HE ISN'T MYBROTHER

Pilihan Abella



Pilihan Abella

0Abella bukan wanita yang biasa yang selalu bisa mengatakan iya ketika rasa sakit sudah pernah ia rasakan. Meski, seorang pangeran yang ia impikan benar-benar datang dalam hidupnya.     

"Abella, kau kenapa?" Suara tak asing itu membuat kepala wanita cantik tersebut memutar ke arah pusat suara. "Hei, kenapa jadi sedih begitu?" Dia mendudukan tubuh di bangku besi bercat hitam, tepat di samping kursi roda Abella.     

Kepala itu memiring mencoba membaca apa yang tengah menjadi penganggu di pikiran Abella. Karena tidak ada suara sepatah kata pun yang dapat mengobati rasa penasaran dari seorang pelayan itu.     

Lebih tepatnya, pelayan yang telah dianggap Abella sebagai sahabat sendiri. Sejak lahir mereka selalu bersama, sayang seluruh takdir memaksa mereka untuk menjalani apa yang telah digariskan.     

"Nona Abella, kau marah padaku karena terlalu lama?" Ulangnya lagi membuat Abella juga kembali memutar kepala dengan kedua alis menurun.     

"Sudah aku bilang Veni, jangan panggil aku 'Nona' jika hanya berdua. Aku tidak suka," sahutnya dengan nada kesal. Tapi, kekesalan itulah yang membuat sahabat Abella tertawa geli.     

Veni, pelayan Abella berumur tak tak jauh berbeda dengan wanita cantik itu masih saja menganggap kekesalan majikannya sebagai penghibur segala aktivitas melelahkan beberapa jam yang lalu.     

"Ampun, Abella. Aku tidak pernah melihatmu sekesal ini sebelumnya. Jadi, aku sedikit terhibur. Sekarang ...." Veni menjeda kalimatnya, menggerakkan kursi roda Abella untuk menghadap dirinya. "Katakan padaku, siapa yang membuatmu seperti ini? Apa dia tidak tahu pisau di dapur sangat tajam?"     

Mendengar perkataan Veni, bibir yang terapat kini mulai bergerak memperlihatkan barisan gigi putih terawatnya.     

"Mau kamu apakan dia memang?" tanya Abella dengan mengangkat dagu.     

Tubuh Veni yang tadi sedikit membungkuk, kini ia tegakkan dengan melipat kedua tangan di depan dada. Tatapannya menyorot tajam lurus ke depan.     

"Kucincang! Kau tahu bukan, Bell! Aku tidak suka melihatmu sedih, apalagi karena seorang lelaki Cemen tak bernyali," tanggapnya dengan penuh keyakinan.     

Abella semakin tak bisa mengendalikan tawa yang keluar dari mulut itu. Veni selalu saja membuat dirinya lupa akan sakit hati setelah apa yang terjadi.     

Veni menoleh ke arah Abella, tatapan memburu tajam tadi, tiba-tiba sayu sendu. Garis melengkung terlukis di sana saat melihat wajah yang selalu nampak pucat pasi itu bisa tertawa riang seperti itu.     

Hati Veni menghangat, namun ketakutan mendadak terbit. Ia takut jika tawa itu hanya bisa ia lihat kali ini saja.     

Penyakit mematikan yang selalu meruntuhkan kekuatan Abella untuk berjuang hidup, membuat Veni menitihkan air mata kesedihan.     

"Aku benar, Nona. Apa kau ingin melihat keturunan ketujuh keluarga Hartono jika sudah marah? Aku tidak akan pernah bisa melihat telingaku sendiri!" Veni berdiri, meletakkan kedua tangan di pinggang.     

Abella menekan perutnya yang sudah sangat sakit mendengar ocehan kemarahan Veni yang menurutnya sangat lucu. Selalu saja Veni melakukan hal ini ketika dirinya bermasalah dengan seorang lelaki yang tidak mau bertunangan dengan Abella.     

"Aku tahu ... aku tahu! Sudah, duduk lagi. Aku akan ceritakan semuanya padamu, dan juga perkembangan penyakitku. Aku diam-diam memanggil seorang dokter kemarin, tanpa sepengetahuan Papa," ucap Abella yang dituruti Veni dengan perlahan duduk.     

Wajah dan manik mata hitam itu nampak menatap majikannya dengan lekat. Ia sudah tidak sabar menunggu seluruh cerita keluar dari mulut Abella sendiri.     

"Aku pernah bercerita menyukai seorang lelaki tampan, klien papa bukan?" tanya wanita cantik itu yang diangguki Veni cepat. "Dan dia tiba-tiba datang padaku sebagai ...." Seluruh cerita kembali Abella gulirkan, dari awal hingga pengakuan Rian padanya.     

Veni mengangguk-angguki paham mengenai berbagai alur yang sedang diceritakan majikannya. Ia tidak pernah suka memotong, karena itu akan membuat Abella kesusahan.     

Kedua tangan Veni sudah meremas kuat mendapati seluruh cerita Abella begitu mengesalkan untuk dirinya. Ia yakin seorang lelaki bernama Rian itu tak benar-benar mencintai Abella, apalagi lelaki itu sudah tahu tentang penyakit dan umur majikannya yang sudah tidak lama lagi.     

"Lalu penyakitku ini, kemungkinan sembuh sudah tidak ada, aku sudah berada di stadium akhir seluruh sel kanker sudah menyebar ... dan aku tidak tahu bagaimana mengatakan ini kepada papa," imbuh Abella dengan nada lemah.     

Ia menggegam erat kain roknya. Ia tqkut jika Hernandes akan lebih terpuruk dari kehilangan mamanya. Karena kenangan yang telah mereka miliki selama hidup berdua.     

"Nona Abella ...." Panggil lirih Veni yang sudah tak bisa menahan air matanya yang meluruh di permukan wajahnya. Pelukan hangat itu berikan untuk menguatkan tubuh lemah majikannya.     

Hanya Abella sahabatnya. Hanya Abella dan tuan Hernandes juga, majikan yang selalu memanusiakan ibunya. Tidak pernah memandang status sosial untuk berteman dan menghormati.     

Jika keputusan Tuhan memberi seluruh cobaan ini pada Abella, rasanya Venni ingin berteriak lantang, menolak segala takdir.     

Tapi, apa daya dirinya? Dia juga sebagai manusia penerus takdir, ia bisa merubah segala takdir kelemahan yang dimiliki Abella. Namun, untuk kematian ... Venni tak mampu.     

"Aku masih di sini, jangan menangis. Aku tidak suka melihat siapa pun menangis karena aku," ucap wanita cantik itu seraya mengusap punggung bergetar sahabatnya.     

Abella diam-diam juga meruntuhkan ketegaran hatinya. Ia takut, jika ia hanya bisa melihat orang-orang yang Ia sayang tanpa bisa memeluk seperti ini.     

"Nona Abella harus bilang kepada tuan. Pasti Tuan Hernandes bisa mengusahakan pengobatan Nona," ujar Venni di sela Isak tangis.     

Abella menggeleng. "Sudah tidak bisa lagi, Venni. Sudah terlambat, aku sekarang hanya ingin berbahagia dengan kalian saja," balasnya.     

"Lalu bagaimana dengan tuan Rian itu, Bell? Apa kau ingin menerima pinangannya?"     

"Aku akan menerimanya. Aku ingin lihat apa yang ingin dia rencanakan padaku."     

Sedangkan di tempat lain Delon sedang mengusap.kasar melihat istrinya justru selalu diam ketika dirinya bertanya apa pun. Dan hal tersebut membuat Delon benar-benar frustasi. Melebihi gagal mendapatkan tender.     

"Sayang, kamu sedang apa?" tanya Rachel saat kursi rodanya sudah berada di samping sofa panjang yang ditempati kedua anaknya.     

"Menggambar, Ma." Nefa menegakkan kepala, kemudian memperlihatkan gambaran yang dibuatkan Nathan untuk gadis kecil itu. "Lihat, Ma. Ini gambar Kakak, kenapa Nefa terlihat cantik di sini ya Ma?" sambungnya dengan nada imut.     

Rachel tertawa ringan mendapati pertanyaan sang putri. Setidaknya, ia bisa menghilangkan rasa kekesalannya pada Delon yang sedang berdiri di antara mereka.     

"Putri Mama memang sangat cantik. Siapa yang bilang tidak cantik? Lihat wajah kita digambar Kakak sangat mirip kan?" Rachel menanggapi pertanyaan Nefa seraya menunjuk ke arah gambarnya dan sang putri.     

Nefa memiring melihat kembali gambaran yang berada di tangan mamanya sekarang. "Tapi, kenapa Papa di sini wajahnya sedih Ma?"     

Rachel mengangkat pandangan ke arah Delon saat pertanyaan Nefa kembali membuatnya bingung untuk menjawab.     

"Papa dimarahi Mama Nefa," sahut Nathan begitu saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.