HE ISN'T MYBROTHER

Pemintaan Maaf



Pemintaan Maaf

0Anni menggelengkan kepala. Ia harus menyadarkan dirinya jika ini semua tidak boleh terjadi. Masih banyak masalah yang harus ia selesaikan.     

Mengingat keadaan Anitha yang masih sangat membutuhkan semangat darinya.     

"Kau sepertinya butuh istirahat, Max. Aku tahu kau sedang lelah," ucap Anin sembari melepas lingkaran tangan lelaki tampan itu pada pinggang rampingnya.     

Wanita itu melangkah menjauh dari Max yang masih menatap nanap pada tubuh kecil itu. Di sana Anin terlihat membuka kulkas untuk mengeluarkan makanan yang sengaja wanita cantik itu masukkan.     

Max mengerjapkan mata. Ia mulai menyadarkan dirinya tentang kondisi Anin yang tidak memungkinkan untuk menjawab pinangan dirinya.     

"Sepertinya memang begitu. Aku akan tidur sebentar, jika sudah selesai tolong panggil aku," ucap Max sembari mengayun langkah ke arah kamar tanpa menatap keberadaan Anin di sana.     

Setelah merasa Max sudah masuk ke dalam kamar mendadak tubuh Anin merosot di dinding pintu kulkas. Tubuhnya bergetar, pelupuk mata lemah telah basah. Ia juga mencintai Max. Tapi, luka dan masalah yang belum terselesaikan membuat wania itu tidak mau egois.     

Dirinya memang butuh bahagia. Tapi, melihat keluarga satu-satunya masih menahan sesak dendam dalam hati membuat Anin tak berani melangkah. Ia harus menatih Anitha hingga mereka sama-sama meraup kebahagian dengan orang yang mereka cintai.     

"Maafkan aku, Max."     

"Aku yakin kau akan menemukan wanita lebih baik dariku. Wanita yang mempunyai latar keluarga yang jelas." Lanjutnya dengan Isak tangis tersedu.     

Di balik tangis tersebut, ternyata Max tidak benar-benar pergi ke kamar lamanya. Lelaki tampan itu sengaja berdiri di balik kulkas berukuran besar tersebut untuk mengetahui apa yang sebenarnya dirasakan Anin. Dan juga perasaan wanita padanya.     

Max menatatap sendu, sekarang hatinya telah memantapkan untuk memberikan seluruh tempat untuk sang calon Nyonya. Bagaimanapun penolakan Anin, Max akan berusaha untuk bisa membuat cinta mereka bersatu.     

'Aku akan selalu berada di sampingmu,' batin Max yang kembali mengayun langkah ke arah di mana ia sudah mengatakan.     

Menumbuhkan cinta kembali di atas luka yang telah dibuat cinta itu memang tidaklah mudah. Seluruh daya upaya harus Max lakukan. Inilah konsekuensi dari perbuatannya sendiri.     

Anin menyeka linangan pilu yang melirih di kedua pipi putihnya. Ia mulai mempraktekan menerbitkan senyum palsu. Sebisa mungkin wajah sembab dan lara tak ingin wanita itu bagi pada Max.     

Lelaki itu sudah cukup membantunya selama ini. Rasanya begitu tidak berguna, jika Anin kembali memberi beban.     

"Ayo bangkit, Anin. Max sudah lapar, kau harus segera memasak untuknya." Monolog Anin sembari menerbitkan senyum palsu.     

Anin mulai memanaskan beberapa makanan yang sudah ia buat tadi. Sebenarnya memang tidak membutuhkan waktu lama. Hanya raga dan kekuatan batin wanita itu yang perlu ia pulihkan.     

Jarum jam mulai berjalan, kedua mata itu telah tertutup oleh lengan tangan kekar. Max memang memaksa kedua kelopak mata itu untuk beristirahat sejenak setelah berbagai aktivitas dan jam tidur selalu ia lewatkan setiap saat.     

Dua puluh menit berlalu. Anin juga sudah selesai menyiapkan segala dan kini meja makan yang selalu di temani oleh angin dingin yang diam-diam mencuri masuk dari jendela telah tergantikan oleh indahnya berbagai bentuk mangkok beling dengan jenis makanan yang berbeda.     

Anin menepukkan kedua buku tangan dengan sedikit memiringkan kepala. Ia melihat hasil kerjanya cukup puas. Tidak sia-sia dirinya hidup sendirian selama bertahun-tahun.     

"Sekarang aku tinggal memanggil Max. Dia pasti sudah menunggu cukup lama," gumam Anin mulai berbalik, melangkah ke arah di mana mantan kekasihnya berada.     

Dengkuran halus memenuhi ruangan bernuasa klasik modern tersebut. Udara dingin yang menyelimuti membuat siapa pun akan betah untuk memejam mata.     

Termasuk Max, lelaki itu seperti telah dibius dan membuatnya tak sadar jika sudah ada seorang wanita yang sedang memiringkan tubuh untuk menatap lekat wajah tampan sempurna tersebut, meski ia tidak bisa melihat kedua kelopak mata tegas.     

Akan tetapi, ia cukup senang bisa melihat bibir tebal merah bata menggoda nalurinya.     

"Kamu masih seperti dulu saat tertidur."     

Di rumah mewah Delon sedang terjadi situasi dingin yang membuat dirinya dan sang mertua canggung. Ia dan Jeno saling lirik untuk mengkode cara membuat kedua wanita berbeda umur itu untuk saling bicara.     

Setelah Rachel selesai menyelesaikan ujian susulan pertamanya. Perempuan itu berniat untuk mengunjungi kedua anaknya yang sedang bermain di ruang tamu.     

Karena di sana adalah tempat kesukaan Nathan dan Nefa karena angin alami dari luar selalu menyejukkan sehingga mereka memilih di sana daripada ruang bersuhu dingin yang selalu Rachel atur.     

Namun, saat roda-roda kursi roda tersebut bergulir mengantar Tuannya untuk sampai di tempat tujuan. Rachel dikejutkan dengan Jeno dan Martha sudah menggendong anak kembarnya.     

Kedua manik mata coklat itu bertatap sedih. Mereka seakan ingin mengutarakan apa yang ada di dalam hati. Akan tetapi, Anak dan Ibu seperti sama-sama memendam ego.     

"Ehehm!" Delon berdehem untuk mencairkan keadaan ini.     

Rachel mengerjapkan mata, menoleh ke arah suaminya. Sedangkan Martha berpura-pura mengalihkan pandangan ke bawah rok kain merah dipadu warna putih beberapa garis.     

"Sayang, katanya kamu ..." Lelaki tampan itu mulai berbisik di telinga Istrinya untuk mengingat kembali perkataan Rachel yang akan memaafkan kedua orang tua itu.     

Rachel bergeming beberapa detik setelah mendengar bisikan suara berat Suaminya. Pandangan itu langsung terangkat menatap manik coklat tua yang begitu lemah.     

"Ma, apa Mama dan Papa sudah siap?" tanya perempuan cantik tersebut. Sekaligus suara yang baru saja dikeluarkan oleh Rachel untuk menyambut kedatangan Jeno dan Martha.     

Jeno menoleh ke arah Istrinya yang kembali menunduk. Dan seketika membuat lelaki paruh baya itu melingkarkan tangan tuanya di atas kedua bahu Martha.     

"Tidak apa-apa, jawab saja," kata Jeno yang mencoba menyemangati Martha agar tidak takut dengan bayangan hukuman yang akan dijalani mereka nanti.     

Martha mengangguk, kemudian dirinya mulai berani kembali menatap putri tunggalnya.     

"Sudah, seperti apa yang kamu lihat. Mama dan Papa sekuat mungkin menerima hukuman ini sesuai dengan apa yang telah kami lakukan ..."     

"Tapi, Mama dan Papa hanya meminta satu hal pada kalian ...." Kalimat itu mendadak terputus. Martha sudah berlinangan air mata. Kedua bahu tua itu terguncang lemah. Wanita paruh baya itu tak dapat lagi menyembunyikan kesedihan dan kelemahan hatinya yang tak akan bisa bertemu kedua cucu mereka.     

Delon menyentuh tangan Istrinya yang tergulai pasrah di atas pinggiran tangan kursi roda. Remasan halus ia berikan untuk mengkode Rachel memberi perhatian pada Ibu kandungnya.     

Rachel menoleh ke arah Delon. Lalu mengangguk, kursi roda itu pun kembali bergulir ke arah Martha yang tertunduk dengan Isak tangis.     

"Mama ..." panggil Rachel lembut setelah dirinya sudah berada tepat di hadapan Martha. "Rachel akan selalu bersama Mama. Maafkan Rachel, Ma."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.