HE ISN'T MYBROTHER

Kedatangan Max



Kedatangan Max

0"Lo jangan aneh-aneh deh. Mau nyari di mana makanan itu?" tanya Sellyn bingung. Karena memang jarang ada gerobak dorong atau jenis makanan jalanan yang melintas di depan perumahan Rachel. Keculai di rumahnya tentu ada.     

Tapi, tunggu ... kenapa Rachel mau makan Bakso? Karena ia tahu jika shabatnya itu terlalu menyukai makanan yang berbahan daging.     

Sellyn mencodongkan tubuhnya ke arah Rachel dengan mata menyipit, bahkan kdau telinganya telah terbuka lebar. "Lo lagi ngidam? Lo hamil lagi hah?"     

Pertanyaan Sellyn sontak membuat Rachel membulatkan mata. Rachel mendorong tubh Sellyn untuk kembali duduk, meski dorongan itu tidak terlalu kencang, namun bisa membuat tubuh Sellyn terduduk.     

"Ngomong apaan sih, lo! Gue aja nggak ngerasa mual, atau apa pun. Mana mungkin gue hamil."     

Sellyn yang mendengar jawaban Rachel langsung mengusap dada dengan napas terhembus panjang. "Syukur deh, gue nggak kebayang kalau Nathan dan Nefa suah punya adik ...."     

Rachel mengerutkan keningnya mendengar perkataan Sellyn.     

"Memang kenapa?"     

"Kepala lo bisa pecah!" sahut Sellyn dengan tawa terbahaknya. Ia pun langsung berlari keluar untuk menghindari hantaman yang mungkin saja akan diberikan oleh Rachel.     

"Hei, lo mau ke mana!? Dasaar!" teriak Rachel kencang.     

Setelah godaan yang Sellyn berikan pada Rachel. Sekarang ia berniat untuk tidur, benar-benar tidur karena semenjak kepergian Delon perempuan cantik itu sangat susah tidur. Apalagi ditambah kabar yang tak kunjung Rachel dapat dari sang suami membuat pikirannya begitu kalut.     

Jam tidur terbengkalai dan beberapa hal lainnya juga, namun terkecuali mengurus kedua anaknya. Rachel tidak mau jika karena beban pikirannya kedua anaknya jadi terbengkalai dan kurang kasih sayang. Maka dari itu sebisa mungkin Rachel tetap fokus untuk memperhatikan sekolah Nathan dan Nefa.     

Suara ketukan pintu membuat Rachel yang akan menggulung tubuhnya dengan selimut tiba-tiba ia urungkan. Tubuh ramping itu kemnbali tereduduk, ia menggapai remot kontrol untuk membuka pintu kamarnya. Jika, mendengar ketukan lemah itu, Rachel sudah bisa memastikan siapa seseorang di balik pintu itu.     

"Masuk, pintunya sudah tidak terkunci!" teriak Rachel agar seseorang di sana mendengar suaranya     

Tidak menunggu lama, kepala kecil melongok di celah pintu untuk melihat yang dia cari memang ada di dalam kamar tersebut.     

"Mama ..." panggilnya.     

"Kenapa, Sayang? Nathan bosan bermain boneka?" ledek Rachel yang mengingat jika putranya tadi dipaksa oleh putri dari Sellyn untuk menemani para gadis kecil bermain boneka.     

Tubuh kecil itu mulai masuk dengan sempurna ke dalam kamar Rachel, dengan tangan yang perlahan menutup pintu besar itu. "Iya, Ma. Nefa dan Fira sengaja mau bikin citra ketampanan Nathan turun. Bagaimana kalau para fans Nathan tahu, kalau Nathan pernah main boneka?" celotehnya.     

Rachel menggelengkan kepala dengan senyum simpul yang terbit di bibir itu. Ia tidak menyangkali jika putranya yang masih berusia enam tahun sudah memiliki fans para gadis kecil di sekolahnya. Sepertinya kemampuan Delon memang telah menurun pada sang putra.     

"Pelan-pelan ...." Rachel memperingatkan sang putra untuk naik ke atas tempat tidur.     

"Kalau laki-laki mau mainan boneka nggak apa-apa, Sayang. Nggak ada larangan juga, kalau fans putra Mama yang tampan ini tahu itu malah lebih baik. Putra Mama ini jadi tahu, kalau perasaan perempuan itu halus. Nathan tidak boleh kasar," sambungnya.     

Nathan masuk ke dalam pelukan Rachel. Ia sudah merasa bosan karena merasa tidak ada permainan yang membuat bocah laki-laki kecil itu senang. Nathan masih mendengarkan kalimat mamanya.     

"Apa maksud Mama cengeng?"     

Sedangkan di sisi lain, Delon sudah bisa mendudukkan tubuh. Ia sudah merasa jika tubuhnya telah membaik setelah mendapatkan perawatan yang begitu intensif di salah satu rumah sakit yang terkenal di Negara ini.     

Delon tidak menyangka jika sekarang ia dikunjungi oleh seseorang yang tak pernah ia sangka. Karena ia tahu bagaimana keadaan lelaki itu terakhir kali sebelum ia dan Regan memutuskan untuk terbang ke Negara ini.     

"Bagaimana apa aku bisa bicara?"     

"Bicaralah." Delon berkata sembari mengangkat tangan di udara.     

Lelaki itu berdehem untuk menyegarkan tenggorakkannya. Sudah selama ini memang mereka tidak lagi saling bicara setelah peristiwa yang telah ia alami.     

"Aku hanya ingin mengatakan padamu jika Anin tidak seburuk yang kau pikirkan. Dia tidak pernah merencanakan apa pun untuk melukaimu atau Antoni," jelasnya.     

Delon menghembuskan napas kasar. Ia tidak tahu jika Max mengetahui ini semua. Delon memang sudah lama mencurigai Anin. Tapi, satu bukti pun yang menunjukkan ke arah wanita itu memang tidak ada.     

"Kau baru bangun dari koma. Sepertinya kau bperlu istirahat lebih lama untuk memulihkan keadaanmu," sahut Delon sedikit malas jika membahas tentang Anin. Entah kenapa ia masih begitu mengingat jika Antoni pernah mengatakan jika lelaki yang ia tembak mati adalah kakak pertama dari Anita dan Anin.     

Kejahatan dan kesadisan itu masih saja membekas diingatan Delon. Mungkin saja bekas pecut yang begitu bertubi-tubi itu akan menjadi bekas luka yang tak akan pernah hilang seumur hidup.     

"Aku sudah cukup beristirahat. Sekarang waktunya aku menjelaskan padamu ..."     

"Anin dan Antoni bahkan sempat melakukan kerja sama untuk memulihkan ingatan Anita de—"     

"Dengan menukar seluruh harta yang dimiliki Antoni. Benar bukan?" sahut Delon cepat dan seketika membukam mulut Max. Ia tidak menyangka jika Delon sudah tahu tentang peranjanjian di antara mereka.     

Max menghela napas dalam. Kemudian mengangguk mengiyakan.     

Tiba-tiba suara pintu terbuka membuat pandangan Delon mengarah pada pusat suara. Di sana terlihat seorang suster sedang membawa papan laporan, mungkin dia ingin memeriksa keadaan Delon saat ini. Tapi, dengan cepat Delon mengkode dengan tangan terangkat di udara untuk mengkode suster tersebut memberinya waktu sejenak.     

Suster itu pun mengangguk hormat, lalu menutup kembali pintu ruang kamar rawat Delon.     

"Aku tidak tahu tujuan Anin sebenarna apa. Jika dia sudah melupakan dendam itu, aku yakin dia tidak akan menuntut harta Antoni. Karena memang bukan dia yang salah ... tapi, orang tuanya. Kenapa kesalahan sebesar itu harus Antoni yang menanggung?"     

Kalimat Delon membuat kepala Max yang tertunduk langsung terangkat. Ia bingung harus menjelaskan dengan cara bagaimana. Karena hanya Aninlah yang berhak menceritakan semua ini, bukan dirinya.     

"Kau akan tahu nanti, Lon. Yang pasti seluruh harta yang Anin minta bukan untuk dirinya. Dia sudah cukup dengan apa yang dia miliki sekarang," ungkap Max yang mulai beranjka dari duduknya. Tubuh kekar itu kini telah berdiri sempurna di samping brankar Delon.     

Tatapan kedua teman itu saling menyatu menyiratkan pandangan penuh arti yang begitu dalam. Seakan masih ada yang belum tuntas dalam pertemuan singkat tersebut.     

"Kau tidak ingin menunggu Regan? Apa kau tidak merindukan saudaramu itu?" tanggap Delon yang mencoba tidak mau membahas tentang Anin. Karena wanita itu masih belum ia tebak bagaimana arah pemikiran Anin.     

"Aku sudah bertemu dengannya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.