HE ISN'T MYBROTHER

Kebahagian Rachel



Kebahagian Rachel

0"Sayang, ke mana Delon kenapa dia tidak pulang denganmu?"     

Dinu melongok ke arah luar saat menantunya sudah semakin dekat dengan dirinya. Serta teriak-teriakan yang biasa ia dengar begitu jelas. Tapi, masih tidak menemukan keberadaan sang putra.     

"Kak Delon sedang melakukan sebuah misi, Pa," jawab Rachel saat kursi rodanya didorong Pak Yono ke arah Dinu.     

"Misi?"     

Rachel mengangguk seraya menurunkan putrinya. Senyum ceria Nefa dan Nathan melengkung jelas. Mereka berdua sudah puas bisa bermain di kantor papanya.     

Sedangkan Dinu harus pulang lebih dulu karena asisten pribadinya sedang ingin membahas surat pemindahan perusahaan.     

"Tuan Antoni sedang diculik, Pa. Jadi, Kak Delon ke sana dengan kak Regan. Aku nggak tahu mereka akan pulang kapan," jelas Rachel sembari mengangguk kedua kalinya saat Pak Yono meminta izin untuk pulang.     

Karena tugasnya telah selesai hari ini.     

Rachel sedikit melirik keberadaan kedua anaknya yang sudah mengambur ke dalam pelukan Bi Rina di sana.     

"Tuan Muda ... dan Nona tidak lelah? Kenapa tertawa begitu riang? Apakah ada sesuatu yang akan Bibi dengarkan malam ini?" tanya wanita paruh baya itu dengan nada kecil dibuat semirip mungkin dengan suara Nefa.     

Tapi, Bi Rina tetaplah Bi Rina. Suara itu masih tetap terdengar besar meski mengimbangi suara gadis kecil cantik itu.     

"Banyaaak, Bibi. Nefa dan Kakak akan bercerita tenta—" Bi Rina menempelkan jari telunjuknya di depan bibirnya. Untuk mengkode siapa pun yang bicara harus berhenti. Dan Nefa pun mengikuti apa yang tengah dilakukan wanita paruh baya tersebut.     

"Kita akan bercerita setelah Tuan dan Nona Muda berganti pakaian. Okay?" ucap Bi Rina seraya mengulurkan buku tangan yang terbuka ke arah kedua anak majikannya tersebut.     

Toss!     

Nathan dan Nefa memeberi balasan pada buku tangan itu.     

"Okay, Bi!" jawab Nathan dan Nefa secara bersamaan.     

"Mamaa ...." Nathan memanggil sembari memutar tubuh kecil itu untuk menghadap sang Mama. "Nathan dan Nefa pergi ke kamar dulu ya! Byee Opa, jangan lupa tidur lebih awal!" tambahnya dengan melambai ke arah Dinu dan Rachel.     

Dinu mengangguk dengan senyum simpulnya membalas perkataan sang cucu. Setelah ia ketahuan termenung duduk di kursi makan oleh Nathan, mulai sejak itu pula bocah laki-laki tersebut memperhatikan pola tidurnya.     

Sangat manis, ia hampir menangis merasakan kehangatan keluarga ia rasakan kembali.     

"Baiklah, Cucu Opa! Kamu selalu tahu yang terbaik untuk Opa!" ujar lelaki paruh baya itu.     

Rachel mengangkat pandangan ke arah papa mertuanya. Senyum cantik terbit di sana, ia juga ikut bahagia jika Dinu sudah terbiasa tinggal bersamanya.     

"Terima kasih, Rachel. Berkatmu Papa bisa dimaafkan Delon dan bisa kembali bersama kalian," imbuhnya seraya memutar kepala perlahan ke arah sang menantu.     

Rachel menggeleng. "Bukan karena aku, Pa. Tapi, karena di antara kalian masih ada cinta. Tuhan pun tak akan pernah memisahkan cinta seorang ayah kepada anak atau sebaliknya ..."     

"Apalagi hanya mereka." Lanjutnya.     

Dinu menyeka linangan air mata yang jatuh di atas rahang yang mulai terlihat lipatan karena penambahan usia yang tak dapat dicegah. Lidah Dinu begitu kelu untuk bisa mengungkapkan perasaan bahagia dan haru yang telah menjadi satu.     

"Jangan menangis, Pa. Papa hanya boleh tertawa di sini. Ingat dua cucu Papa selalu mengatakan 'Opaa tidak boleh menangis nanti jelek, Nefa nggak suka. Apalagi Kakak ... dia juga tidak suka orang menangis' ingat, Pa?"     

Rachel menirukan suara menggemaskan putrinya, setelah kalimat itu berakhir ia bahkan tertawa sendiri mengingat betapa konyolnya dirinya.     

Dinu tertawa di sela tangisnya. Ia bahkan sangat mengingat kata-kata itu. Karena Nefa selalu menyukai lelaki tampan, dan menurut Nefa, Dinu masih bisa dikatogorikan dalam golongan itu. Meski ia sendiri tidak menyakini akan hal tersebut.     

Setelah perbincangan di ruang tamu telah usai Rachel sudaha masuk ke dalam kamarnya sendiri. Kamar yang selalu ia masuki berdua dengan Delon.     

Di saat seperti ini, ia merindukan lelaki tampan itu yang selalu memberinya semangat saat ia patah arah untuk mewujudkan kedua kakinya berfungsi kembali.     

Kedua tangan itu terulur di atas pangkuannya, lalu merambat kebawah. Ia sedikit bisa merasakan remasan pada kakinya. Perkembangan itu begitu Rachel syukuri meski ia tidak pernah mengatakan apa pun kepada Delon.     

"Kak Delon, sedang apa kamu di sana? Apa sudah makan? Aku berjanji akan rajin belajar berjalan lagi sampai kamu datang nanti," gumam Rachel mengulas senyum.     

Kedua tangan itu kembali memutar roda kursi rodanya untuk sampai di tempat tidur. Rachel perlahan mengulurkan kedua tangannya untuk menggegam spray kuat kedua kakinya ia turunkan satu persatu untuk menyentuh dinginnya lantai berwarna putih bersih itu.     

Rachel menghembuskan napas panjang. Ini bukan kali ini pertama, tapi kenapa jantungnya berdetak dengan begitu cepat. Perasaan gagal mulai menghantui perempuan cantik itu.     

"Ayo kamu pasti bisa, Chel. Sudah berkali-kali kamu menangis dan gagal. Jangan biarkan kali ini kamu gagal lagi." Monolog Rachel pada dirinya sendiri.     

Setelah keyakinan mulai terbentuk, kedua kaki itu mulai menegak. Kedua lutut Rachel memang bergetar, tapi ia bisa berdiri dengan sedikit membungkuk sembari memegang erat spray.     

"Astagaa, aku bisa? Aku tidak percaya ini ..." ucap Rachel sekali lagi saat mengarahkan pandangan ke arah kedua kakinya yang sudah benar berdiri tanpa bergetar lagi tidak seperti tadi.     

Perlahan, ia melepaskan kedua genggaman tangannya, lalu mengangkat ke udara. Tapi, sayangnya tubuh itu langsung terjatuh di atas ranjang.     

Tidak berapa lama Rachel tertawa terbahak. Ia sama sekali tidak menangis saat tubuhnya justru terpantul di atas kasur empuk ini. Ia justru bahagia dengan perkembangan kedua kakinya.     

"Terima kasih, Ya Tuhan! Bagaimana kalau kak Delon tahu aku akan bisa berjalan sebentar lagi?" Rachel menggeleng-geleng dengan kedua tangan yang menutup wajah cantiknya.     

***     

"Kita tidak perlu tunangan terlebih dulu, Nona Abella?"     

Pertanyaan itu membuat wanita cantik itu menoleh. Ia bingung kenapa lelaki tampan itu ada di kamarnya. Setelah dua hari mereka tidak datang. Bahkan, Abella tidak berpikiran jika lelaki akan kembali lagi.     

"Tunangan untuk apa? Aku tidak punya banyak waktu untuk melakukan itu semua. Kamu tahu 'kan waktu tidak banyak. Apa kau sengaja mengejekku?" jawab ketus Abella membuat Rian yang berdiri beberapa meter dari kursi rodanya menunduk menyesal.     

Kaki itu mulai mengayun ke arah kursi roda Abella yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Perlahan tubuh kekar Rian ia turunkan, untuk bisa menyamai tinggi dari kursi roda Abella.     

"Maafkan aku. Aku tidak pernah bermaksud untuk menanyakan hal tersebut. Aku pikir kamu akan seperti wanita lain ... meminta pertunangan lebih dahulu," sahut Rian dengan lirih.     

Abella tak berniat menjawab perkataan Rian. Ia berniat untuk pergi dari tempat itu. Tapi, Rian justru menahannya.     

"Aku bukan wanita di luaran yang sering kau kenal, Tuan Rian. Jadi, lepaskan aku ... sepertinya kau melewati batas!"     

"LEPAS!" Ulangnya dengan nada tinggi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.