HE ISN'T MYBROTHER

Perjanjian Kita



Perjanjian Kita

0Hernandes bingung dengan keputusannya sendiri. Keputusan ini memang sesuai dengan rencananya dan Delon. Tapi, ia juga tidak mau sampai putrinya yang akan menjadi sasaran dari Rian.     

Apakah luka yang akan ditanam Rian akan berpengaruh pada Abella? Apa benar Abella akan baik-baik saja?     

"Pa, kenapa melamun sendirian?"     

Pertanyaan dari seseorang yang menjadi bahan pemikirannya kini sudah ada di hadapannya. Senyum simpul khas seorang ayah ia lontarkan pada putrinya.     

"Lalu Papa harus bersama siapa? Bukankah teman dan putri Papa hanya kamu, Sayang?" jawab Hernandes membuat Abella harus tertawa palsu.     

Dengan perkataan ini semakin membuat hati Abella pilu. Bagaimana bisa dua peran penting itu juga akan direnggut dari papanya juga. Lalu, tangis seperti apa yang akan mengiringi kepergian Abella nanti?     

"Jangan seperti itu, Pa. Papa punya seorang teman bisnis bukan? Papa harus bisa menjalin pertemanan dengan dia juga ..."     

"Lihatlah, Papa semakin kurang bergaul karena hanya bersamaku terus," balas wanita cantik itu dengan sediki menjauhkan pandangan ke kebelakang yang diakhiri dengan tawa kecil dari mereka berdua.     

Hernandes mengulurkan tangan ke arah wajah putrinya, sentuhan lembut membuat tatapan anak dan ayah itu menghangat.     

"Papa sudah tua. Papa hanya ingin mengahabiskan sisa umur Papa bersamamu, Sayang. Jika, Rian sudah kau pilih, Papa akan mendukung," ujar lelaki paruh baya itu yang diangguki Abella dengan manik berkaca-kaca.     

"Terima kasih, Pa." Abella menghambur ke dalam pelukan Hernandes.     

'Aku akan membuat Rian menjadi teman dan anakmu, Pa.'     

Hernandes menguraikan pelukan sang putri dan mengakhiri dengan kecupan sayang di pucuk kepala Abella. Air mata seorang ayah sudah tak bisa dihindari Hernandes yang sebentar lagi akan melepas putrinya bersanding dengan musuh dari Hernandes.     

Semoga saja, Rian tidak melakukan apa pun kepada Abella setelah ia memberikan sesuai dengan perjanjian itu.     

Dan tidak lama, seorang pelayan mengetuk pintu kerja ruangan Hernandes, sontak membuat Abella dan Hernandes mengarahkan pandangan mereka ke arah pusat suara.     

"Permisi, Tuan Hernandes. Ada dua orang tamu yang ingin menemui Anda, Tuan. Salah satunya ingin bertemu khusus dengan Nona Abella," katanya membuat kedua alis tebal yang telah bercampur dengan warna putih karena pertambahan umur bertaut.     

"Siapa dia? Apa kau menanyakan namanya?" tanya Hernandes yang tak biasa ada seseorang ingin bertemu dengan putrinya. Bahkan beberapa media tidak mengetahui jika dirinya memiliki seorang putri.     

Hernandes sengaja, hanya untuk menjaga privasi dan putrinya sehingga dia bisa menjalani kehidupan sewajarnya sebagai seorang wanita.     

"Tuan Rian dan nyonya Marina, Tuan. Mereka mengatakan nama mereka seperti itu. Apa saya harus mengusirnya saja?" tanyanya lagi yang takut jika ia salah menerima tamu.     

Mengingat Tuannya tidaklah orang sembarangan yang dapat menerima tamu keluar masuk tanpa identitas yang jelas.     

"Tidak perlu, Bi. Antarkan tamu yang lelaki ke taman belakang. Aku akan menunggu di sana," sahut Abella yang dapat dipahami sang pelayan yang telah mengabdi bertahun-tahun di rumah besar ini.     

Pelayan itu pun mengundurkan diri untuk segera menyampaikan pesan dari Nonanya. "Saya permisi, Tuan ... Nona. Saya akan sampaikan pesan Nona Abella sesuai dengan perintah, Nona."     

Abella mengangguk seraya mengulas senyum cantiknya, mengizinkan sang pelayan untuk pergi.     

Hernades menurunkan pandangan pada putrinya saat perintah itu telah dibawa pelayan mereka. Abella memutar kepala, dan tanpa sadar pandangannya bertemu dengan sang papa.     

"Kenapa, Pa? Aku tidak apa-apa, tenanglah. Aku sudah tidak sakit hati dengan penolakan dia dulu, aku yakin dia baik," ucap Abella yang membuat mulut Hernandes bungkam.     

Dirinya tidak bisa mengatakan apa pun lagi saat melihat raut cerah di wajah Abella. Bagi seluruh ayah di dunia, kebahagian putri kandung adalah hal yang paling utama, harta tak lagi berharga jika kebahagian dapat dicapai.     

Begitupun dengan Hernandes. Saat kursi roda putrinya sudah diambil alih oleh pelayan yang selalu bersama gadisnya, membuat hati Hernandes langsung sesak. Ia merasa akan ada hal besar yang akan membuat dirinya tak lagi bisa bertumpu di atas kedua kaki kokohnya.     

"Ada apa ini? Apa kau benar-benar akan bahagia dengan pernikahan ini, Bella?"     

Sedangkan kursi roda Abella masih saja bergulir ke arah tempat di mana sering ia habiskan bersama Venni, dan kemarin juga. Rasanya hari berlalu dengan begitu cepat.     

Senyum yang terbit juga tanpa Abella sadari terlukis kembali saat mengingat betapa galaknya pelayan yang kini berada di belakang kursi roda Bella.     

"Apakah, dia yang membuat Nonaku menangis kemarin?" tanyanya membuat Abella tertawa ringan.     

"Apalah, kau ini. Seharusnya kau bisa menjadi wanita yang anggun, jangan galak-galak kepa—"     

"Nona Abel ... Abella." Panggilan itu membuat perkataan wanita cantik itu terhenti dan mengkode Venni untuk kembali ke dalam rumah terlebih dulu.     

Venni hanya bisa mengangguk tanpa protes, jika sudah melihat raut wajah serius Nonanya. Sebelum dia pergi, ia meletakkan Sebuah kertas di atas pangkuan Abella.     

Sekarang Rian telah berdiri di hadapan Abella dengan wajah tertunduk dan sesekali terangkat untuk menatap setiap inci wajah sempurna itu.     

"Nona apa kabar?" tanyanya gugup, Rian tidak pernah merasakan hal seperti dalam hidupnya, kecuali dulu melihat Rachel untuk pertama kalinya.     

"Baik, Tuan Rian. Lalu bagaimana kabarmu?" tanya balik Abella tanpa minat apa pun.     

Rian mengangguk menanggapi pertanyaan wanita cantik tersebut. "Baik, sepertimu Nona Abella. Aku hanya ingin bertanya tenta—"     

"Tentang persetujuanku?" tanggap Abella cepat, dan lagi-lagi diangguki Rian.     

Abella menunjuk ke arah bangku hitam di sana. "Duduklah dulu, aku seperti Tuan rumah yang tak baik hati, tidak memberikan tamunya duduk. Apa kau juga perlu minum, Tuan Rian?" tawar Abella sekali lagi.     

"Tidak perlu, Nona. Saya sudah minum di dalam. Saya hanya ingin bertanya tentang jawaban yang Nona berikan."     

Abella yang diam-diam sedang menautkan jemarinya di atas pangkuan. Harus berpura-pura tidak terjadi apa pun pada tubuhnya. Sebenarnya ia gugup menatap manik hitam legam indah milik Rian yamg membuatnya jatuh cinta.     

"Aku tidak benar-benar mengiyakan pernikahan ini. Karena aku tahu aku bukanlah wanita pilihanmu ... jelas karena aku cacat." Abella menyerahkan berkas yang tadi malam telah ia persiapkan ke arah Rian.     

"Aku juga menemukan sebuah perjanjian yang kau tawarkan pada papaku. Kita bertiga akan terikat suatu perjanjian," tambahnya membuat kening Rian berkerut. "Bacalah lebih dulu aku akan menerangkan."     

Rian menurut, ia membuka lembaran pertama dan memasang telinga untuk mendengar dengan rinci apa kemauan dari putri Hernandes.     

"Tolong beri aku anak. Aku tidak memaksa, aku hanya menginginkan ada seseorang yang menemani dan merawat papaku saat aku tiada nanti. Dan kau jelas akan mendapatkan perusahaan yang kau inginkan."     

Rian menghentikan manik hitamnya saat membaca beberapa baris kalimat di sana. Ia mengangkat pandangan hingga beralih pada sosok yang sedang menatapnya sendu. Namun, mencoba memperlihatkan ketegarannya.     

"Jika, aku bisa hamil dan melahirkan. Kau tidak bisa mengaku sebagai ayah dari anakku. Bagaimana?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.