HE ISN'T MYBROTHER

Ke mana Abella?



Ke mana Abella?

0Seluruh keadaan mulai membaik. Para pekerja rumah mewah Delon juga kembali melakukan aktivitasnya lagi.     

Sedangkan Rachel memilih untuk memeluk sang putri dengan erat setelah kepulangan Monica dan Nino.     

"Mama kenapa menangis? Mama nggak boleh cengeng, cukup Nefa aja," ucapnya memuk tubuh Rachel tak kalah erat.     

Rachel membelai kepala belakang sang putri. Permasalahan ini begitu rumit. Ia takut jika posisi Kania ditempati sang putri. Rachel juga takut jika Nefa kekurangan darah dan membutuhkan begitu banyak tranfusi. Mengingat darah Nefa dan Delon sama. Sama-sama sulit didapat.     

"Mama tidak bisa berhenti menangis kalau dipeluk Putri Mama yang cantik ini. Nefa mau janji satu hal ke Mama?"     

Nefa yang masih memeluk tubuh Rachel mengangguk kecil.     

"Nefa tidak boleh keluar tanpa penjagaan anak buah Papa dan Nefa harus menurut apa yang Mama katakan 'tidak boleh' paham?"     

Nefa mengendurkan pelukannya. Kepala itu mendongak dengan bola mata berwarna senada dengan Rachel. "Kenapa begitu, Ma. Kalau Nefa pergi dengan Kakak, juga tidak boleh?"     

Gadis kecil itu mulai memprotes. Meskipun Nefa masih berumur enam tahun, tapi ia tidak suka dikawal oleh beberapa orang yang terlihat begitu menyeramkan di matanya.     

Rachel menggeleng. "Tidak boleh pergi berdua, harus dengan anak buah Papa." Penjelasan itu kembali membuat kepala kecil Nefa tergulai di atas dada Rachel.     

Nefa tidak berani menjawab ataupun menolak perintah yang sudah ditetapkan mamanya jika sudah begini. Melihat kedua manik itu bergetar saja sudah membuat Nefa sedih. Apalagi ia harus membantah larangan itu.     

"Baik, Ma."     

Kecupan ia berikan pada pucuk kepala sang putri dengan lembut. Kini hatinya mulai tenang. Seluruh kecemasan menguar tatkala mendengar satu jawaban yang begitu melegakan hati.     

"Sini ikut Papa. Kamu harus tidur sudah malam. Putri Papa besok sekolah." Delon membawa paksa tubuh putrinya dengan hati-hati dari pelukan Rachel.     

Meskipun Rachel terkejut, tapi ia membiarkan saja Delon membawa Nefa untuk digendong, lalu dinyanyikan lagu kesukaan gadis kecil itu.     

Hanya membutuhkan waktu lima belas menit, gadis kecil mereka telah memejamkan mata dengan nyenyak. Mulut yang sedikit terbuka adalah ciri di mana Nefa telah mengarungi mimpi indahnya di sana.     

Delon mengecup lembut kening sang putri beberapa kali. Hasil dari perbuatan Delon hanya membuat gerakkan sedikit pada tubuh itu, lalu ia turunkan perlahan di tempat tidur Nefa dan Nathan.     

Sedangkan Nathan sudah tertidur lebih dulu saat mereka sedang bermain bersama dengan bi Rina. Mungkin karena aktivitas di sekolah begitu padat untuk anak seumuran Nathan dan Nefa, jadi tubuh mereka mudah lelah.     

"Sebenarnya Papa tidak mau kalian sekolah di sana, tapi mengingat usaha bisnis keluarga kita. Kalian harus bisa membiasakan diri," ucap Delon saat memandang tubuh kedua anaknya yang begitu nyenyak dalam tidur.     

Sekarang kepala itu berputar pada sang istri yang masih terduduk di sofa kecil di ruangan itu dengan menundukkan kepala.     

Delon mendengar semua apa yang dikatakan Rachel pada putri mereka. Sebenarnya itu semua terlalu dini untuk memeriksa penjagaan ketat yang begitu kentara di dekat mereka.     

Tanpa Nathan dan Nefa sadari, Delon telah meletakkan anak buah yang selalu mengikuti ke mana pun kedua anaknya pergi. Tapi, jika meletakakan di dekat mereka secara langsung sepertinya keputusan Rachel terlalu terburu-buru.     

Langkah Delon semakin dekat dengan keberadaan perempuan cantik itu. Tinggal selangkah lagi, Delon sudah bisa menyentuh bahu kecil itu.     

"Sayang, kita ke kamar kita ya? Kamu perlu membersihkan diri. Lihatlah, kamu belum berganti baju," ujar Delon seraya menunjuk ke arah lain yang melekat di tubuh istrinya masih sama dengan pakaian formal saat digunakan di kantor.     

Sedangkan Delon sudah berganti dengan kimono panjang bertali berbahan satin berwarna hitam. Otot kekar itu timbul di sana, begitu menarik untuk dinikmati mata.     

Akan tetapi, Rachel enggan untuk mengalahkan pandangan ke sana. Tubuhnya memang benar-benar lelah. Perempuan cantik itu ingin segera membaringkan tubuh di atas tempat tidurnya yang luas.     

Membuang segala permasalahan hari ini, dan bermimpi dengan tenang.     

"Aku juga mau mandi gerah. Kamu jangan dekat-dekat. Aku bisa jalan sendiri," tolak Rachel saat tangan Delon hendak menggendongnya.     

Tubuh Rachel sudah melewati pintu kamar tidur kedua anaknya. Sedangkan Delon hanya bisa menatap tanpa menyegah langkah itu meninggalkan dirinya di sana.     

"Aku lagi yang kena masalah. Ini semua karena Nino. Harusnya dia tidak datang ke sini," celoteh Delon yang akhirnya ikut mengayun langkah dengan perlahan menutup pintu ruangan itu dengan pelan.     

Rachel sudah sampai di kamar mandi. Ia melepaskan seluruh pakaiannya di keranjang baju kotor. Rambut yang sedaritadi dikuncir kuda ia lepas. Hingga rambut hitam lurus panjang itu tergerai indah menambah kemolekan dari sang pemilik tubuh.     

Suara gemericik dan tumpahan air menambah ketenangan pikiran Rachel. Ia ingin merenungkan seluruh masalah yang terjadi dalam hidupnya akhir-akhir ini. Hingga kedua orang tua mnya harus masuk penjara.     

"Jangan pikirkan lelaki lain, nanti aku cemburu," bisikkan itu membuat tubuh Rachel terjengkit. Apalagi sentuhan pada tubuhnya di balik kumpulan busa sabun.     

"Kenapa kamu ikut mandi? Bukannya kamu udah mandi?"     

***     

Abella mengeratkan cengkraman pada ujung seragam yang digunakan Venny. Kepala Abella kembali sakit. Bahkan sakit di kepalanya begitu terasa mencengkram dan lebih menyakitkan daripada hari-hari kemarin.     

"Bell, kamu kenapa? Kamu sakit lagi?" tanya Venny yang seketika cemas dengan keadaan sang sahabat.     

Abella tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk yang terdengar terbuka dan salam penyambutan dari pelayan rumah.     

Ve-Venny, to-tolong sembunyikan aku. Papa dan Ryan akan segera datang ke taman ini. Ce-cepat!" perintah tak terpantah oleh Abella dengan nada terbata itu langsung membuat Venny ketakutan dan menuruti.     

Sebelum kedatangan dari kedua lelaki yang teramat dicintai Abella. Dirinya harus segera pergi sebelum seluruh orang tahu penyakitnya semakin parah.     

"Aku harap kau benar-benar mengiyakan apa yang telah kau katakan. Jangan buat putriku kecewa. Dia begitu menyukai anak kecil ... bukan untuk penerusku juga. Tapi, untuk kebahagian Abella."     

"Aku tidak takut miskin jika Abella bahagia." Lanjut Hernandes yang hanya diangguki paham Ryan.     

Ryan mengedarkan pandangan ke arah pintu taman yang berkaitan langsung dengan ruangan tengah. Pintu kaca itu terbuka, dan saat terbuka biasanya digunakan untuk istrinya berada di sana.     

"Pa, aku izin ingin ke taman terlebih dulu. Sepertinya Abella berada di sana," kata Ryan yang sudah bergegas dengan penuh semangat untuk melabuhkan kecupan mesra di wajah cantik itu.     

Namun belum satu langkah terselesaikan. Tangan Ryan sudah dicekal oleh tangan tua yang berada di belakang.     

"Aku ikut. Aku juga merindukan putriku, sedaritadi dia mengirimiku foto tersenyum ceria. Aku ingin melihatnya langsung," imbuh Hernandes yang tak kalah bersangat.     

Ryan mengangguk mengiyakan. Ia dan Hernandes akhirnya menuju ke taman. Dan betapa terkejutnya mereka hanya menemukan kursi roda Abella yang teronggok di sana begitu saja.     

"Ke mana Abella ... kenapa hanya ada kursi rodanya?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.