HE ISN'T MYBROTHER

Sebenarnya Ada Apa?



Sebenarnya Ada Apa?

0"Di mana Abella? Kenapa kamu sendirian di sini, Venny? Lalu kursi roda Abella kenapa bisa ada di sini?"     

Pertanyaan dari Hernandes membuat kedua kaki Venny bergetar. Keringat sudah membasuh kening dan seluruh tubuhnya. Iaerasa hujan lebih cepat turun di atasnya.     

"Venny, aku sedang berbicara denganmu. Kenapa kamu diam saja?" Hernandes kembali mengulang pertanyaan tadi. Jawaban yang dapat melegakan hati yang begitu cemas masih belum ia terima.     

Veny mengangkat kepala perlahan, kedua tangan itu masih saling bertaut untuk mengontrol kegugupannya. Wanita itu menghela napas dalam, tanpa Hernandes sadari.     

"Nona Abella sedang berada di kamar mandi, Tuan Hernandes. Tadi kursi rodanya tidak bisa didorong karena terjebak tanah. Saya menggendong nona Abella untuk ke kamar mandi Tuan."     

"Tadi, Nona Abella berpesan akan segera menemui Tuan Hernandes di kamar setelah sakit perutnya selesai." Venny meneguk kembali ludahnya. Namun, kali ini begitu sulit saat kebohongan itu telah ia gulirkan sesuai dengan perintah Ryan.     

Hernandes menghembuskan napas panjang saat mendengar perkataan Venny. Ia pikir putrinya sedang mengalami kesulitan yang membuat hatinya berdebar sedari tadi.     

Tangan yang berlapis di atas bahu kecil Venny membuat wanita itu mengangkat kepala kembali ke arah Hernandes.     

"Astagaa, perasaanku sudah tidak tenang sedaritadi. Ternyata Abella hanya pergi ke kamar mandi."     

"Lain kali mintalah tolong para pelayan rumah untuk membantu mengeluarkan kursi roda Abella. Baiklah kalau begitu aku akan pergi ke kamar," katanya dan hanya membalas dengan senyum canggung.     

Hernandes mengkode jari kepada para anak buahnya untuk kembali dan juga memberitahu kepada mereka jika pencarian telah berakhir.     

Setelah melihat keadaan telah aman. Venny langsung berlari ke arah persembunyiannya. Ia menghampiri Ryan yang justru sedang menangis dengan memeluk tubuh Abella yang sudah tak berdaya dipelukan lelaki tampan itu.     

"Jangan tutup matamu, aku mohon. Aku tidak peduli jika aku jelek. Kamu harus minum obatmu terlebih dulu." Ryan berkali-kali mencoba membuat Abella tersadar.     

Abella mencob melakukan itu. Tapi, tubuhnya menolak. "A-aku le-lah ...."     

Ryan mengecup kening Abella dengan bibir bergetar. Ia menggeleng cepat tak peduli jika aksinya ditonton oleh sahabat istrinya.     

"Tidak boleh. Kamu tidak boleh lelah, ayo aku akan membawamu ke kamar kita." Ryan mengangkat tubuh ramping itu untuk berlari sekuat mungkin.     

Ryan tidak ingin kehilangan Abella secepat ini. Ia ingin memberi apa yang wanita itu inginkan sebelum hal buruk terjadi dan Ryan akan menyesi semua itu.     

"Tuan Ryan lewat tangga belakang. Kemungkinan Tuan Hernandes masih berjalan ke arah kamarnya!" seru Venny sedikit mengencang suara untuk membuat lelaki kekar yang sedang berlari di depannya mendengar.     

Ryan menghentikan laju kaki panjangnya. Napas terengahnya begitu kentara terdengar. Wajah penuh peluh itu memutar ke arah Venny. "Cepat tunjukkan! Aku tidak punya banyak waktu. Cepat!"     

Venny mengangguk hormat di sela kakinya yang ikut berlari tanpa berhenti. Venny mengarahkan pada sebuah pintu yang dibangun atas permintaan Abella pada Hernandes dulu, agar Abella bisa dengan vepat menuju ke kamarnya bersama dengan Venny.     

Akhirnya pintu itu juga sebagai penolong mereka.     

"Lewat sini, Tuan ...." Venny membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkan Ryan untuk berlari lebih dulu.     

Jalan yang akan tersambung dengan tangga yang lebih rendah dari tangga utama selalu digunakan Abella untuk diam-diam bermain saat kondisi tubuhnya sedang demam bersama dengan Venny. Dan nyatanya Hernandes tak pernah mengetahui jika Abella bermain di taman.     

Kedua manik mata hitam Ryan berkaca-kaca saat melihat kelopak mata Abella tertutup. Hatinya semakin resah saat ia menaiki anak tangga dengan cepat. Suara Hernandes memang begitu terdengar. Yang artinya lelaki paruh baya itu belum pergi dari sana.     

Beruntung Venny menunjukkan tangga ini. Tubuh Ryan dan Abella tertutupi oleh bagian tubuh tangga utama.     

'Kamu harus menunggu, Sayang.'     

Tidak membutuhkan waktu lama Ryan telah sampai di kamar mereka. Dengan sekali tutupan pintu dengan menggunakan kaki, pintu itu akhirnya tertutup.     

Perlahan Ryan membarinkan tubuh istrinya dengan bergitu perhatian.     

Tepukan pada kedua belah pipi Abella yang tidak begitu kencang cukup membangunkan Abella. Napas panjang akhirnya terhembus begitu lega. Dada yang begitu sesak kini sudah tidak lagi Ryan rasakan.     

"Kamu bisa bangun sebentar?" tanya Ryan yang dibalas dengan kelopak mata mengerjap dua kali.     

Melihat jawaban itu pun, Ryan mulai kembali membangunkan tubuh istrinya untuk bersandar di punggung sofa.     

Dengan tangan cekatan Ryan menarik laci yang biasanya digunakan Abella untuk menyimpan beberapa obat.     

"Kamu minum ini dulu ...." Ryan memberikan obat-obat itu, lalu air putih dalam gelas bening yang sudah berada di atas nakas.     

Perlahan dengan pasti obat-obat itu telah ditenggak Abella. Dan sekarang gelas bening itu ia arahkan kembali pada Ryan.     

"Terima kasih, sudah membuatku bisa bertahan."     

***     

"Hari ini kita libur dulu, ya Sayang. Aku masih mau memelukmu seperti ini."     

Rachel meraba jam duduk yang berada di atas nakas, kedua kelopak mata itu memicing ke arah jarum jam yang berputar di sana sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi.     

"Jangan main-main, Kak. Kita sudah hampir terlambat. Belum mandi dan lainnya," kata Rachel yang berusaha untuk melepaskan pelukan yang berada di pinggang rampingnya.     

Namun, Jashonnjuatry menyusup ke dalam.tengkuk putih Rachel. Menggigit gemas di sana hingga sang Embu tertawa geli.     

"Karena kamu tadi malam datang bulan. Jadi aku cuma bisa gini, nasib sekali aku Sayang. Apa kamu tidak mau memberiku kompensasi?" pinta Delon dengan memelas.     

Rachel terkekeh geli saat ia merasakan berbagai serangan pada perut dan lehernya telah digelitik oleh tangan serta mulut suami tampannya itu.     

"Aku lupa, Kak. Kamu sih suka nggak tahu kondisi. Lepas dong, kita mau kerja. Percuma kamu tampan, tapi nggak punya uang," ejek Rachel jelas dibalas dengan tawa nyaring dari Delon.     

Lelaki tampan itu semakin memeluk tubuh istrinya dengan gemas. Bahkan hembusan napas hangat telah menyapu tengkuk putih Rachel.     

"Baiklah, aku tidak mau sampai istriku kekurangan—"     

Delon menutup mulutnya saat mendengar ketukan pintu kamarnya berulang kali, hingga membuat kedua kelopak mata itu terbuka lebar.     

"Siapa Kak itu?" tanya Rachel yang juga ikut bingung dengan ketukan itu yang pasti bukan berasal dari pelayan di rumah mereka.     

"Aku lihat dulu. Kamu di sini saja," ucap Delon pada Rachel seryaa memberi kecupan mesra di kening perempuan cantik itu.     

Delon berjalan dengan mengencangkan kimono panjangnya. Sebelum langkah panjang itu sampai di depan pintu kamar. Ia membelokkan langkah ke arah meja rias Rachel. Laci kecil di bawah ia tarik, satu senjata berwarna hitam telah ia bawa ke dalam kimono panjangnya.     

Apa yang dilakukan Delon jelas tak luput dari pandangan Rachel. Ia juga telah bangkit dari selimut tebal yang sengaja ditutupkan Delon di tubuhnya.     

"Sebenarnya ada apa? Kenapa hatiku begitu cemas?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.