Gentar Almaliki

Gentar Meninggalkan Kota Ponti



Gentar Meninggalkan Kota Ponti

0Orang tua itu tertawa lepas sambil menepuk-nepuk pundak Gentar, "Ha ... ha ... ha..."     

Kemudian, orang tua itu berkata lirih, "Tidak usah banyak berterima kasih kepadaku! Aku pun jika tidak banyak urusan pasti mau menemanimu untuk mencari keberadaan ayahmu."     

Gentar tersenyum dan meraih tangan Ki Wiralada, dengan sikap ramah dan santun, Gentar mencium telapak tangan pria senja itu.     

"Hei! Apa yang kau lakukan? Aku ini bukan kyai atau pandita!" Ki Wiralada menarik tangannya.     

"Aku sangat menghormatimu, Ki. Kau sudah aku anggap sebagai guruku," ujar Gentar meluruskan pandangannya ke wajah sang pendekar sepuh itu.     

Ki Wiralada tersenyum dan mengelus lembut pundak Gentar. Setelah itu, ia langsung bangkit dan berpamitan kepada Gentar Almaliki Dewi Rara Sati. Lalu berjalan meninggalkan warung tersebut tanpa berbasa-basi lagi.     

Di warung itu hanya tinggal Gentar dan Dewi Rara Sati saja. Tak ada kata yang diucapkan oleh pendekar pedang kematian itu, ia hanya diam dengan tatapan kosong ke arah luar. Sesekali ia menoleh ke arah Gentar dengan sikap dingin.     

Demikian pula dengan sikap Gentar, ia merasa bingung harus memulai perbincangan dari arah mana.     

Setelah beberapa saat kemudian, Gentar pun mulai membuka mulut, ia berkata lirih, "Hari ini aku akan berangkat ke desa Marga sesuai saran dari Ki Wiralada. Bagaimana denganmu? Apakah kau akan ikut denganku?!"     

Dewi hanya diam, seakan-akan tak mengindahkan pertanyaan dari Gentar. Sehingga Gentar pun kembali bertanya, "Hai! Kau ini. Aku tanya kau mau ikut denganku atau tidak?" Gentar sedikit kesal dengan sikap yang ditunjukkan oleh wanita itu.     

Dewi Rara Sati berpaling ke arah Gentar, tatapannya tajam dan terkesan sinis. "Hei, apa urusannya denganmu? Aku mau pergi ke mana itu bukan urusanmu!" Suaranya sedikit membentak.     

Gentar mengerutkan keningnya. Lalu berkata, "Kau tampak gusar, apa yang sudah aku perbuat? Kalau aku punya salah, tolong maafkanlah!"     

Gentar merasa tidak enak hati dengan sikap Dewi Rara Sati. "Sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku tadi?" bertanya-tanya Gentar dalam hatinya.     

Dewi Rara Sati merubah posisi duduknya, ia mulai membelakangi Gentar.     

"Kau ini, cantik tapi pemarah," gerutu Gentar.     

"Tadi kau bilang, aku tidak boleh ikut campur persoalan yang sedang kau hadapi, sudah barang tentu kau pun tidak boleh tahu urusanku!" hardik Dewi Rara Sati berpaling ke arah Gentar dengan menunjukkan sikap marah.     

Gentar tersenyum, lalu menghela napas dalam-dalam. Dalam hatinya berkata lagi, "Rupanya dia masih marah, terus kenapa dia mengetahui ilmu silat yang aku miliki?"     

Setelah itu, Gentar bangkit dan menjura hormat kepada wanita cantik itu. "Aku mohon maaf, karena ucapanku ada yang menyentuh perasaanmu. Sehingga kau marah terhadapku, terima kasih kau sudah perhatian dan banyak membantu ketika aku dalam kesulitan."     

Melihat sikap Gentar yang menjura hormat sambil membungkukkan badan, Dewi Rara Sati tertawa lepas. Lantas, ia pun berkata, "Kau pikir aku memperhatikanmu? Dasar! Kau ini terlalu percaya diri."     

Gentar sedikit pun tidak tersinggung dengan ucapan Dewi Rara Sati. Justru ia malah senang karena tidak melihat kemarahan di wajah pendekar cantik itu.     

"Terserah kau saja! Tapi aku tahu bahwa kau baik dan perhatian terhadap aku." Gentar berkata tegas sambil tersenyum.     

Sejatinya, Gentar hanya menggoda wanita itu. Akan tetapi, yang dirasakan oleh Dewi Rara Sati justru ucapan pendekar tampan itu sangat membuatnya senang dan bahagia.     

Ia tersentuh dengan kalimat yang terlontar dari mulut sang pendekar tampan itu. Dengan demikian, kemarahannya pun mulai mereda.     

Mereka berdua saling berpandangan dan melontar senyum, satu sama lain mulai merasakan ada getaran hebat dalam dada mereka.     

"Kau terlalu tampan, hingga perasaanku tak menentu jika menatap wajahmu," kata Dewi Rara Sati dalam hati.     

Gentar bangkit dan berkata lirih, suaranya terdengar berat, "Aku harus berangkat sekarang. Jika kau berkenan dan masih ada di kota ini singgahlah ke gubukku yang kosong! Meskipun tidak ada aku."     

"Baiklah, aku pasti akan mendatangi gubukmu dan akan membersihkannya jika ada waktu," kata Dewi tersenyum manis menatap wajah Gentar.     

Ia tampak semringah mendengar ucapan dari Gentar sang pendekar tampan yang sudah membuat hatinya berbunga-bunga. Walau dalam hati kecilnya ia bersedih karena harus pisah dengan Gentar.     

Kemudian, Gentar pun pamit dan berjanzi akan menemui Dewi Rara Sati lagi di kemudian hari setelah urusannya selesai.     

"Aku punya ratusan keping uang, belilah seekor kuda untuk menemani perjalananmu ke desa Marga!" Dewi menyerahkan katung kain yang berisi ratusan keping uang kepada Gentar.     

"Ya, Allah! Kau tidak perlu repot-repot, Dewi!" Gentar enggan menerima uang tersebut.     

"Jika kau tidak menerima uang ini. Maka, aku akan marah besar!" ancam Dewi bola matanya tajam menatap wajah Gentar.     

"Baiklah, tapi separuh saja. Jangan kau berikan semua!" jawab Gentar gugup.     

Akan tetapi, Dewi Rara Sati terus memaksa Gentar, agar menerima semua uang tersebut.     

"Kau terima saja semua! Aku masih punya banyak kepingan uang, kau jangan khawatir!" desak pendekar cantik itu.     

"Ta-tapi...."     

"Sudahlah, kau pergi dan beli seekor kuda!" potong Dewi Rara Sati.     

Dengan demikian, Gentar pun menerima ratusan keping uang dari dewi. Kemudian, ia segera pulang ke gubuknya sebelum ia melakukan perjalanan jauh menuju sebuah desa yang ada di wilayah utara dari kota Ponti.     

Setibanya di bukit Datar, ia langsung masuk ke dalam gubuknya dan merapikan pakaian serta barang-barang yang berharga miliknya.     

"Benar kata Dewi, aku harus membeli kuda. Karena perjalanan ke desa itu sangat jauh," desis Gentar membuka kotak kayu berukuran sedang pemberian dari Ki Ageng Raksanagara. Gentar sangat terkejut ketika membuka kotak itu, yang semenjak dibawanya tidak pernah ia buka.     

"Ya, Allah! Ternyata ini emas semua!" ucap Gentar tercengang melihat isi dalam kotak tersebut.     

"Guru telah memberikan aku bekal kepingan uang yang sangat banyak. Lantas, kenapa ia memberikan emas ini kepadaku?" gumamnya sambil mengamati isi dalam kotak tersebut.     

Emas-emas tersebut berupa patahan gelang yang berjumlah banyak memenuhi kotak itu.     

"Alhamdulillah. Ya, Allah!" ucap Gentar penuh syukur.     

Gentar mempunyai bekal yang cukup, untuk melakukan perjalanan jauh. Jumlah uang pemberian dari gurunya masih tersisa banyak, ditambah lagi dengan ratusan keping uang dari Dewi Rara Sati. Tentu itu sangat banyak dan tidak akan segera habis meskipun ia bertahan lama dalam melakukan perjalanannya dalam mencari keberadaan ayahnya.     

Setelah itu, ia langsung membersihkan diri dan segera melaksanakan Salat Zuhur sebelum berangkat ke kota untuk membeli seekor kuda.     

Usai melaksanakan Salat Zuhur, Gentar bergegas keluar. "Bismillahirrahmanirrahim," ucapnya lirih sambil menutup pintu gubuknya.     

Kemudian langsung melangkah menuju kota Ponti, Gentar hendak mendatangi peternakan kuda yang ada di kota tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.