HE ISN'T MYBROTHER

Rumah Aneh, Siapakah Pemiliknya?



Rumah Aneh, Siapakah Pemiliknya?

0"Mereka semua tidak mati, Boss!" teriak Regan dengan tangan yang masih terulur di dekat lubang hidung.     

Delon juga sedang mengecek denyut nadi para anak buahnya. Dan apa yang dikatakan Regan memang benar.     

Tubuh Delon berjongkok, membalik tubuh salah satu anak buahnya. Berbagai jengkal ia sentuh untuk memeriksa tebakannya benar. Di bagian punggung, tidak ada apa pun. Biasanya di sanalah tempat mereka menyimpan senjata.     

Kepala Delon mengangguk-angguk samar. Satu lengan tangannya menompang di atas lutut yang lurus dengan sedikit mengusap dagu tegas.     

"Mereka akan bangun beberapa menit lagi. Panggil yang lain untuk berjaga di sini sampai mereka terbangun. Kita pergi dari sini," kata Delon seraya bangkit berdiri.     

Beberapa bukti sudah bisa ia kantongi. Jika ia bisa menerka seluruh teka-teki yang telah berada di otaknya, maka itu memang benar.     

"Tapi, apa tidak masalah ditinggal di sini? Karena yang lain belum datang," jawab Regan ragu jika melihat mereka tergeletak begitu saja di atas tanah. Tidak ada yang tersisa yang masih tersadar membuat lelaki berkaca mata itu cemas.     

"Tidak apa. Cepat pergi! Mereka sudah tidak mempunyai apa pun. Senjata dan berbagai barang yang melekat telah dicuri. Asap itu dari kelompok perampok kota," ujarnya di sela kaki itu melangkah mendekati mobil.     

Regan yang mendengar itu pun kembali menoleh ke arah belakang. Kepala itu menggeleng. "Perampok di siang hari ... benar-benar berani."     

Regan memasukkan tubuh ke dalam mobil sesudah Delon masuk. Kendali setir telah bergerak memutar sering dengan arahan sang tuan. Regan masih bingung mobil akan diarahkan ke mana, karean sedaritadiukut Delon terbungkam.     

Delon meremas foto lama yang berada digenggaman tangannya. Benda yang ditemukan tadi, masih segar di ingatan.     

"Kita ke alamat ini." Delon menyerahkan kertas foto lecek. Regan mengulurkan satu tangan ke belakang untuk menerima pemberian Delon. Tangan itu ditarik, dibaliknya foto itu. Kemudian mengarahkan fokus pada coretan pena yang sudah tak lagi begitu kentara sampai di depan tulang mancung Regan.     

"Alamat siapa ini? Apa kau yakin Antoni ada di sana?" tanya Regan di saat ia juga menggegam foto tersebut.     

Delon menghela napas, pandangan itu kini beralih pada jendela berembun. Sore ini terlihat rintikkan hujan membasahi aspal.     

"Aku juga tidak tahu. Aku kira Anin ... tapi, sepertinya dia orang yang berbeda," Delon menjawab dengan lirih.     

Lelaki tampan itu semakin penasaran siapa sebenarnya yang berniat munculik Antoni. Apalagi foto yang ditinggal seperti sengaja memberi kode kepada Delon.     

Regan mengangguk-angguk. Ia tak paham dengan rencana yang terpotong-potong seperti ini. Lebih baik ia menunggu instruksi lanjutan dari sang Boss.     

Perjalanan begitu mulus meski mobil hitam itu menerjam hujan yang semakin lama semakin lebat seperti tirai indah yang menyapa kedatangan Delon.     

Sebuah bangunan rumah yang berdiri kokoh dengan balutan cat hitam menjadi pemandangan pertama setelah mobil yang dikendarai Regan berhenti sempurna. Delon juga menyapu pantulan mata hitam legamnya pada sebuah rumah, tak jauh besar dengan runahnya.     

Masih dengan fokus mereka berdua yang belum teralihkan. Suara gebrakan mesin mobil dari luar mbuat tubuh mobil bergoyang seiring dengan tatapan tajam yang diarahkan seorang lelaki berkepala botak dengan kalung rantai tebal panjang menjuntai menghiasi leher hingga di depan dada bidangnya.     

"Pergi!" katanya dalam bahasa Inggris. "Jangan pernah parkir sembarangan di sini," sambungnya.     

Delon sudah mengkode Regan untuk tetap berada di dalam mobil. Sedangkan lelaki tampan itu sudah mengeluarkan tubuh, melangkah ke arah lelaki jangkung bermata tajam di sana.     

"Aku ingin bertemu dengan pemilik rumah ini ... atau aku akan menelpon polisi tentanga keberadaan rumah ini?"     

Mendengar perkataan lelaki berpakaian putih ketat dengan wajah khas barat itu berjalan, lalu membuka pintu gerbang dengan kedua manik mata hijau yang menyebar ke kanan kiri, cemas.     

Delon mengulas senyum smilrk di wajahnya. Langkah panjang itu masuk ke dalam mobil. Ia bahkan tidak tahu pemilik rumah ini, tapi yang sekarang ia tahu bahwa bangunan rumah itu berdiri dengan ilegal.     

Jika bukan Anin lalu pemilik rumah ini siapa? Delon pikir yang memiliki foto jaman dulu sepertinya hnya dirinya, Anton, dan Anita.     

Dan Anin mendapatkan foto tersebut dari Anita, mungkin saja wanita itu masih menyimpan beberapa foto seperti itu juga.     

'Kenapa begitu sepi dan gelap? Apakah benar ada orang di dalam rumah ini?' gumam Delon saat mendapati ruangan dalam bangunan yang baru saja menjadi pijakan kedua sepentunya begitu hening.     

"Angkat kedua tanganmu!" perintahnya yang langsung dituruti Delon. "Aku akan pastikan tidak ada kamera yang melekat pada tubuhmu," sambungnya.     

Selama pemeriksaan Delon hanya diam dengan posisi yang sama. Kedua manik hitamnya menyapu ke seluruh tempat untuk memastikan memang tidak ada seorang pun di sana.     

Tapi, ia salah. Kedua manik itu menemukan seorang pria sedang menyandarkan kedua lengan yang saling menyilang di atas sebuah besi tangga.     

'Siapa dia? Apa mungkin pemilik rumah ini?'     

***     

Hari yang ditunggu tiba. Tidak terasa satu Minggu yang telah direncanakan Hernandes telah menjadi kenyataan. Gaun putih yang begitu indah menempel selaras dengan bentuk tubuh Abella.     

"Kamu sudah siap, Sayang?"     

Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Abella. Senyum cantik terlukis di sana, dadanya berdegub tak beraturan. Ia tidak menyangka hari yang tak pernah ia harapkan terjadi. Meski ketulusan calon suaminya hanya demi mendapatkan harta semata.     

"Siap, Pa." Jawaban Abella juga membawa senyum simpul lelaki paruh baya yang sedang memakai jas hitam dengan hiasan bunga di dalam saku.     

Jika ini cara untuk memberikan pengganti dirinya. Abella akan lakukan agar Hernandes tak lagi bersedih saat kehilangan dirinya kelak. Dan ia berharap jika calon anaknya tidak mengalami apa yang telah ia rasakan seumur hidup.     

Berjaga dengan beberapa pil obat penunda kematian hanya untuk menunjukkan senyum cerahnya.     

Hernandes mengecup pucuk kepala putrinya. Sesuai dengan keinginan Abella. Pernikahan ini hanya dihadiri oleh beberapa keluarga terdekat tanpa hadirnya media.     

Berbeda dengan Rian dan Marina. Mereka justru menginginkan pernikahan ini dipampang di seluruh media cetak maupun online agar Dinu dan Delon tahu jika kehidupan mereka telah berubah.     

Namun, mereka harus cukup menerima keputusan Abella yang menginginkan pernikahan hanya digelar secara sederhana.     

Hernandes mendorong kursi roda Abella melewati althar, di sana sudah ada Rian dengan wajah tampannya terpesona dengan kecantikan Abella meski berada di atas kursi roda.     

Jarak mereka semakin dekat. Senyum tampan terbit dari bibir tebal Rian parfume Abella menguar di hidung.     

"Selamat datang calon istriku," ucap Rian saat Abella memberikan pandangan lekat pada manik hitam legamnya.     

Abella hanya membalas dengan mengangguk. Kedua kelopak mata yang hampir tak berkedip beberapa detik itu ia buang ke sekitar.     

"Mari kita lakukan akad pernikahan."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.