Gentar Almaliki

Tiba di Rumah Kyai Jalaluddin



Tiba di Rumah Kyai Jalaluddin

0Damerda hanya tersenyum dan tertawa kecil sambil menatap tajam wajah Gentar. Kemudian, ia berkata, "Aku bisa berada di mana saja, kau tidak akan paham meskipun aku jelaskan!" Pria sepuh itu berkata sambil tak henti-hentinya tertawa.     

"Kalau memang demikian, Aki sudah barang tentu mengetahui tentang apa yang aku alami selama berbulan-bulan ini? Tapi, apakah mungkin Aki bersikap seperti para pendekar lainnya yang terus memburuku, dan menuduhku sebagai orang jahat?" tanya Gentar lagi.     

"Sebaiknya kau tahan amarahmu dulu! Mari kita bicarakan ini dengan pikiran tenang!" kata Damerda sambil tersenyum lebar.     

Gentar merasa bingung, dua bola matanya terus memandangi wajah orang tua itu. Akan tetapi, ia masih merasa kurang percaya terhadap orang tua tersebut. Walau bagaimanapun, Damerda adalah bagian dari para pendekar yang selama ini melakukan perburuan terhadap dirinya.     

"Ada banyak yang bilang bahwa padepokan-padepokan besar di pulau Kaliwana, perlahan-lahan akan hancur dan runtuh. Aku sebagai orang baru di dunia persilatan memiliki kesan buruk terhadap para pendekar senior di pulau ini, mereka mengakui diri mereka berasal dari kelompok baik dan terhormat. Namun tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat? Mereka hanya menilai kebaikan dari golongan mereka sendiri!" tutur Gentar mengungkapkan semua tentang perasaan di dalam jiwanya.     

Damerda hanya tersenyum saja menanggapi perkataan dari Gentar. Sejatinya, ia tidak sedikitpun merasa tersinggung dengan ucapan Gentar.     

"Seperti halnya keris pusaka yang jauh-jauh aku bawa ke pulau ini. Lantas aku serahkan kepada Sri Wulandari, tapi kenapa? Ketika keris tersebut hilang, mereka beramai-ramai menuduhku. Bahwa akulah pelakunya," kata Gentar mengungkapkan segala kekesalan dalam dirinya di hadapan guru besar Padepokan Iblis Merah.     

Karena selama ini, ia selalu dituduh sebagai pelaku pencurian keris pusaka tersebut. Padahal sudah jelas keris tersebut ia serahkan kepada pemiliknya, lantas bagaimana mungkin ia kembali mencurinya.     

Setelah mendengarkan penuturan dari Gentar, Damerda hanya mengangguk. Kemudian berkata lirih, "Apa yang kau katakan itu memang benar, hampir berminggu-minggu ini aku sudah berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti dalam melakukan penyelidikan terkait persoalanmu ini."     

"Maksud Aki. Aki ini tidak menuduhku lagi?" Gentar menyahut sambil melontarkan pertanyaan.     

"Dari semenjak dulu aku ini tidak pernah menuduhmu, hari ini aku sengaja menemuimu di sini. Pertama adalah, aku sangat mengkhawatirkan para murid-muridku yang belum paham akan persoalan ini, ketika bertemu denganmu mereka akan menimbulkan kesan tidak baik dan mengajak bertikai denganmu. Kedua, aku ingin membuktikan dua hal yang aku ketahui. Aku harap, kau mau menjawab dengan sejujur-jujurnya!" tutur Darmeda berkata dengan penuh kelembutan.     

Sikapnya sungguh berwibawa, membuat Gentar semakin percaya bahwa Damerda datang untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang tengah ia hadapi. Mendengar ucapan tersebut, Gentar pun menjadi paham dan mengerti akan maksud dari perkataan guru besar Padepokan Iblis Merah itu. Dan Gentar pun menyimak dengan baik perkataan tersebut.     

Orang tua itu berhenti sejenak, kemudian berkata lagi, "Dari jurus Lailaha dan jurus pedang yang kau mainkan, aku telah mengetahui bahwa kau adalah murid Ageng Raksanagara dan Syaikh Maliki yang puluhan tahun pernah menggemparkan dunia persilatan di pulau Juku dan Kaliwana. Benarkah demikian?"     

Mendengar pertanyaan itu, Gentar terperanjat. Ia berpikir bahwa Damerda ini memang beda dengan para pendekar lainnya. Damerda sudah dapat menebak asal-usul Gentar, dan bahkan mengetahui tentang kemampuan Gentar dan juga mengetahui guru yang mengajarkan jurus-jurus tersebut.     

Oleh sebab itu, Gentar pun berpikir bahwa dirinya tidak akan merahasiakan semuanya dari Damerda. Karena ia percaya bahwa Damerda bukanlah orang jahat.     

"Semua yang Aki katakan memang benar, aku adalah murid Ki Ageng Raksanagara dan Syaikh Maliki," jawab Gentar berkata sejujurnya.     

Kemudian, orang tua itu kembali bertanya, "Kau ini adalah turunan bangsawan pulau Juku atau berasal dari keluarga kerajaan Wana Buana? Apa maksudmu datang ke desa ini?" tanya Damerda penuh rasa penasaran.     

"Mohon maaf, Ki. Aku ini bukan turunan bangsawan Juku dan bukan pula berasal dari keluarga kerajaan Wana Buana. Aku asli penduduk kota Ponti, aku terlahir dan dibesarkan di sana. Kedatanganku ke desa ini, dengan maksud hendak menemui seorang ulama di desa ini untuk mencari tahu tentang keberadaan ayahku," jawab Gentar menjelaskan.     

Mendengar jawaban dari Gentar, Damerda tersenyum sambil menepuk pundak Gentar pelan. Lantas, ia pun berkata lagi, "Aku percaya dengan kejujuran yang ada pada dirimu. Atas nama Padepokan Iblis Merah, aku meminta maaf yang sebesar-besarnya kepadamu, Anak muda. Kau harus berhati-hati dalam bersikap, mulai saat ini banyak sekali para pendekar kuat yang hendak mencelakaimu!"     

Setelah berkata, orang tua itu lalu mengeluarkan sebuah gelang yang terbuat dari kayu berwarna hitam mengkilap dan gelang tersebut seperti ular yang melingkar. Kemudian diserahkan kepada Gentar.     

"Pakailah ini! Ketika kau dalam kesulitan, khodam yang ada di dalam gelang ini akan menolongmu. Aku tidak banyak waktu untuk berbincang denganmu, karena masih banyak urusan yang perlu diselesaikan," ujar Damerda sambil tersenyum lebar.     

Gentar pun tersenyum sambil meraih gelang tersebut dari tangan Damerda, lantas memakaikan gelang itu di pergelangan tangan kanannya. Ketika sudah memakaikan gelang, Gentar kembali mengangkat wajahnya, tiba-tiba saja orang tua tersebut sudah tidak ada lagi di hadapannya. Hingga Gentar pun berpikir, "Orang tua ini memang pandai dalam mengurus persoalan besar. Akan tetapi, aku masih belum paham dengan pertanyaan-pertanyaan dari orang tua itu."     

Ketika, Gentar dalam kondisi termenung. Di luar rumah penginapan itu terdengar suara orang berkata, "Ternyata kau tiba juga di desa ini?!"     

Gentar tersenyum mendengar suara itu, ia sudah tahu jika itu adalah suara Resi Wiralada yang dulu memintanya untuk datang ke desa Marga timur. Lantas, ia pun segera mempersilahkan masuk kepada tamunya itu, "Silahkan masuk, Ki. Senang bertemu denganmu!"     

Resi Wiralada tersenyum lebar sambil melayang masuk ke dalam rumah penginapan itu. Seakan-akan tubuhnya begitu ringan seperti kapas saja yang melayang-layang.     

"Silahkan duduk, Ki!" ucap Gentar bersikap ramah terhadap Resi Wiralada yang selama ini selalu membantunya dan memberikan nasihat-nasihat yang berharga.     

"Terima kasih, Anak muda," ucap orang tua itu langsung duduk di hadapan Gentar     

"Sungguh tidak kusangka, kedatangan Resi ini sangat kebetulan sekali. Aku tengah kesulitan karena belum berhasil menemukan orang yang aku cari itu. Ternyata, penduduk di desa ini tidak ada yang mengetahuinya," ungkap Gentar sambil tersenyum lebar menatap wajah Resi Wiralada.     

"Bukan karena mereka tidak mengenali orang yang tengah kau cari, namun kau sendiri tidak menyebutkan namanya. Karena aku tidak memberi tahukanmu sebelumnya," kata Resi Wiralada.     

"Iya, itu maksudku Resi," sahut Gentar menjura hormat dengan merangkapkan kedua telapak tangannya di depan dada.     

"Kau tidak usah memanggilku dengan sebutan resi! Cukup panggil nama saja!" kata Resi Wiralada.     

Gentar merasa heran melihat sikap orang tua itu. Ketika dirinya hendak bertanya lagi, Resi Wiralada tiba-tiba saja mendahuluinya berkata dengan sikap tegang, "Kita bicara di tempat lain saja!"     

Resi Wiralada menarik lengan Gentar, kemudian keluar dengan gerakan yang sangat cepat terbang menuju ke arah utara. Begitu pula dengan Gentar, ia pun melesat cepat mengikuti gerakan orang tua tersebut. Tanpa menutup pintu rumah penginapan itu.     

Sang pemilik rumah yang kala itu tengah berada di teras tampak tertegun melihat kehebatan dua orang tersebut. Ia beranggapan bahwa Resi Wiralada dan Gentar merupakan dua sosok siluman yang hadir di kediamannya itu.     

"Ya, Allah! Ya, Rabb! Apakah mereka itu siluman atau iblis?" ucapnya sambil terus memandangi tubuh kedua pendekar itu, yang melayang-layang di udara.     

Setelah tiba di sebuah perkampungan, Resi Wiralada pun meluncur ke bawah dengan diikuti oleh Gentar. Kemudian mendarat sempurna di atas tanah yang ada di perkampungan di bawah bukit yang masih masuk ke dalam wilayah desa Marga timur.     

"Apa kita sudah tiba, Ki?" tanya Gentar mengerutkan kening.     

"Ya, ikuti aku!" jawab Resi Wiralada langsung melangkah menuju sebuah rumah sederhana yang berdiri kokoh di pinggiran kampung tersebut.     

"Kita langsung masuk saja, tanpa harus mengetuk pintu rumah ini!" desis Resi Wiralada.     

Keduanya langsung melangkah hendak masuk ke dalam rumah sederhana itu. Akan tetapi, baru beberapa langkah saja. Mereka sudah dikejutkan oleh suara orang yang menegur.     

"Dari mana kau ini, malam-malam seperti ini keluyuran? Ayo, masuk!" ucap suara itu terdengar seperti suara pria berusia senja.     

Mendengar suara tersebut, Resi Wiralada tertawa terbahak-bahak, "Ha ... ha ... ha...." Lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Tampak seorang pria senja tengah berdiri di ruang tengah dengan raut wajah semringah menyambut kedatangan Resi Wiralada dan Gentar.     

Resi Wiralada langsung memperkenalkan Gentar kepada orang tua yang tengah berdiri di ruang tengah rumah tersebut.     

"Harus kau ketahui, bahwa ini adalah Kyai Jalaluddin. Ia adalah orang tua yang paling terkenal di wilayah ini, penduduk tidak memberitahumu bukan karena mereka tidak mengenal beliau. Namun, mereka khawatir jika kau ini orang jahat!"     

"Kau ini memang pandai mereka-reka bahasa, aku bukan orang sakti, dan aku hanya orang biasa-biasa saja!" sahut Kyai Jalaluddin sambil tertawa lepas.     

Gentar membungkukkan badan dan mengucap salam kepada sang pemilik rumah, "Assalamualaikum, Kyai. Perkenalkan aku ini Gentar."     

"Waalikum salam, aku sudah tahu dirimu, mari duduk!" jawab Kyai Jalaluddin tampak ramah dan merasa senang menyambut kedatangan dua orang pendekar tersebut.     

Dengan demikian, mereka pun langsung duduk di sebuah bebalean yang ada di ruang tengah rumah sederhana itu yang beralaskan selembar tikar yang terbuat dari daun pandan yang sudah tampak kusam termakan usia.     

Dari sebuah kamar, tiba-tiba terdengar suara gadis sangat merdu dan lembut, "Ayah, tamu dari mana mereka. Malam-malam seperti ini datang ke rumah kita?"     

"Hei! Kau itu sudah dewasa. Ayo, keluar! Beri salam kepada tamu-tamu ini!" bentak Kyai Jalaluddin. "Ini ada pamanmu, dan anak muda tampan!" sambungnya sambil tertawa kecil.     

"Pemuda tampan?" desis gadis itu berkata dalam hati.     

"Baik, Ayah," jawab gadis itu langsung membuka pintu kamarnya dan bergegas keluar menghampiri ayahnya dan kedua tamu tersebut.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.