HE ISN'T MYBROTHER

Aku Mencintaimu Anin



Aku Mencintaimu Anin

0Max bungkam seribu bahasa. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Delon. Dirinya memilih untuk pergi dari rumah Delon dan datang ke apartemennya dulu karena Anin tadi menelpon dirinya.     

Ia mengarahkan stir mobilnya ke arah jalanan yang selama ini sudah sedikit ia lupakan. Tapi, karena masalah ini Max jadi mengingat kembali seluruh jalanan di kota kelahiran Max itu.     

Mobilnya perlahan berhenti di parkiran apartemennya dengan cepat. Ia juga tak sabar untuk turun melihat bagaimana keadaan Anin. Ia sangat cemas mendengar suara wanita itu yang terdengar sedang tidak baik-baik saja.     

Dia berlari menyusuri anak tangga dan dengan tak sabar menekan tombol bel berkali-kali.     

"Semoga kamu tidak apa-apa," gumam Max dengan napas terengah. Dan tidak berapa lama pintu itu terbuka, memperlihatkan wajah cantik dengan balutan kimono serta rambut basah yang terbungkus handuk terlilit.     

Anin membulatkan mata saat mendapati tubuh kekar itu memeluknya begitu erat hingga dirinya tak dapat menghindar atau sekedar memberi pertanyaannya.     

"Apa kamu baik-baik saja kan?"     

Anin mengerutkan kening saat mendengar pertanyaan Max. Ia perlahan melepas tangan Max sekuat tenaga pada tubuh kecil wanita itu.     

"Ada apa? Apa ada sesuatu yang membuatmu seperti ini?" tanya kembali Anin yang bingung saat kedua mata biru itu bergetar menatap dirinya.     

"Tadi kau menelponku dengan suara ketakutan. Aku pikir kau sedang dalam masalah," balas lelaki itu masih menatap lekat manik mata indah di depannya.     

Mendengar jawaban Max tiba-tiba kedua pipi Anin mengembung menahan tawa, dan tidak lama tawa itu meledak. Sontak membuat Max menautkan kedua alis tebal lelaki tersebut.     

Anin lupa jika dirinya tadi menelpon Max. Ia hanya ingin menanyakan apa lelaki itu mempunyai sabun cadangan. Karena sabun yang berada di kamar mandi telah habis.     

Sedangkan rambut dan lelehan busa shampo telah merambat mengenai kedua matanya. Sehingga ia sedikit susah saat menggapai ponselnya dan ternyata ia berhasil menghubungi Max. Dengan suara serak karena menahan perih dari busa tersebut.     

"Jadi begitu, Max. Maaf telah membuatmu cemas. Tapi, aku telah menemukan di mana sabun barumu. Dan sekaranh aku baru saja selesai mandi, bergegas untuk membuka pintu. Kupikir ada tamu siapa," jelas wanita cantik itu lagi.     

Max mengusap wajah tampannya dengan kasar. Ia tidak tahu sejak kapan suara serak Anin saja bisa membuatnya setakut ini.     

"Aku butuh istirahat. Aku sangat lelah," kata Max seraya berjalan begitu saja melewati Anin yang mengangkat kedua alis, menatap punggung kekar itu berjalan semakin dalam.     

Wanita itu tak bisa melarang apa pun yang akan dilakukan lelaki tersebut. Karena tempat ini adalah miliknya. Sedangkan Anin hanya menempati untuk sementara waktu.     

"Apa kamu sudah makan?" Anin berjalan untuk mengambil handuk kering lainnya melewati tubuh kekar Max yang telah berbaring di atas tempat tidur besar itu yang telah memberinya mimpi indah tadi malam.     

Kamar yang bernuansa abu-abu itu membuat suasana semakin terasa nyaman saat Anin tak lagi tinggal sendiri. Ia senang melihat Max di sini. Sudah lama dirinya tidak bertemu dengan lelaki tampan yang telah menorehkan luka yang masih terasa basah di hatinya.     

"Tidak, aku sudah makan tadi. Apa kau memasak? Kupikir aku tidak meletakan bahan makanan apa pun di kulkas," jawab Max seraya bangun dari tidur. Ia mengitari seluruh ruangan ini dengan bola mata elangnya.     

Anin masih seperti dulu. Selalu rapi, dan tak pernah meninggalkan ruangan dalam keadaan buruk.     

"Aku tadi keluar. Beruntung orang-orang di sini baik jadi aku bisa dengan cepat menemukan super market," tanggapnya sembari menggulung rambut basahnya kembali dengan handuk kering yang baru ia ambil.     

Lelaki itu begitu terpesona dengan keindahan tubuh Anin. Apalagi wajah cantik putih tanpa noda ternoda tersebut. Namun, seketika pikiran buruk itu ia buang. Mengingat dirinyalah yang mengambil keperawanan Anin dan dirinya merasa sangat begitu berdosa.     

Max pikir, Anin sudah biasa tidur dengan para lelaki di lingkaran bisnisnya. Mengingat dunia seperti itu sudah tak bisa murni hanya mengandalkan kepercayaan dan totalitas keuntungan sama lain.     

Namun, seluruh dugaannya salah. Anin bahkan sama sekali tidak pernah berhubungan dengan lelaki lain kecuali Max. Dan dia benar-benar telah menjadi lelaki brengsek yang telah menghancurkan kepercayaan wanita cantik.itu.     

"Max, kau kenapa melamun? Kau lapar lagi?"     

"Tenang aja aku akan menyiapkan makanan untukmu. Jangan malu padaku," sambung Anin yang kembali mengayun langkah ke arah pintu kamar untuk menuju ke arah dapur, menyiapkan makan malam untuk Max.     

Hitung-hitung sebagai rasa terima kasihnya telah di bantu selama ini. Meski mereka tidak lagi berhubungan dan melupakan kenangan bersama, tapi Max masih saja baik padanya.     

Anin mengulas senyum simpul cantiknya saat mencium aroma tubuh Max yang selalu tak bisa ia lupakan. Ia tahu jika lelaki itu sedang berada di dekatnya.     

"Kenapa kau tidak memakannya semua?" bisik Max tepat di depan telinga Anin.     

Tubuh wanita cantik itu tiba-tiba membeku saat merasakan tangan besar melingkari pinggang rampingnya. Sedangkan bahu kanan Anin begitu merasakan dagu Max yang menempel di sana.     

"Jangan tolak aku, please. Aku berbohong untuk semuanya. Aku tidak bisa seperti ini terus ... kita sudah berpisah dua tahun. Tapi, aku tidak bisa melupakanmu. Aku tidak butuh kamu percaya padaku atau tidak ..."     

"Aku sudah mencoba melakukan semua hal dengan wanita lain. Namun, semua tetap sama. Aku merindukan semua tentanhmu, Anin." Lanjut Max semakin memeluk erat, meluapkan rasa rindu yang sudah menggunung tinggi.     

Anin tidak tahu harus mengatakan apa. Dirinya memang sakit saat Max mengatakan jika lelaki itu telah bersama dengan wanita lain selama ini. Sedangkan dirinya, sama sekali tidak pernah berpikir untuk menerima lelaki lain setelah perpisahan mereka dulu.     

"Tidak, ini salah. Lepas Max! Kau harus tahu aku sudah tidak lagi mencintaimu. Aku mencintai laki-laki lain," kilah Anin berharap dengan alasan seperti itu Max bisa melupakan dirinya dan dirinya juga menata kehidupan yang telah hancur lebur ini.     

Anin lelah. Ia butuh sandaran bukan sebagai sandaran. Dirinya sudah cukup menopang segalanya di kedua pundak kecil itu. Kini Anin ingin bersandar dan bukan juga luka goresan yang akan ia rasakan kembali.     

Max tidak terkejut dengan apa yang dikatakan Anin. Sebelum wanita itu mengatakan seluruh kebohongan tersebut. Max sudah lebih dulu mencari informasi tentang Anin. Ia juga takut untuk jika wanita itu telah memiliki pengganti dirinya. Namun, kenyataannya Anin masih menunggu dirinya hingga detik ini.     

"Berbaliklah," kata lelaki tampan itu yang mengubah tubuh Anin menjadi menatap dirinya.     

"Aku sangat mencintaimu. Aku tidak pernah bisa melihatmu bertarung sendiri, mengkuatkan dirimu di hadapan orang-orang seorang diri. Aku ingin menggegam tanganmu juga, mengatakan kau bisa menyerahkan padaku," ucap Max yang membawa kedua tangan Anin di depan bibir tebalnya.     

"Apa kau ingin menikah denganku, Anin?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.