Gentar Almaliki

Kemunculan Para Pendekar Iblis Merah



Kemunculan Para Pendekar Iblis Merah

0Menjelang senja matahari pun sudah condong ke sebelah barat. Langit sudah mulai meredup, aktifitas penduduk mulai tak terlihat lagi. Mereka sudah berada di rumah masing-masing, bersiap menyambut kedatangan malam.     

Gentar memacu derap langkah kudanya menuju jalan utama yang mengarah ke desa Marga.     

Desa Marga merupakan sebuah desa yang dihuni oleh mayoritas Muslim, sehingga Gentar tidak kesulitan ketika mencari Masjid untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang Muslim. Karena saat itu sudah menginjak waktu magrib.     

Gentar berhenti di salah satu Masjid kecil di desa itu, dengan serta-merta ia segera melaksanakan Salat Magrib berjamaah bersama para penduduk yang ada di sekitar desa tersebut.     

Usai menjalankan kewajibannya, Gentar beristirahat sejenak melepas lelah. Duduk santai di beranda Masjid sambil mengamati gerak-gerik orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan desa itu.     

Beberapa saat kemudian, datang seorang pria paruh baya berjanggut tebal dan berselendangkan sorban di pundaknya. Wajahnya terlihat cerah dan masih tampak gagah, pria paruh baya itu tersenyum dan mengucapkan salam, "Assalamualaikum."     

"Wa'alaikum salam," sahut Gentar, bangkit dan menjura hormat kepada pria paruh baya itu.     

"Duduklah, Anak muda!" kata pria paruh baya itu dengan sikap ramah.     

Gentar hanya mengangguk kemudian duduk di tempat semula. Demikian pula dengan pria paruh baya tersebut, ia langsung duduk di sebelah Gentar.     

"Kau ini dari mana, dan hendak ke mana, Anak muda?" tanya pria paruh baya berjanggut putih itu.     

"Aku Gentar, datang dari kota Ponti hendak berkunjung ke desa Marga timur," jawab Gentar lirih.     

Pria paruh baya itu menghela napas dalam-dalam. Ia tersenyum memandang wajah Gentar. "Desa Marga timur ada di ujung hutan. Kau harus melewati hutan Marga kemudian akan tiba di desa Marga timur!" terang pria paruh baya itu.     

Gentar mengerutkan kening. Lalu berkata lagi, "Aku pikir ini sudah masuk ke wilayah desa Marga timur?!"     

"Bukan, Anak muda. Ini adalah desa Marga barat, jika kau ingin ke sana segeralah berangkat mumpung belum larut malam!" kata pria paruh baya itu.     

Dengan demikian, Gentar pun langsung pamit kepada orang tersebut. Setelah mengucap salam, ia bergegas menaiki kudanya dan langsung berlalu dari Masjid itu.     

"Semoga perjalanan ini tidak menemui kendala," desis Gentar dalam hati.     

Sebagai seorang pendekar yang berjiwa jujur dan masih baru di dunia persilatan, maka sama sekali ia tidak menyembunyikan perjalanannya, dan tidak mempedulikan akan adanya bahaya dari orang-orang yang mengincarnya.     

"Bismillahirrahmanirrahim." Gentar mulai memacu derap langkah kudanya.     

Dalam perjalanan tersebut, ia memikirkan apa yang telah terjadi di Padepokan Iblis Merah. Mengapa dari awal kedatangannya hingga ia meninggalkan lagi tempat tersebut, tidak kelihatan lagi Lian Mei yang selama pertikaian itu, ia ada di dalam gedung tersebut. Dan kenapa ia menampakkan diri?     

Dan ketika ia hendak bertempur melawan murid senior dari padepokan itu, mengapa Ki Damerda mendadak mengeluarkan perintah agar ia meninggalkan tempat tersebut.     

"Ketika aku datang ke gedung itu, Lian Mei ada dan ia sedang bertarung. Tapi, kenapa dia menghilang setelah aku terlibat dalam pertarungan itu? Ada di mana Lian Mei saat itu?" desis Gentar sambil terus memacu langkah kudanya.     

Gentar pun berpikir bahwa Lian Mei kala itu tengah berada di dalam gedung tersebut. Akan tetapi, ia berpikir pula, jika benar Lian Mei sedang berada di dalam gedung itu, mengapa ia tidak mau keluar dan membantunya ketika dirinya dalam keadaan terdesak?     

Gentar tidak mengerti dengan pola pikir Lian Mei. Namun, menurut dugaannya, dalam hal ini pasti ada sebab yang masih tersembunyi.     

Tidak lama kemudian, suasana malam pun mulai gelap. Tatapi ia masih juga melarikan kudanya di dalam sebuah hutan yang lebat dengan pohon-pohon besar di sepanjang jalan yang ia lalui itu. Hanya ada sedikit pancaran sinar bulan yang menerangi perjalanannya, meskipun redup terhalang awan hitam yang bergelombang.     

Tiba-tiba saja, Gentar seperti merasakan adanya orang-orang yang membuntuti dari belakang. Maka, ia pun segera merendahkan laju kudanya.     

"Apakah di sini ada para pendekar yang selama ini memburuku?" desis Gentar langsung menghentikan laju kudanya.     

Di atas kudanya ia mulai mengambil sikap siaga dan berhati-hati dalam menghadapi kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya.     

Lantas terdengar suara tertawa seorang pria di dalam hutan tersebut. Tidak lama kemudian muncul Wana Aji sambil tertawa lepas, "Ha ... ha ... ha...."     

Gentar hanya diam dan belum bereaksi apa-apa dengan kemunculan pendekar senior dari Padepokan Iblis Merah itu.     

"Para pendekar dari berbagai golongan sibuk mempertaruhkan nyawa mereka di dalam gedung itu, tidak kusangka kaulah yang memetik hasilnya. Kalau kau ingin selamat coba kau serahkan keris pusaka itu kepadaku!" kata Wana Aji sambil bertulak pinggang di hadapan Gentar. "Ayo, serahkan keris pusaka itu! Jika tidak. Maka hutan ini akan menjadi kuburanmu!" sambung Wana Aji penuh ancaman.     

Dengan demikian, maka Gentar pun meloncat dari punggung kudanya. Matanya tajam menyapu keadaan di sekitar hutan tersebut yang tampak remang-remang hanya sedikit tersorot sinar bulan yang menerobos ke sela-sela dedaunan yang rimbun.     

Dengan demikian, ia segera mengetahui bahwa di hutan itu terdapat para pendekar yang tengah mengincar dirinya. Seketika itu ia berkata sambil tertawa lepas, "Ada atau tidak adanya keris pusaka itu. Aku tidak akan sudi menyerahkannya kepada kalian!"     

Wana Aji dengan sorot mata buas maju dua langkah mendekati Gentar, kemudian berkata dengan suara membentak, "Terakhir kalinya aku peringatkan, jika kau tidak mau menyerahkan keris pusaka itu, jangan menyesal jika kami berlaku kejam terhadapmu!"     

Perkataan yang keluar dari mulutnya terkesan mengancam. Namun, Gentar bukanlah seorang pendekar yang mudah kehilangan nyali begitu saja. Dengan segenap keberanian yang dimilikinya, ia pun maju beberapa langkah.     

"Aku tidak peduli dengan ancaman kalian, sesungguhnya bahwa keris pusaka itu memang tidak ada padaku. Lantas, jika kalian mau membunuhku silahkan!" Gentar balas menantang tidak merasa takut sedikitpun terhadap Wana Aji dan kelompoknya.     

Dalam waktu singkat, sudah ada sekitar puluhan pendekar yang telah mengurung Gentar dari berbagai penjuru arah. Para pendekar itu adalah murid-murid Sri Wulandari dari Padepokan Iblis Merah.     

Akan tetapi, tindakan mereka tersebut tidak diketahui oleh Sri Wulandari. Mereka melakukan perbuatan tersebut atas perintah dan kendali dari Wana Aji sebagai murid senior dari padepokan tersebut.     

Beberapa saat kemudian, terdengar suara tertawa lepas, "Ha ... ha ... ha...."     

Setelah itu, muncullah dua orang pendekar yang tanpa banyak bicara, mereka langsung melakukan serangan terhadap Gentar dengan begitu ganasnya.     

Gentar tetap bersikap tenang meski sedang dalam kepungan banyak musuh, tetapi karena sejak awal ia sudah bersiap siaga dalam mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi, dengan sesegera mungkin ia langsung menangkis serangan-serangan tersebut, dan balas melakukan serangkaian serangan terhadap dua pendekar tersebut.     

Sebuah sinar keemasan yang keluar dari telapak tangannya itu dengan cepat menyambar tubuh dua lawannya. Sehingga kedua pendekar itu telah kehilangan arah serangan mereka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.