HE ISN'T MYBROTHER

Abella Ketemu



Abella Ketemu

0Abella menengadahkan kepala mendapati Ryan dan Hernandes sudah berada di dekat tempat persembunyiannya. Remasan pada ujung bajunya menjadi bukti betapa sakitnya penyakit yang menyerang otak Abella.     

"Te-tetaplah seperti ini, jangan sampai mereka tahu," titah Abella lirih pada Venny yang diserang kecemasan luar biasa melihat dua keadaan begitu tak memungkinkan jika dirinya masih berada di samping Abella tanpa obat yang biasanya nonanya minum.     

"Tapi, aku harus mengambil obatmu," jawab Venny yang berupaya menentang titah yang baru saja terlontar dari mulut Abella.     

Wanita cantik itu menggeleng dengan tangan beralih mencengkram ujung seragam Venny. Jika, Venny tetap bersikukuh mengambil obatnya, maka itu artinya Venny akan bertemu dengan Ryan dan papanya. Abella tidak mau. Ia masih belum siap jika papanya mengetahui keadaannya yang sesungguhnya.     

"Abella jangan seperti ini. Kau sudah sangat kesakitan, kau perlu obat itu," kata Venny yang ingin melepas cengkraman tangan Abella, namun wanita itu tetap saja tidak mau menyerah.     

Abella menurunkan pandangan berkaca-kaca ke arah Venny dengan menggeleng lemah. "Aku mohon, jangan ... aku masih bisa menahannya."     

Venny menghembuskan napas kasar. Ia sudah tidak bisa lagi memaksa kehendaknya, meski itu benar. Tatapan sendu itu membuat harti Venny tak tega.     

"Baiklah, Bell. Aku harap kamu segera membaik," ucap Venny kembali seraya mengangguk lemah dengan melengkungkan senyum di wajah pucat itu.     

Sedangkan di sisi lain Hernandes sedang kebingungan. Kepala itu memutar ke kanan lalu ke kiri dengan gerakkan tak beraturan hanya untuk memastikan putrinya masih ada di sekitar taman rumahnya begitu luas itu.     

Banyak tempat di halaman tersebut. Namun, sampai saat ini tak ada satu pun anak buah Hernandes yang kembali dengan membawa laporan yang memuaskan.     

Tak hanya Hernandes. Ryan yang mencoba mencari keberadaan Abella di berbeda tempat dengan Hernandes pun ikut bingung. Tidak biasanya Abella meninggalkan kursi rodanya seperti itu.     

Ia tahu benar jika kedua kaki itu tidak berfungsi sejak lahir. Maka dari itu kecemasan Ryan jauh lebih besar, ia takut jika ada seseorang yang mencoba untuk menyakiti istrinya.     

"Kamu di mana? Aku sudah mencarimu di kamar. Tapi, kamu tidak ada," gumam frustasi Ryan seraya membelah rambut hitamnya.     

Ryan memperhatikan ada tiga anak buah Hernandes yang sengaja Ryan perintah tadi untuk memeriksa sesuatu. Dan sekarang mereka terlihat berjalan cepat ke arahnya dengan tatapan penuh arti.     

"Bagaimana? Apa yang kalian dapat di sana?" tanya Ryan pada mereka bertiga yang sudah berdiri di hadapannya.     

Salah satu dari mereka menyodorkan sebuah ponsel ke arah Ryan. "Kami telah memindah data rekaman di sini, Tuan. Dan di sana sudah tidak ada lagi bukti rekaman yang menunjukkan keberadaan nyonya Abella."     

Ryan menerimanya. Ia memang sengaja memilih tiga orang yang tidak terlalu dekat dengan Hernandes untuk bekerja untuknya. Hanya untuk mengawasi keadaan Abella. Ia takut jika dirinya tidak ada, penyakit Abella mulai bereaksi.     

"Apa yang kalian lihat di sini?"     

"Kami melihat nyonya Abella kesakaitan dan bersembunyi di suatu tempat yang tidak terjangkau oleh kamera CCTV."     

Mendengar penjelasan itu, Ryan dengan cepat membuka ponsel tersebut. Ia memutar video tersebut yang hanya berdurasi beberapa detik saja.     

Ryan melihat di sana pelayan yang selalu bersama dengan istrinya mencoba untuk mendorong kursi roda Abella. Namun, usahanya selalu gagal. Karena roda kursi roda Abella terkubur tanah. Akhirnya pelayan tersebut menggendong tubuh Abella yang sudah menahan kesakitan.     

Dan apa yang dikatakan anak buah Hernandes, kamera itu hanya menyangkup beberapa tempat saja. Karena ia sudah tidak bisa melihat tubuh Abella dibawa ke mana.     

"Kalian bertiga tetap diam. Jangan katakan apa pun pada Tuan kalian. Ini demi Abella."     

"Dan sekarang kalian kembali berpencar. Cari keberadaan Abella ke mana pun. Aku yakin dia masih berada di sekitar sini."     

Perintah tegas Ryan mendapatan balasan anggukan dari ketiga lelaki bertubuh kekar tersebut. Mereka juga langsung berlari memencar untuk melaksanakan perintah Ryan.     

Ryan kembali memandang video yang masih bnerada digenggaman tangannya. Satu tangan ia gunakan untuk mengusap kasar wajahnya.     

"Sebenarnya kamu di mana. Aku hanya ingin mengatakan sesua—"     

Kalimat lelaki tampan itu terhenti saat mendengar lirihan tertahan seperti menahan rasa sakit yang teramat sakit.     

"Abella ...."     

Ryan bergegas berlari dengan menajamkan telinga. Ia tidak sedang berhalusinasi, ia memang mendengar suara Abella yang merintih kesakitan. Peluh sebesar biji jagung telah menghiasi kening tegas Ryan. Wajah yang telah memerah menandakan dirinya sudah teramat sangat cemas dengan kondisi Abella.     

"Bell, aku ambilin obat ya? Jangan cegah aku lagi. Lihat kondisimu semakin parah jika tidak meminum obat itu."     

Abella membuka sedikit kelopak mata, tatapan sendu dengan gelengan kepala membuat jawaban itu kembali berkata 'tidak'.     

"Aaagghh... sa-sakitt!"     

"Abella!" Venny memekik ketakutan saat Abella justru memegang kepala dengan erat. Peluh dingin mulai membanjiri wajah pucat itu. "Aku sudah tidak peduli lagi dengan ancamanmu. Aku harus segera mengambi oba—"     

"Ada apa dengan istriku?"     

Suara serak itu membuat kepala Venny menengadah. Sedangkan Abella sudah tidak bisa lagi merespon keberadaan siapa yang baru saja datang. Rasa sakit yang mencengkram kepalanya sungguh membuat seluruh tubuhnya lemas.     

Venny meneguk ludah kasar. Ia kemudian mengarahkan pandangan ke arah Abella yang tiba-tiba terjatuh di atas lantai. Venny dan Abella bersembunyi di tempat persembunyian mereka waktu kecil. Sebuah ruang kecil seukuran kamar, namun banyak diisi permainan.     

"Ke-kepala Ab ... Nyonya sakit lagi, Tuan Ryan," jawab Venny dengan terbata. Ia bahkan sempat salah menyebut panggilan biasa di antara mereka berdua.     

Ryan menggeleng kepala cepat. Peluh yang sudah membanjiri wajah tampannya ia seka kasar, lalu kepala itu berputar pada kondisi halaman taman masih begitu banyak anak buah Hernandes yang masih mencari keberadaan Abella. Tidak hanya mereka, ada Hernandes pula di sana.     

"Bisa bahaya jika Hernandes tahu kondisi Abella seperti ini." Ryan kembali mengarahkan pandangan ke arah Venny yang terlihat sedang menyadarkan Abella untuk tetap sadar.     

Ryan masuk ke dalam ruang kecil tersebut. Ia mengkode Venny untuk menyerahkan ABella padanya. Venny pun menurut tanpa bantahan, mengingat status lelaki itu yang lebih jelas atas tubuh Abella.     

"Kau pergi ke sana, ambil obat Abella dengan cepat. Tapi, jangan sampai ketahuan Hernandes."     

"Dan katakan ini, jika mereka bertanya etntangmu yang datang tiba-tiba ...." Ryan mengatakan beberapa kalimat untuk menunjang kepercayaan Hernandes yang pastinya akan bertanya tentang Abella kepada Venny.     

"Apa kau mengerti?" imbuhnya yang diangguki berat Venny. "Pergilah."     

Ryan membawa Abella ke dalam pelukannya. Ia tidak ingin Abella pingsan terelenbih dulu sebelum meminum obatnya.     

"Sayang, bangunlah. Aku sudah di sini ... maafkan aku," lirih Ryan tepat di telinga Abella. Tubuh ramping yang sudah begitu lemas ia rasakan sedang menggerakkan tangan. Dan hal tersebut sontak membuat Ryan menatap tak percaya.     

"Kamu sangat jelek saat menangis. Aku tidak suka."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.