HE ISN'T MYBROTHER

Dinu Mau Ice Cream



Dinu Mau Ice Cream

0"Untuk apa kau ke sini lagi? Apa kau masih tidak puas menyakiti keluarga kami?!" Suara tinggi itu membuat kedua iris hitam Antoni berkaca-kaca.     

Antoni sungguh sudah menyesali segala kesalahannya. Kenapa wanita yang begitu mirip dengan Anita itu masih tidak mau mendengar penjelasannya.     

"Dengarkan aku. Aku tidak bermaksud melakukan itu. Aku sungguh menyesal, tolong maaf aku," ucap Antoni sembari menangkup kedua buku tangannya di depan wajah tegas itu.     

Perasaan bersalah itu selalu saja menghantui Antoni. Andai ia bisa memutar waktu pasti dirinya tidak akan terjebak dalam rencana Anita yang begitu jahat, telah merubah dirinya menjadi lelaki berdarah dingin.     

"Sayangnya aku tidak bisa memenjara keluargamu. Karena keluargamu telah mati dalam kecelakaan ... jika mereka masih hidup, aku pasti akan menyeret ke dalam deruji besi!" berang Anin dengan seluruh kekuatannya, wajah basah itu telah berubah menjadi memerah padam.     

Antoni tidak berkata apa-apa lagi. Karena dirinya memang tidak tahu asal dari seluruh harta keluarganya. Kejadian itu sudah begitu lama saat dirinya tidak tinggal bersama keluarganya. Jadi, seluruh kebenaran yang ia dengar dari Anin hanya bisa ia dengar tanpa bantahan sama sekali.     

"Dan penembakkan pada calon suamiku, kau beruntung lagi. Aku pikir hidupmu memang selalu beruntung Antoni ..."     

"Di sana CCTV sedang rusak. Aku tidak bisa melaporkanmu karena tidak ada bukti, tapi semua itu pasti akan balasannya. Jangan pikir kakakku akan mau denganmu!" tambah wanita itu sembari menunjuk tegas ke arah wajah lelaki di depannya.     

Anin menyeka kasar wajah basahnya. Dengan bola mata memerah berkilat ia menatap sekali lagi Antoni. "Jangan ganggu keluargaku lagi."     

Wanita itu membalikkan tubuh dengan amarah yang tersisa, berjalan kembali ke arah kamar rawat Max yang masih belum juga menunjukkan tanda-tanda kesadaran.     

Antoni terjatuh dalam sekali tarikan napas. Ia bahkan masih membuka mata lebar. Tubuh kekar itu tersungkur tak berdaya di atas lantai. Beberapa anak buah Antoni berlarian untuk mengahmpiri tubuh Tuan mereka.     

"Tuan Antoni, Anda tidak apa-apa?"     

"Tuan, sadarlah. Kami akan membawa Anda untuk diperiksa." Lanjut salah satu dari mereka secara bergantian menanyai Tuan mereka. Tapi, Antoni masih saja tidak mau menjawab.     

Mereka saling menatap satu sama lain dengan tatapan bingung. Mereka tidak pernah melihat seorang Antoni seperti orang linglung seperti ini. Mereka ingin membawa Tuan mereka, tapi lelaki itu masih membuka mata.     

"Tidak perlu, aku hanya ingin pulang. Apa di dalam laporan kalian ada foto terbaru dari Anita di rumah sakit jiwa?" tanyanya.     

Anak buah Antoni yang menangani tentang pencarian Anita pun mengangguk, mengiyakan pertanyaan Tuannya. Karena dia memang telah melihat beberapa foto wanita tersebut. Wanita dengan kondisi jiwa yang memprihatinkan.     

"Tapi, Tuan ... apa benar mencari wanita itu? Apa Anda tidak salah orang?" Pertanyaan itu membuat Antoni semakin melebarkan mata. Kepalan tangan mengayun di udara menyentuh dagu tegas anak buah Antoni.     

"Brengsek!"     

Anak buah Antoni tersungkur, di atas lantai rumah sakit dengan mengaduh. Seberapa pun luka yang diberikan Anitha padanya. Ia tetap mencintai wanita itu. Ia bahkan tidak pernah terima orang lain menjelekkan wanita itu, meski dia sudah gila atau kehilangan apa pun.     

"Jangan pernah mengatakan apa pun tentang Anita! Atau kau akan kehilangan nyawamu! Dan hal tersebut juga berlaku pada kalian semua!" ancam Antoni menunjuk ke arah seluruh anak buahnya yang langsung menunduk ketakutan.     

"Ba-baik, Tu-Tuan Antoni," jawab mereka serentak.     

Antoni mendirikan tubuhnya sempurna, lelaki itu mengebas-ngebaskan kemejanya. Ia kembali menoleh tajam ke arah anak buahnya, setelah itu Antoni kembali menarik pandangannya. Mulai berjalan dingin meninggalkan mereka di sana.     

"Tidak ada yang boleh mengatakan apa pun tentang Anitha. Dia seperti itu karena diriku, dan aku akan menebusnya."     

Pagi hari menyambut dengan cerah, Delon bisa melihat raut bahagia di wajah seluruh orang yang kini sedang berkumpul di meja makan. Terutama Papanya. Ia senang bisa melihat lelaki paruh baya itu menerbitkan garis lengkung di sana.     

"Makannya jangan seperti itu, Sayang. Astagaa ini berantakan semua," celoteh Rachel saat mendapati Nefa makan dengan tak beraturan. Dan beberapa suapan nasi mengenai seragam sekolahnya.     

Nefa hanya membalas dengan memperlihatkan cengiran menggemaskan gadis kecil itu untuk membuat dirinya terlepas dari Omelan pagi sang Mama.     

Rachel menatap setengah kesal pada kedua bola mata yang selaras dengan warna manik matanya. Ia memang tidak bisa sepenuhnya kesal dengan gadis kecilnya itu.     

"Jangan percaya, Ma! Nefa memang sengaja tuh! Dasar ceroboh!" sahut Nathan dengan nada dinginnya.     

Nefa yang tak terima langsung menoleh ke arah pusat suara dengan mengetukkan garpu yang ia genggam di atas meja. Tak lupa ia memberikan sorot mata tajam pada Nathan.     

"Jangan pernah iri pada Nefa. Nefa memang tidak sengaja melakukan itu ... coba tanya aja sama Bi Rina."     

"Iya 'kan Bi?" sambung gadis kecil itu, memindahkan tatapan tak bersalahnya pada pelayan yang telah mengabdi selama bertahun-tahun lamanya di keluarga Mauren.     

Wanita paruh baya yang sedang menuangkan air putih di gelas bening Nathan hanya memberikan tatapan penuh arti dan senyum yang mengembang di sana.     

Nathan ikut mendongak untuk melihat jawaban apa yang diberikan wanita paruh baya itu. Tidak lama tawa terbahak keluar dari mulut Nathan saat melihat Adiknya sudah melipat kedua tangannya di depan dada seraya mencebikkan bibir.     

"Ketahuan 'kan, Ma!"     

"Katanya udah dewasa, tapi masih seperti itu," imbuh Nathan masih dengan tawa yang ia tahan saat melihat tatapan tajam dari papanya mengarah padanya.     

Dinu mengusap punggung kecil Nefa sembari memberi kedipan mata pada Rachel untuk berhenti memarahi Nefa.     

"Nefa mau makan lagi?" tanya Dinu sekedar ingin memastikan jika cucu cantiknya tidak sedang menahan tangis.     

Nefa menggeleng, gadis itu membuang wajah. Tak mau siapa yg pun melihat wajahnya yang sedang memerah.     

Dinu menerbitkan senyum simpulnya kembali. Suara lembut itu membelai gendang telinga siapa pun yang mendengarnya. Seluruh orang akan tahu sebesar apa seorang Dinu sangat menyayangi kedua cucunya.     

"Mama marah bukan berarti tidak sayang. Nefa tahu bagaimana aturan dibuat, bukan? Kakek Jeno selalu berkata, jangan pernah bersuara saat makan tiba. Itu untuk mengajarkan sopan santun dan saling menghargai antara makanan yang telah disajikan ..."     

"Yang Kakak Nathan katakan juga benar. Tapi, cara pencapaiannya yang berbeda. Jangan pernah masukan ke hati. Sekarang Kakak kena hukuman ... Nefa juga. Kalian berdua harus membelikan Opa ice cream. Opa tidak mau tahu!" Lanjut Dinu yang membuat seluruh orang dewasa menahan tawa mendengar suara lelaki paruh baya itu yang merajuk.     

Terkecuali Nathan dan Nefa yang membukatkan mata. Mereka hanya diberi uang saku sangat pas, hanya untuk membeli jajan di sekolah. Bagaimana Nathan ataupun Nefa membelikan ice cream yang melebihi uang saku mereka.     

"Kenapa nggak Nefa aja yang dibeliin ice cream? 'Kan Nefa yang sedang marah?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.