Gentar Almaliki

Bertemu dengan Ki Damerda



Bertemu dengan Ki Damerda

0Pendekar Pedang Kematian itu terdiam sejenak, ia menghela napas dalam-dalam. Lalu berkata lagi, "Untuk membuktikan bahwa dirimu benar-benar tidak bersalah, dan bukan pelaku pembunuhan itu. Maka, kau harus membuktikannya sendiri dengan cara turun tangan langsung mencari orang-orang yang wajahnya mirip dengan dirimu!" tegas Dewi Rara Sati tampak penuh kepedulian terhadap permasalahan yang tengah dihadapi oleh Gentar.     

Walau bagaimanapun, Dewi tidak dapat memungkiri bahwa dirinya benar-behar menyayangi Gentar. Meskipun, ia belum yakin Gentar mau menerimanya sebagai seorang kekasih, karena keyakinan mereka berbeda. Gentar adalah seorang Muslim, sementara dirinya adalah seorang wanita yang berkeyakinan Hindu. Sehingga Dewi pun memupuk perasaan dalam hatinya sedalam mungkin, dan belum berani mengungkapkan langsung di hadapan Gentar.     

Bersamaan dengan itu, tumbuh pula dalam hati Gentar. Tentang rasa curiga terhadap orang-orang yang wajahnya mirip dengannya.     

"Apakah orang yang sudah melakukan pembunuhan dan teror itu, ada hubungannya dengan aku sendiri? Apakah mereka itu memiliki garis keturunan yang sama denganku?" batin Gentar bertanya-tanya dalam hatinya.     

Gentar berpikir demikian, karena merasa curiga jika darah kedua orang tuanya mengalir dalam tubuh mereka yang wajahnya mirip dengan dirinya.     

"Apa yang tengah dipikirkan oleh Gentar?" desis Dewi Rara Sati dalam hati.     

Dewi Rara Sati tampak penasaran ketika melihat Gentar terdiam. Lalu, ia pun kembali bertanya, "Apa yang sedang kau pikirkan?"     

Gentar tersentak dan langsung menyahut dengan gugupnya, "Ti–tidak, Wi. Tidak apa-apa, aku hanya memikirkan bagaimana caranya agar aku segera bebas dari persoalan ini!" kelit Gentar.     

Dewi Rara Sati tersenyum. Lalu berkatalah ia, "Ketika kau meninggalkan kota Ponti, aku dan Ki Wiralada pernah melakukan penyelidikan terkait kasusmu ini, tapi tidak pernah mendapatkan sedikitpun tanda-tanda. Suasana Masjid tempat pembantaian para pengurus dan imam, dan Padepokan silat Iblis Merah tampak sepi dan tenang seperti tidak ada persoalan lagi," kata Dewi Rara Sati mengungkapkan.     

"Sungguh?!" tanya Gentar terkejut.     

"Ya, memang seperti itu. Bahkan, karena aku merasa penasaran, pada malam harinya aku berangkat ke utara. Dalam perjalanan tersebut, aku melihat begitu banyaknya pendekar yang tengah mengejarmu ke arah utara," jawab Dewi Rara Sati menuturkan.     

Gentar mengerutkan keningnya, ia tampak bingung dan tidak mengerti dengan apa yang barusan dibicarakan oleh Dewi Rara Sati. Sejatinya, dalam perjalanan tersebut, ia tidak merasakan adanya para pendekar yang mengikutinya dari belakang.     

"Aku merasa bahwa dalam perjalananku ini tidak ada satu orang pun yang mengikuti aku," desis Gentar mengerenyitkan kening.     

"Lantas, orang-orang yang menghadangmu di alas Marga itu siapa? Kalau tidak mengikutimu dari kota Ponti, mereka tidak mungkin berada di alas Marga!" jelas Dewi Rara Sati.     

Dengan demikian, Gentar pun baru menyadari bahwa kehadiran orang-orang tersebut, tidak mungkin tidak ada sebab.     

"Benar yang kau katakan, ternyata banyak sekali para pendekar yang sudah mengikuti jejakku ke sini," kata Gentar baru memahami perkataan dari Dewi Rara Sati.     

"Kau tidak mungkin sadar dengan gerakan mereka yang mengintaimu. Mereka adalah para pendekar berkepandaian tinggi, jadi tidak akan mudah bagi kita untuk mendeteksi keberadaan mereka. Aku sering bertemu dengan orang-orang seperti itu, mereka hadir ibarat hantu yang secara tiba-tiba menyerang dan pergi!" tandas Dewi Rara Sati. "Aku sendiri juga bingung, bagaimana caranya agar dapat menghentikan kasusmu ini? Jujur saja, aku ini khawatir dan cemas jika harus berjauhan denganmu," sambung pendekar wanita berwajah cantik itu.     

Gentar lalu menyahut sambil menghela napas, "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan dirimu selama ini, kau tetap perhatian dan terus menolongku meskipun persoalan ini bertambah rumit. Aku hanya pasrah dan percaya akan takdir Allah, walaupun aku harus mengalami kesulitan dalam perjalanan hidupku ini, yang penting aku benar-behar tidak melakukan perbuatan yang mereka tuduhkan."     

"Walau bagaimanapun persoalan ini harus ada ujungnya, supaya semua orang dapat melihat mana yang baik dan mana yang buruk. Coba berusahalah! Aku akan membantumu," kata Dewi Rara Sati berusaha untuk tetap memberikan dukungan terhadap Gentar.     

"Entahlah, aku sudah pasrah dalam menghadapi ini semua. Namun, aku akan tetap melakukan perlawanan terhadap mereka, jika mereka berusaha mencelakai aku," desis Gentar.     

"Kau ini tidak seharusnya bersikap seperti seorang pengecut! Apa kau mau membiarkan urusan ini berlarut-larut? Apakah kau tidak ada kemauan untuk membebaskan diri dalam persoalan ini?" tanya Dewi Rara Sati tampak kesal dengan sikap Gentar, apa yang telah diuraikan oleh Gentar tidak sesuai dengan keinginan dirinya.     

"Aku bingung, untuk saat ini sudah tidak ada gunanya aku menjelaskan kepada mereka. Justru kesalahpahaman akan bertambah, aku yakin apa yang dilakukan oleh orang-orang yang mirip denganku itu ada alasan-alasan yang kuat. Jika belum tercapai, mungkin orang-orang tersebut tidak akan berhenti bertindak, kita diam saja dulu! Setelah itu barulah kita bertindak untuk kembali menyelidikinya!" tutur Gentar memaparkan apa yang seharusnya ia lakukan saat itu.     

Mendengar perkataan dari Gentar, Dewi Rara Sati hanya diam. Sejatinya, ia memang tidak setuju dengan pemikiran pendekar muda itu. Namun, itu sudah menjadi keputusan Gentar, karena dia merupakan orang yang berada di dalam persoalan tersebut.     

"Sebaiknya kau urus saja dulu persoalanmu! Aku merasa tidak enak hati, terus-menerus melibatkan dirimu dalam urusanku ini," kata Gentar sambil memandangi paras cantik yang ada di hadapannya itu.     

Gentar berkata demikian sebenarnya mengharap bahwa Dewi Rara Sati tidak terlibat lebih jauh lagi dalam persoalannya itu. Sejatinya, Gentar pun merasa khawatir akan keselamatan pendekar wanita itu.     

Dewi Rara Sati yang terkenal dengan sebutan Pendekar Pedang Kematian, muncul di dunia persilatan jauh lebih dulu dari Gentar. Sudah barang tentu, ia sangat paham dengan kondisi di dalam rimba persilatan.     

Demikianlah, ia pun paham ketika mendengar perkataan dari Gentar. Ia sangat mengerti, jika dirinya terus ikut campur dalam persoalan tersebut, maka Gentar akan kesulitan dalam melakukan pergerakan demi menyelidiki kasusnya itu. Karena akan lebih nyaman dan leluasa, jika melakukan penyelidikan secara terpisah.     

Dengan demikian, Dewi Rara Sati pun mulai memahami dan mengerti dengan kondisi yang diinginkan oleh Gentar. Lantas dengan berat hati ia pun berkata, "Aku harap kau berhati-hati! Aku akan memberi tahukan dirimu jika ada kabar terbaru," tandas Dewi Rara Sati sambil memandangi wajah Gentar begitu lekat.     

Sorot matanya yang tajam mengandung banyak arti yang belum dipahami oleh Gentar. Bahkan, Gentar pun tidak terlalu memperhatikan sikap Dewi Rara Sati terhadap dirinya.     

"Aku pamit, semoga kau selamat dan dapat bertemu lagi denganku," pungkas Dewi Rara Sati langsung meloncat dan duduk dengan sempurna di atas pelana kudanya. Ia hanya sedikit menoleh ke arah Gentar sambil tersenyum, lalu memacu derap langkah kudanya menuju ke arah timur.     

Gentar balas tersenyum dan memandangi kepergian wanita berparas cantik itu. Kemudian, ia pun meloncat ke atas kudanya dan langsung memacu derap langkah kuda tersebut menuju utara untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke sebuah desa kecil yang berada di bibir alas Marga. Desa Marga timur yang merupakan desa tujuan Gentar yang hendak mencari tahu tentang keberadaan ayahnya. Karena, Gentar masih yakin bahwa ayahnya masih hidup.     

Ketika sudah memasuki desa Marga timur, tiba-tiba saja Gentar kembali menghadapi persoalan lain lagi. Ia kesulitan dalam melakukan pencarian terhadap seorang ulama yang tengah ditujunya itu.     

Sebab, Resi Wiralada kala itu hanya memberi tahukan padanya dan menyuruhnya mencari seorang ulama ternama yang terkenal yang berada di desa Marga timur. Akan tetapi, Resi Wiralada tidak menyebutkan nama ulama tersebut, dan Gentar lupa bertanya di sebelah manakah padepokan milik kyai tersebut.     

"Di mana letak rumah atau padepokan kyai itu?" desis Gentar.     

Ia tampak bingung dan harus bertanya kepada siapa lagi? Setiap bertanya kepada penduduk yang ada di desa tersebut, tak ada satupun yang mengetahui tentang keberadaan kyai tersebut, karena Gentar bertanya tidak sambil menyebutkan nama ulama tersebut.     

Desa Marga timur merupakan sebuah desa yang menjadi tempat peradaban Islam di wilayah kepulauan Kaliwana. Desa Marga timur merupakan desa yang sangat penting di kerajaan Wana Buana yang dulu merupakan sebuah kesultanan besar yang terpecah belah karena masuknya tentara kolonial yang membawa pengaruh buruk bagi kedamaian di kesultanan tersebut.     

Desa tersebut, meskipun memiliki luas wilayah yang tidak begitu besar. Akan tetapi, penduduk yang menempati desa itu sangatlah banyak dan berjumlah jutaan orang. Mereka mendirikan rumah berjajar rapi di sepanjang jalan utama, mendirikan pasar dan pusat perbelanjaan. Bahkan sarana ibadah pun sangat lengkap, meskipun di dominasi oleh berdirinya Masjid-masjid megah di setiap perkampungan yang ada di desa Marga timur.     

Sehingga dengan banyaknya penduduk di desa tersebut, akan terasa sulit jika menanyakan alamat seseorang kepada mereka. Karena mereka tidak saling mengenal antara satu sama lainnya.     

"Sebentar lagi malam akan segera tiba, aku harus mencari rumah penginapan di sekitar desa ini," desis Gentar sambil berjalan menuntun kudanya menuju sebuah rumah yang ada di deretan rumah penduduk.     

"Assalamualaikum, mohon maaf, Ki Sanak. Apakah ini rumah penginapan?" tanya Gentar kepada seorang pria paruh baya yang ia temui di depan rumah tersebut.     

"Waalikum salam. Ya, memang benar, Andika masuk saja! Ada pemiliknya di dalam sana!" jawab pria paruh baya itu, bersikap ramah terhadap Gentar.     

"Terima kasih, Ki Sanak," pungkas Gentar langsung pamit dan segera masuk ke dalam halaman rumah tersebut.     

Ia langsung menemui sang pemilik rumah penginapan itu, dan langsung memesan satu kamar untuknya beristirahat. Tapi baru saja ia melangkah hendak masuk ke dalam kamar rumah penginapan tersebut. Tiba-tiba saja Gentar terkejut dengan kehadiran seorang pria tua berjanggut putih dan mengenakan jubah putih tampak ramah tersenyum ke arahnya, lalu menghampirinya.     

Gentar sangat mengenal pria sepuh itu. Pria tersebut adalah Damerda guru besar dari Padepokan Iblis Merah. Ia merupakan pendekar tua yang sangat dihormati oleh para pendekar di kalangan rimba persilatan yang ada di kota Ponti, Gentar mengerutkan kening, lantas berkata lirih sambil menjura, "Aki merupakan guru besar di Padepokan Iblis Merah, kenapa berada di desa ini?"     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.