HE ISN'T MYBROTHER

Kenangan Terjadi Lagi



Kenangan Terjadi Lagi

0"Mama, bagaimana ... apa Rachel mau bicara sama Mama?" Jeno mulai mengayun langkah ke arah istrinya.     

Martha bergeming dengan kepala tertunduk lemas. Tangan itu yang terselimuti kulit berkerut itu meremas benda pipih yang berada digenggaman tangan.     

"Mau, tapi setelah itu Rachel menutup telponnya. Dia masih marah, Pa sama kita," jawab Martha lemah.     

Semangat wanita paruh baya itu telah luntur seiring dengan perkataan Rachel yang membuat Martha benar-benar menyesali keadaan dirinya saat ini.     

Ia mengingat saat ia kembali ke ruang rawat putrinya. Rachel sudah menodong dirinya dengan pertanyaan seputar keluarga Anin. Dan mulutnya yang terlepas mengatakan semua kejujuran itu kepada Regan bukan kepada Rachel.     

"Apa aku selalu membuat Mama menyesal melahirkanku? Apa diriku memang tidak bisa dipercaya sehingga masalah sebesar ini Mama sembunyikan padaku dan mengatakan kepada kak Regan? Apa Rachel membuat kesalahan selain menikahi anak angkat kalian?"     

Pertanyaan Rachel membuat Martha dan Jeno terbungkam.     

Martha dan Jeno seketika menyadari kesalahan itu. Mereka berdua pikir jika menceritakan kepada Regan maka masalah itu tidak akan pernah membebani Delon dan Rachel di keadaan seperti ini. Namun, nyatanya semua tidak sebaik yang mereka pikir.     

Tubuh tua itu bergetar mengingat perkataan Rachel. Martha sungguh tidak masalah jika dirinya akan berakhir di penjara dan kehilangan seluruh harta ini. Asal dirinya tidak dibenci oleh putri satu-satunya.     

"Sudah, Ma. Tidak apa-apa... Rachel hanya sedang kecewa, kita berikan waktu untuk putri kita menenangkan diri. Hati Rachel pasti sangat terguncang ketika kedua kakinya lumpuh dan kenyataan tentang kita ... Rachel pasti perlahan akan memahami keadaan," ujar Jeno menenangkan istrinya.     

Martha hanya bisa mengangguk dengan lelehan air mata yang mengalir begitu saja tak ada henti-hentinya.     

"Sudah jangan menangis, kita tahu seperti apa Rachel. Dia tidak akan mudah berlama-lama marah pada kita. Dan sekarang kita hanya bisa menunggu hasil yang akan dipilih Anin."     

Martha jatuh ke dalam pelukan suaminya. Pelukan yang selalu menenangkan untuk dirinya selama bertahun-tahun ini.     

"Baiklah, Pa."     

Sedangkan di sisi lain Max sedang berada di kantor Mamanya bersama dengan Anin. Wanita itu memang belum mempunyai jadwal projek di Negara ini.     

Tapi, karena urusan di masa lalu Anin sudah terbuka lebar, ia sudah tak perlu jadwal itu. Dan jadwal beberapa bulan lagi tersebut akan ia lakukan sesuai dengan perjanjian.     

Helaan napas panjang memenuhi rongga dada Max menatap terangnya langit meski senja berarak. Kedua tangan kekar itu juga telah masuk ke dalam saku, ia memikirkan masalah yang memang bukan masalah dirinya. Tapi, ia sungguh tak tega melihat mantan kekasihnya harus bersedih berlarut-larut karena kematian keluarga besarnya.     

"Apa kau menyesal telah membantuku, Max?" tanya Anin yang mulai jengah dengan keheningan di antara mereka berdua saat ini.     

Max memutar tubuh, menatap lekat sosok cantik yang kini juga menatp dirinya.     

"Kau tahu, aku sudah melakukan apa pun untukmu, An. Hingga aku dimanipulatif oleh Antoni. Itu juga karena menolongmu ... apa kau pikir aku menyesal sudah sejauh ini?"     

Pertanyaan itu menghentak dada Anin yang tiba-tiba terasa sesak. Ia merasa pertolongan Max benar-benar tulus untuk ya di luar perasaaan Max yang masih bertahan untuknya.     

"Aku tidak memintamu memaafkan apa yang telah dilakukan keluarga Mauren. Tapi, apa kau sudah memikirkan dengan masak seluruh keputusan ini?" tanya Max kembali dengan menodong jawaban itu terucap detik ini.     

Max bukan orang yang dengan mudah meninggalkan pekerjaan hanya demi mengurus masalah orang lain. Tapi, bagi Max Anin bukanlah orang lain. Baginya, wanita itu sangat berharga, membuatnya berubah, dan selalu mengerti sisi dirinya seperti apa.     

Hanya karena permasalah di masa lalu ini, Anin memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Entah apa alasan spesifik dari keputusan itu. Namun, Max sudah mengatakan bahwa Anin akan selalu berada di hatinya. Meski raga itu telah dimiliki wanita lain.     

"Aku sudah memikirkannya, Max. Bukan aku tak manusiawi membiarkan kedua orang tua seperti mereka berada di penjara ..."     

"Tapi, segala sesuatu perbuatan buruk harus mendapatkan akibatnya. Dan mereka juga harus mempertanggung jawabkan perbuatan mereka di masa lalu," sambung wanita cantik itu yakin.     

Dirinya juga tak segan memasukkan kakaknya sendiri ke dalam penjara karena penembakkan yang telah dilakukan Anita. Dan hal tersebut juga berlaku pada Martha dan Jeno serta orang tua Antoni yang masih dalam pencarian Anin.     

Max menghela napas lebih dalam lagi. Dada bidang itu semakin membusung sesak. Dirinya memang tidak tega terhadap Jeno dan Martha. Tapi, jika Anin sudah berkeputusan maka tidak akan ada yang bisa memutusnya.     

Ruangan yang sudah hening ini semakin dingin saja karena tatapan di antara mereka berdua yang tiba-tiba mengulas masa lalu indah saat mereka bersama. Dan seketika itu pula Anin dan Max saling membuang pandangan.     

Max berdehem untuk mencairkan suasan tegang bercampur dengan canggung di antara mereka.     

"Kapan kau akan kembali ke Negara itu?"     

Anin mengangkat wajah merah memanasnya untuk membalas pertanyaan Max. "Setelah urusan di sini selesai aku akan segera kembali mengambil alih projek yang sedang ditangani oleh asisten pribadiku ..."     

"Apa kau bisa mengeromendasikan hotel yang aman untukku? Aku takut sewaktu-waktu ada musuh dari perusahaan sainganku diam-diam juga mengikutiku hingga ke Negara ini. Apa kau tahu?" Lanjut Anin yang sudah perlahan mengangkat pantatnya dari bangku tamu Max.     

Lelaki itu memutar iris hitam untuk menanggapi pertanyaan Anin. Ia bingung harus menyarankan hotel seperti apa untuk keselamatan wanita itu. Karena dirinya juga baru datang ke Negara ini setelah bertahun-tahun hidupnya menyatu dengan masyarakat asli Eropa.     

"Apa kau ingin tinggal di apartemenku yang dulu? Aku tidak mungkin membawamu ke rumah. Karena di sana ada mamaku. Jika kau ma—"     

"Tentu aku mau, Max. Terima kasih sudah meminjamkan apartemenmu," balas Anin dengan cepat. Senyum.sumringah itu terbit setelah wajahnya memerah merona karena kisah cinta mereka teringat kembali.     

Max mengangguk mengiyakan tanpa mengatakan apa pun lagi. Kini tubuh kekar tersebut telah berbalik karena wajah tegas itu pun tak kalah memerah merona karena wanita yang ia cintai kembali dekat lagi padanya.     

"Max ..." panggil Anin di saat kaki itu mengayun langkah ke arah tubuh kekar itu berdiri. Tangan kurus itu juga terulur untuk menyentuh lengan kekar Max.     

"Iya, ada apa?" tanya Max berbalik seketika. Ia tidak menyadari jika Anin sudah berada di dekatnya. Bahkan sudah berada tepat di depan hidung mancung lelaki tersebut.     

Anin memundurkan langkah reflek. Ia tidak menyadari pertanyaan yang akan ia ajukan akan kembali membuat tubuhnya memanas saat menatap lekat mata tajam Max.     

"Ma-maaf, Max. Aku hanya ingin bertanya lagi, kapan kita be—"     

"Jangan menjauh lagi."     

Max membuat mata Anin melebar seketika saat tangan hangat itu kembali menyelimuti pinggang rampingnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.