HE ISN'T MYBROTHER

Menikmati Makan Siang



Menikmati Makan Siang

0"Aku mau pergi ke ruanganku, Kak. Kamu tuh boss macem apa sih?"     

"Terus putri tuan Hernandes juga belum kamu jawab. Secantik apa dia sampai buat kamu ngeliatin terus fotonya?"     

Protes yang dilakukan Rachel sama sekali dijawab Delon. Lelaki itu justru masih memandang sebuah foto yang baru saja diberikan oleh anak buah suaminya.     

Rachel yang merasa tak dianggap memilih untuk menggerakkan kursi roda untuk kembali ke ruangannya. Namun, suara berat Delon membuat tangannya berhenti untuk menyentuh roda kursi rodanya.     

"Tunggu di sana. Aku ini bossmu, bukan suamimu. Jadi, kamu harus menurut. Atau kedua anakmu tidak bisa membeli susu!" ancam Delon membuat kening Rachel berkerut tebal sedikit memundurkan kepala.     

Sejak kapan susu kedua anaknya juga dipermasalahkan lelaki itu? Padahal yang selalu membeli banyak adalah Delon.     

"Cih, dasar!" decih Rachel menompang dagunya malas.     

Delon masih melihat wajah Abella dan sedikit berpikir untuk menyiapkan rencana tambahan. Dan sebagai pemanis adalah wajah masam istrinya.     

Sejak tadi Rachel selalu saja bertanya tentang wajah Abella seperti apa. Dan hal tersebut membuat Delon rindu memeluk tubuh itu hingga lama.     

Sudah beberapa hari mereka berdua memang pulang sesuai jam kantor. Namun, setelah malamnya, Delon dan Rachel disibukkan dengan masalah kantor mereka masing-masing.     

Dengan begini Regan juga tidak akan melulu membuat telinganya panas karena menggrutu di setiap pekerjaan yang ia berikan.     

"Apa kamu pikir Rian akan benar-benar bisa mencintai putri dari tuan Hernandes, Rachel? Kita profesional dalam bekerja." Delon berucap dengan masih dengan aktivitasnya yang lalu.     

"Tergantung. Cantik atau nggak," jawab Rachel malas. Ia tidak peduli dengan profesionalitas seorang Delon. Ketika Rachel sudah malas, bahkan Jeno sekali pun tak pernah membujuk dirinya untuk kembali bekerja.     

Delon menyodorkan foto Abella ke arah Rachel. "Menurutku dia cantik, dia lebih cenderung memilih dunianya sendiri," imbuh lelaki itu yang langsung diterima Rachel.     

Rachel meneliti foto yang berada di pantulan manik matanya. Ia memang setuju dengan pendapat suaminya. Tapi, ia merasa wanita yang sepertinya lebih jauh tua dari Ravhel itu menyimpan sesuatu yang disembunyikan di balik lukisannya?     

Apa ini hanya perasaan Rachel saja?     

"Cantik bukan? Tapi, dia bukan selera Rian. Aku tahu bagaimana selera lelaki menjijikkan itu," sahut Delon dengan melempar punggungnya ke sandaran kursi kebesarannya.     

"Seleranya seperti aku. Dan kamu juga menjijikkan." Suara gebrakkan meja membuat Delon terkejut. Dan langsung kembali menegakkan punggung kekar itu.     

Terlihat Rachel sedang memutar kursi rodanya menjauh dari meja kerja Delon. Tapi, tidak lama kursi roda itu tidak bisa lagi diolah tangan Rachel. Perempuan cantik itu mendongak, melihat senyum lebar terpapang jelas di dalam manik mata coklat bening Rachel.     

"Rian juga tidak berselera denganmu, Sayang. Kamu tidal pernah keluar ke kelab malam. Lelaki itu suka wanita seperti itu ..."     

"Kamu itu seleraku di sepanjang detik. Itu lihat, sudah jam berapa?" sambung Delon mengarahkan pandangan ke arah jam dinding yang terpasang di meja kerja Rachel yang bisa dilihat dari ruangan Delon.     

Rachel mengangkat satu alis, melihat jarum jam menunjukkan waktu makan siang. Biasanya mereka akan makan siang bersama dengan memesan makanan dari restoran di dekat perusahaan Delon.     

Lalu apa yang berbeda dari aktivitas biasa itu?     

"Makan siang, Sayang. Kita harus makan siang juga," kata lelaki tampan itu dengan wajah sumringahnya.     

Dan hal tersebut semakin membuat kening Rachel bergelombang lebih tebal. Selalu saja Delon mengungkapkan kalimat yang memabuat Rachel berpikir dua kali.     

"Nggak lagi diet."     

"Sejak kapan? Tubuh sudah sekurus itu, tidak perlu diet, Sayang." Lanjut Delon semakin mencengkram dorongan kursi roda istrinya untuk menghindari perempuan cantik itu kabur.     

"Kurus? Kamu kira aku nggak makan? Udahlah, lepasin aku. Aku mau kerja lagi," protes Rachel yang berusaha untuk melepas tangan suaminya dari kursi roda Rachel.     

Delon semakin mengulas senyum lebar saat mendapati istrinya semakin merajuk. Tidak menunggu lama, gerakkan tangan Delon sudah mengangkat tubuh ramping itu. Dan pintu juga telah ia tutup secara otomatis. Meski tidak ia tutup memang tidak ada yang berani masuk.     

Namun, lelaki tampan itu berwaspada dengan musang berbulu domba sahabatnya, Regan. Lelaki tak tahu diri itu sering merusak peraturan yang ia buat dengan dalih 'lupa' dan terus begitu.     

"Kamu mau bawa aku ke mana ... sofa ada di sana?" protes Rachel seraya menunjuk ke arah sofa panjang yang berhadapan dengan meja kerja Delon yang selalu mereka gunakan untuk makan siang bersama.     

"Sstt... kamu berisik, Sayang."     

Delon masih membawa tubuh itu hingga sampai di depan pintu sebuah ruangan bercat hitam. Dan ruangan itu membuat kedua manik bening Rachel membulat, karena setahu dirinya ruangan tersebut adalah kamar pribadi dari suaminya.     

"Kita makan siang di sini, sudah lama kita tidak makan siang kan?" Pertanyaan retorik itu membuat Rachel berdecak.     

Ia sekarang tahu kenapa Delon menggendongnya dan menanti saat makan siang tiba.     

"Tunggu di rumah aja. Kalau moodku membaik, jangan di sini. Nanti kalau ada karyawan datang bagaimana?" tantang Rachel yang mencoba menakuti suaminya.     

Mengingat perusahan Delon sedang lauching produk baru. Dan tidak mungkin sampai melewatkan laporan untuk melihat progress dari penjualan produk tersebut.     

"Aku lebih memilih kehilangan itu, daripada harus menunggu nanti malam. Iya, kalau kamu tidak berkerja? Kalau kamu marah denganku bagaimana?" tanya balik Delon yang tak mau menunggu dan membuat stok adik Nathan dan Nefa menjadi terlewatkan.     

Suara tubuh terlempar dengan sedikit kasar membuat kedua mat Rachel semakin terbuka dari awal tadi. Dan sekarang ia melihat Delon telah melepas kancing kemejanya hingga tandas, melempar di sebuah bangku.     

Tidak hanya itu, celana panjang itu juga sudah tak terlihat lagi. Tiba-tiba saja sudah menyusul kemeja suaminya yang sudah berada di sana.     

"Eh, aku sedang datang bulan. Kamu nggak bisa minta sekarang," kilah Rachel. Biasanya alasan ini bisa mengurungkan niatan Delon untuk memintanya haknya sekarang.     

"Benarkah?" tanya Delon yang sudah mengukung tubuh ramping Rachel di bawahnya. Rachel membalas dengan mengangguk berat. Kedua manik coklatnya tak pernah bisa lepas dari manik hitam legam di depannya.     

Selalu saja Delon memperangkap Rachel dengan tatapan tajamnya yang mengundang minat untuk dipandang lebih lama.     

"Lalu ini apa?"     

Rachel menelan kasar ludahnya, peluh dingin sudah mulai membasahi keningnya. Kedua kelopak mata indah yang ditambahi bulu mata lentik itu juga memejam dengan leher jenjang putih mendongak.     

"Enak, Sayang? Apa aku harus menambah kecepatan jariku?" tanya Delon seakan sedang menggoda tubuh sensitiv Rachel.     

Ia sudah lama ingin bermain di area inti istrinya. Karena sibuk dengan pekerjaan Delon jadi melupakan seluruh kegiatan yang selalu ia lakukan setiap malam.     

Desahan manja Rachel membuat tubuh Delon juga terbakar gairah yang sudah tak bisa lelaki tahan. Bahkan senjatanya sudah ia gerakkan di gerbang kenikmatan itu.     

Keduanya sama-sama memejamkan mata sebelum permainan panas segera dimulai. "Kamu ingat aku selalu menggodamu seperti ini saat kamu mau ke kampus, Sayang?"     

Rachel mengangguk cepat, cakaran di punggung Delon sudah tak bisa dihindarkan karena lelaki itu selalu membuat bagian inti Rachel menginginkan lebih dari itu.     

"Aku ingin kamu, Kak ... jangan menyiksaku."     

"Baiklah, Sayang. Sesuai dengan permintaanmu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.