HE ISN'T MYBROTHER

Pencarian Delon dan Regan



Pencarian Delon dan Regan

0"Bukankah dulu kamu sangat menyukaiku, Abella? Kenapa sekarang kamu begitu membenciku?"     

Abella memutar kepala mendapati pertanyaan itu begitu membuat hati Abella sakit. Ia memang benar masih begitu menyukai Rian, dengan berbagai perangai yang lelaki tampan itu miliki.     

"Kita saling menguntungkan. Aku mungkin dulu menyukaimu, tapi sekarang tidak. Aku pikir hidup untuk menyukai seorang lelaki hanya akan membuang waktuku saja," jawab sarkas wanita cantik itu.     

Rian menatap mata Abella lekat. Ia kecewa dengan jawaban wanita cantik itu ... tapi, ia di sini hanya ingin kembali mengakrabkan diri bukan sebagai anak buah Hernades, tapi sebagai calon suami Abella.     

"Baiklah, itu tidak masalah. Aku diminta papamu untuk datang, untuk membahas pernikahan kita. Kamu mau semewah apa? Atau kau ingin dihadiri oleh pelukis terkenal?" tawar Rian membuat kepala Abella menggeleng.     

Abella tidak bisa pergi dari sana karena Rian masih menahan kursi rodanya. Jadi, ia mengarahkan pandangan ke arah jendela, lebih tepatnya ke arah langit biru luas.     

Pernikahan adalah acara sakral yang begitu Abella inginkan sejak dulu. Saat seluruh rangkaian kalimat romantis yang papanya ceritakan pada dirinya begitu membuatnya ingin berjalan di sana bersama dengan seseorang yang mencintainya juga.     

Akan tetapi, jika mengingat Rian hanya menikahi Abella karena harta papanya. Tiba-tiba hati Abella begitu sakit. Ia tidak menyangka cintanya terbalas dengan begitu menyakitkan.     

Terkadang Abella tidak mempercayai ketulusan seorang lelaki untuknya. Bagaimana jika ia miskin, dan berpenyakit seperti ini. Apa Rian dan lelaki di luaran sana masih menyukai dirinya?     

"Aku hanya ingin pernikahan biasa saja. Apa ada lagi yang ingin kau tanyakan? Aku sudah sangat mengantuk ..."     

"Kau bisa pergi dari sini, atau jika ada pertanyaan lain ... kau bisa bertanya pada asisten papa. Dia tahu tentang aku bagaimana," sahutnya yang perlahan mencoba melepas genggaman tangan Rian pada tangan kursi rodanya.     

Pandangan penuh arti Rian masih tak bisa lepas dari sosok cantik tersebut. Apalagi saat melihat bibir tipis merah itu membuat ludah Rian terteguk kasar.     

"Abella, kita belum benar-benar saling mengenal. Aku hanya ingin bertanya padamu saja. Papamu sudah mengatakan pernikahan kita akan di lakukan Minggu ini. Jadi, biarkan aku di sini terlebih dulu," kata Delon membuat kedua manik mata Abella terbuka lebar seketika.     

"Minggu ini?!" Ulang Abella dengan nada meninggi. Rian pun membalas dengan anggukkan mengiyakan. "Bagaimana bisa Papa tidak memberitahuku terlebih dulu?" sambungnya yang tiba-tiba bernada lemah.     

Kepala wanita cantik itu tertunduk, ia tidak menyangka hari yang akan menjadi sejarah dalam hidupnya akan berlangsung beberapa hari lagi. Sedangkan tubuhnya masih saja terasa lemah setelah kemoterapi yang ia lakukan dua hari yang lalu.     

Lelaki tampan itu mengambil tangan Abella, membawanya hingga menyentuh permukaan bibirnya dengan manik hitam yang mnatap ke arah bola mata hitam terkejut dalam tangkapan pantulan matanya.     

"Jangan sedih. Aku tahu apa yang kamu pikirkan," kata Rian yang mengulurkan tangan menyentuh pipi pucat itu. "Kamu semakin kurus, Abella. Apa kamu kesakitan?"     

Pertanyaan Rian membuat kedua alis Abella terangkat sedikit meninggi. Tangan lemah itu bergerak untuk melepas dari kecupan bibir Rian. Lalu, menarik tangan Rian dari wajahnya.     

"Keskaitan apa? Jangan membuatku tertawa. Aku hanya sedikit lelah melukis sepanjang waktu di taman," kilah Abella yang tak ingin lelaki itu tahu jika dirinya memang sedang merasakan itu.     

Rian menghela napas panjang. Seberapa kuat dirinya tak ingin memperdulikan Abella, nyatanya hati lelaki tampan itu berkata sebaliknya.     

Rian ingin selalu berada di samping wanita cantik itu yang sudah tak lagi memiliki mahkota indah yang selalu dipamerkan oleh seluruh wanita di dunia ini dengan warnanya hitam legam, terkadang menyukai saat rambut panjang tergerai itu terkena tiupan angin.     

Kali panjang itu bangkit dari duduknya. Lalu berjalan ke arah belakang kursi roda Abella.     

"Heei, apa yang kau lakukan? Aku bisa menjalankan kursi rodaku sendiri. Aku tidak butuh dikasihani olehmu!" pekik Abella, namun tak diindahkan oleh Rian.     

Lelaki tampan itu justru membawa Abella ke dekat ranjang besar di sana yang dilapisi dengan sprai putih gading yang begitu bersih.     

Tatanan barang-barang di kamar Abella juga begitu rapi. Ia tahu jika wanita itu memang sangat menyukai kebersihan dan kerapian setelah beberapa hari ini ia bersama dengan wanita iu.     

Abella semakin memicing tajam saat merasakan tubuh kecilnya terangkat di udara oleh dua buah tangan kekar yang memeluknya erat.     

"Diamlah, Nona Abella. Anggap aku bukan calon suamimu yang kau benci. Anggap aku sebagai penjagamu kemarin. Jangan membuatku menjatuhkan tubuhmu di atas lantai begitu saja ..."     

"Karena saat kamu memberontak, tubuhmu sangat berat. Aku pikir kau kurus dan langsung," sambung bohong Rian dengan ekspresi yang dibuat-buat seperti seseorang yang sedang keberatan.     

Abella memukul dada bidang Rian dengan kesal setelah mendengar perkataan itu. "Aku kurus. Kau saja yang terlalu berlebihan," sahutnya seraya mencebikkan bibirnya.     

Sehingga pemandangan tersebut membuat garis tegas di bibir Rian melengkung sembari menggeleng. "Aku suka saat kamu merajuk padaku, Nona."     

***     

Delon mendobrak tempat di mana berbagai mayat terlibat berjatuhan depan sebuah rumah tersebut. Bau busuk begitu menyeruak di indera penciuman, tak ayal beberapa anak buah Delon harus menyimpan hidung mereka untuk menghindari pusing dan mual di tempat.     

"Kalian cek mayat di sana. Tandai beberapa anak buah Antoni yang telah mati. Jangan sampai terlewat!" perintah Delon membuat mereka mendelik terkejut. Pasalnya mereka sedaritadi menghindari beberapa mayat yang sudah hancur di beberapa bagian tubuh.     

Tapi, kenapa sekarang mereka tiba-tiba ditugaskan untuk mengecek mayat-mayat itu seperti petugas karyawan rumah sakit.     

"Tu-Tuan De-Delon ... tapi, mereka," jawab salah satu dari mereka yang menunjuk ke arah salah satu dari mereka yang terbujur kaku di atas tangah.     

Delon menaikan satu alis medengar jawaban dari salah satu anak buahnya.     

"Kenapa? Kalian takut? Bukankah kalian juga akan menjadi mereka? Cepat pergi!" tandas Delon tegas tanpa bantahan apa pun.     

Mau tidak mau mereka mengangguk dengan saling pandang satu sama lain. Selama mereka bersama dengan Delon, mereka tidak pernah menemui mayat busuk. Jika hancur mungkin hanya karena tertabrak sesuatu.     

Tapi, kalau seperti ini. Mereka benar-benar harus menyiapkan mental.     

"B-baik, Tuan Delon."     

Delon menggeleng dengan mengangkat tangan di atas kepala, kemudian langkahnya kembali terayun diikuti Regan yang meledek satu mata yang ditarik ke bawah pada beberapa anak buahnya.     

Regan terkekik melihat wajah ketakutan anak buahnya yang tak pernah ia terjadi sebelumnya.     

"Re, kau pergi ke ujung ruangan ini. Seluruh lantai rusak, jadi kau harus berhati-hati atau kakimu akan terperosok karena lantai kayu ini rapuh," peringatan Delon yang diangguki Regan dengan wajah bersemunya.     

Dan hal tersebut membuat Delon mengerutkan kening. Hari ini perlakukan anak buahnya begitu di luar pemikirannya. Ditambah lagi Regan.     

"Ada apa lagi denganmu?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.