HE ISN'T MYBROTHER

Mampukah Kehilangan?



Mampukah Kehilangan?

0"Tuan Rian, Anda kenapa?"     

Rian menutup wjah tegasnya dengan buku tangan. Bayang-bayang seluruh perkataan Abella membuatnya tak bisa menutup kedua kelopak mata dengan tenang.     

"Anda mulai jatuh cinta dengan nona Abella, Tuan Rian?" tanya Zack.     

Seluruh perilaku Tuannya yang aneh tiga hari ini membuat Zack muali curiga. Ia yakini ada perasaan cinta, meski lelaki itu menyangkal seberapa banyak.     

"Omong kosong. Mana mungkin aku jatuh cinta," sangkal Rian. Lidah mungkin bisa berkilah, tapi hati lelaki itu mulai resah mengingat gambaran kesedihan yang ia lihat kemarin.     

'Ini bukan cinta ... ini kasihan. Iya, aku hanya kasihan pada wanita lumpuh itu,' batin Rian benar-benar tidak ingin menaruh perasaan apa pun pada target sumber uangnya.     

Karena hal tersebut akan membuat dirinya lemah dan tak berdaya untuk melakukan sesuatu.     

"Baiklah, lalu kapan Anda mengatakan jati diri Anda kepada nona Abella? Kita tidak mempunyai banyak waktu, Tuan Rian ..."     

"Tuan Delon telah meresmikan perusahaan tuan Dinu menjadi miliknya yang sah. Dan beberapa investor bertambah pesat ketika tuan Delonlah yang memimpin," jelasnya panjang lebar.     

Akan tetapi, Rian hanya bergeming. Penjelasan Zack bahkan seperti angin lalu. Padahal hal ini sangat serius. Permasalahan tersebut uga mempengaruhi nama baik dan kekuatan Tuannya.     

"Tuan Rian ...."     

"Diamlah, Zack! Aku tahu ... aku tahu! Aku akan pikirkan itu. Hal ini tidak mudah, karena Abella mempunyai penyakit mematikan. Bagaimana jika dia terkejut dengan kehadiranku tiba-tiba?" jawab Rian kesal.     

Rian juga benci mengingat Delon telah berhasil lebih sukses darinya. Sedangkan hati Rian masih tidak tega untuk membuat Abella sedih.     

"Sejak kapan Anda peduli dengan hati nona Abella Tuan Rian? Kita hanya akan mengalihkan seluruh harta Hernandes. Jika, nona Abella mati dengan cepat bu—"     

"Kau pergi, Zack! Aku ingin sendirian. Aku akan memikirkan cara untuk memberitahu putri Hernandes," tungkas lelaki tampan itu menampakkan wajah masam.     

Rian benar-benar tidak 'mood' untuk membicarakan rencana dan kesedihan Abella. Terlihat Zack membungkukkan badan ke arahnya, berbalik tubuh berjalan ke arah pintu keluar ruang kerja Rian.     

Sebelum Zack keluar, ia sempatkan untuk melihat Tuannya terlebih dulu. Kemudian menggeleng.     

"Jangan campur adukkan perasaan dengan usaha Anda untuk mengalahkan tuan Delon, Tuan Rian. Anda sudah sejauh ini ... saya harap Anda mengingat dendam Anda," ucap Zack sebelum tubuh itu benar-benar hilang dari balik pintu.     

Rian semakin mengusap kasar wajahnya. Mana mungkin dirinya melupakan dendam yang berkecamuk dalam dada. Tapi, dirinya juga tidak tahu kenapa lidahnya begitu berat untuk sekedar mengatakan niatannya untuk menikahi Abella.     

Bukan karena harta ...     

Bukan karena dendam, tapi karena tatapan sendu yang akan meneteskan air mata mengingat sikap kasar Rian dulu pada wanita itu.     

Apa dirinya sanggup melihat senyum yang biasanya tercipta untuk dirinya begitu lebar dan tulus, akan berubah menjadi luka yang tak berkesudahan.     

Sedangkan di rumah keluarga Hernandes, Abella juga sedang termenung di depan jendela balkon kacanya. Kedua tangannya ia gunakan untuk menyentuh ujung kepangan rambutnya dengan fokus hampa di sana.     

Abella tidak tahu kehidupan seperti apa yang akan ia jalani setelah ini. Apakah benar ada kehidupan, atau akan ada kematian yang siap menunggunya?     

"Sayang, apa Papa mengganggumu?"     

Suara itu membuat wanita cantik itu melepaskan tangannya yang bermain di rambutnya. Ia mengarahkan kedua tangan itu untuk memutar kursi rodanya menghadap seseorang yang masih berada di ambang pintu.     

Abella menggeleng dengan senyum sumringahnya. Ia tidak ingin papanya tahu, kesakitan yang Abella rasakan saat ini.     

Hernandes berjalan ke arah putrinya, tak lupa memberi kecupan sayang di pucuk kepala Abella. Wanita cantik itu mengikuti tubuh tambun itu bergerak, hingga melabuhkan tubuh bagian belakangnya di pinggiran ranjang Abella.     

"Apa yang kamu lakukan hari ini? Apa lukisan baru telah kamu buat?" tanya Hernandes ingin tahu. Karena setiap pulang dari taman bunga yang sudah dibeli Hernandes tersebut, Abella selalu membawa lukisan baru.     

Sentuhan tangan gemulai itu selalu menghasilkan karya yang menakjubkan dan penuh makna. Maka tidak aneh jika Hernandes menyempatkan waktu sibuknya untuk bersama sang putri, bertanya berbagai hal yang telah dilakukan.     

"Aku tidak melukis, Pa."     

Jawaban Abella cukup membuat dirinya heran. Karena baru pertama kalinya putri tunggalnya melewati satu hari tanpa melukis. Karena seluruh perasaan dan cinta, selalu wanita cantik itu tuangkan di sana.     

"Kenapa, Sayang? Apa kau merasa bosan di Taman itu?" tanya Hernandes menelisik ke arah tatapan manik hitam yang sedang menatapnya dalam.     

'Karena kesedihan dan kehilangan. Aku tidak suka melukismu di saat menangis. Aku ingin Papa selalu tersenyum untukku,' batin Abella yang masih memaksa senyum itu timbul.     

"Sedikit lelah saja, Pa. Tanganku 'kan juga butuh istirahat," balas wanita cantik dengan nada manja, meski di dalam kekurangannya.     

Namun, Hernandes tetap merasa gemas dengan putrinya, seakan Bella kembali terlahir kecil.     

Melupakan perasaan suka yang pernah putrinya ucapkan kepada Hernandes, dan juga membuat harga dirinya dirinya harus rela terinjak tak berdaya demi Abell karena Rian.     

"Makanya jangan melukis terus. Kamu harus beristirahat, ingatlah Papa sangat mencintaimu melebihi nyawa Papa sendiri," ucap Hernandes tulus, bagaimanapun usahanya nanti. Itulah yang terbaik untuk putinya.     

Rian bukan lelaki yang baik. Banyak wanita yang telah menjadi korban lelaki itu, ia tidak ingin hanya karena harta yang Hernandes miliki membuat dirinya kehilangan Abella.     

"Aku tahu ... memang siapa lagi yang mencintaiku melebihi Papa? Jika ada. Aku rasa, lelaki itu harus melewati tes menyulitkan dariku," balas Abella dengan sedikit tertawa ringan untuk menutupi kesedihan hatinya.     

Hernandes mengambil tangan Abella. Tangan kecil itu ia genggam hangat, seakan menyalurkan kasih sayangnya sebagai orang tua dengan tulus.     

Buah cinta dari dirinya dan mendiam istrinya begitu murni, kekurangan yang dimiliki Abella telah ia lengkapi dengan kasih dan sayang setulus Tuhan memberi nyawa di setiap tubuh manusia.     

"Berjanjilah jangan tinggalkan Papa, seperti mama. Papa hanya memilikimu, dan tak mungkin bisa melewati ini semua jika Papa berjalan seorang diri ...."     

Hernandes berbicara dengan kedua bahu besarnya yang bergetar. Linangan kesedihan yang mendalam tiba-tiba menghantui dirinya, saat guratan kehilangan muncul dalam ingatan Hernandes.     

Putri kecilnya yang sudah sudah dewasa dan matang untuk menikah itu akan selalu menajdi putri kecil yang selalu memanggilnya 'papa' di ujung jalan mereka.     

"Aku tidak akan ke mana-mana, Papa. Mama pergi untuk menunggumu, suatu hari kita pasti akan bersatu kembali," balas Abella menahan air matanya agar tidak jatuh saat melihat keputus asaan lelaki paruh baya itu.     

Mungkin, Tuhan telah memberi isyarat pada Papanya ... untuk bersiap kehilangan dirinya sewaktu-waktu.     

"Hidup dan menua bersama Papa, Abella. Papa akan melihat cucu Papa berlarian di rumah ini, berteriak dan menangis. Papa ingin menikmati itu ..." lirih Hernandes.     

Abella melebarkan kedua tangannya untuk menerima pelukan lelaki paruh baya tersebut yang sudah membasuh rahang berisiknya.     

'Abella tidak tahu ... apa Abella bisa?'     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.