan cantik di sana.     

Monica dengan cepat menajawab, "Saya, Dok. Saya istrinya. Apa ada sesuatu yang terjadi pada suami saya?"     

Monica begitu gusar untuk menanti mulut Dokter tersebut terbuka dan mengatakan segala hal yang ingin ia ketahui.     

Dokter tersebut terlihat mengangguk pelan. "Kami telah melewati proses operasi selama tiga jam dengan cukup baik. Kondisi pak Nino sudah lebih membaik juga," kata Dokter.     

Lelaki berbalut pakaian biru itu mengulas senyum simpul. "Pak Nino sangat diberkahi Tuhan. Luka tusukan senjata tajam itu menusuk dalam hingga lapisan 'Peritoneum' sangat berisiko untuk nyawa pak Nino. Tapi, semua kembali lagi pada kekuatan doa dan pak Nino akan segera sadar dalam beberapa jam," tambahnya.     

Monica menatap dengan berbinar mendengar penjelasan Dokter di depannya. Ia sudah tidak membayangkan hidupnya tanpa Nino. Lelaki menyebalkan yang selalu membuat dirinya marah. Dan Monica sangat merindukan lelaki playboy itu.     

"Apa saya bisa bertemu dengan suami saya, Dok?" tanya Monica dengan antusias. Tubuhnya terasa begitu ringan ingin sekali dirinya melewati Dokter di depannya, menerobos begitu saja pintu ruang operasi itu.     

Dokter tersebut mengangguk. "Kami akan memindahkan pasien ke rumah ICU. Keluarga bisa mengunjungi dengan bertahap," balasnya lagi dengan sopan.     

Sellyn ikut menerbitkan senyum bahagia mendengarkan berita Nino. Sesungguhnya ia juga cemas bagaimana jika Monica memiliki dendam tersendiri pada Rachel. Dengan seperti ini Monica akan memaafkan takdir yang telah dia salahkan.     

Sellyn menoleh ke arah Regan yang mengangkat kedua alisnya untuk meminta penjelasan dari sang istri. Perempuan itu memberi kode ibu jari mengacung pada lelaki berkaca mata itu.     

Regan terlihat menghembuskan napas panjang sembari mengusap peluh dingin yang memenuhi kening Regan. Ia pun dengan cepat merogoh ponselnya untuk mengabari Delon yang pasti menunggu kabar darinya.     

"Terima kasih, Dok. Saya akan menunggu suami saya," tambah Monica dengan nada bergetar tak kuasa untuk tidak menangis bahagia.     

Sedangkan di rumah sakit. Rachel masih saja sulit untuk dibujuk makan. Perempuan cantik itu masih saja menatap ke arah kedua kakinya yang membuat dirinya terjatuh dari atas brankar.     

Tadi pagi saat Delon masih tertidur di sampingnya. Rachel yang sudah terjaga, diam-diam mencoba untuk menggerakkan kedua kakinya untuk turun dari brankar.     

Namun baru saja Rachel ingin menyentuh dinginnya lantai kamar rawatnya, ia sudah tersungkur tungkurap. Tangis itu tiba-tiba pecah karena ia benar-benar tidak bisa merasakan kakinya yang terasa sakit atau apa pun.     

Suluruh otot saraf kakinya mati.     

"Sayang sudah, kita akan lakukan pengobatan." Delon menyeka lembut kedua pipi putih istrinya. "Jangan lagi pergi tanpa diriku. Lihat lututmu terluka, ini juga menyakitiku Sayang. Kumohon jangan buat aku menjadi gila," sambungnya bernada sendu.     

Rachel menurunkan pandangan pada kedua lututnya yang terbalut kain kasa. Ia tidak tahu jika terjatuh dari brankar ini akan menimbulkan luka.     

"Aku ingin pergi ke kamar mandi, aku ingin mengantar anak-anak pergi ke sekolah, dan menyiapkan pakaian kantormu. Kalau seperti ini ... apa yang bisa kulakukan? Aku ini istri bodoh!"     

Rachel menangis tersedu, tubuhnya bergetar hebat. "Aku kira aku bisa menerima keadaan ini. Tapi nyatanya aku nggak bisa, Kak. Aku kecewa dengan diriku sendiri yang nggak bisa berjalan." Lanjutnya.     

"Apa yang bisa kulakukan sebagai istrimu jika seperti ini?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.