Gentar Almaliki

Tewasnya Kyai Jalaluddin



Tewasnya Kyai Jalaluddin

0Gentar kemudian langsung menerangkan semua pengalamannya, dan ia juga bertanya kepada Kyai Jalaluddin tentang pengetahuan sang kyai akan sepasang suami istri yang dianggap sebagai orang tuanya.     

"Sebentar! Aku akan mengingat terlebih dahulu, tentang apa yang kau pertanyakan itu!" kata Kyai Jalaluddin menanggapi perkataan dari Gentar.     

Sang kyai kemudian bangkit dan merenung sejenak. Seperti tengah memikirkan sesuatu. Lantas, ia pun berkata, "Ya, aku baru ingat sekarang."     

Mendengar perkataan dari Kyai Jalaluddin, Gentar pun tampak semringah. Lalu, ia pun segera bangkit dan menghampiri Kyai Jalaluddin. Dua bola matanya terus menatap tajam wajah sang kyai, menunggu keterangan dengan perasaan tidak sabar.     

Gentar sangat berharap segala sesuatu yang menjadi teka-teki dalam kehidupannya akan segera mendapatkan jawaban yang jelas dari Kyai Jalaluddin.     

Namun, belum sempat berkata. Tiba-tiba saja, sang kyai menggulirkan dua bola matanya yang tajam mengarah ke luar rumah melalui pintu yang terbuka lebar.     

"Siapa kau?!" bentak Kyai Jalaluddin berteriak keras.     

Suara tertawa pun terdengar gaduh dari luar rumah tersebut. Disusul dengan munculnya sebuah benda yang tiba-tiba melesat cepat hampir mengenai tubuh Kyai Jalaluddin.     

Namun dengan sigap, sang kyai langsung menangkap benda tersebut dengan ketangkasan gerakan jari tangannya. Akan tetapi, ada hal aneh yang dirasakannya ketika menggenggam benda tersebut. Tangannya bergetar hebat, tubuhnya pun hampir terjatuh. Sikapnya mulai berubah ketika melihat benda itu. Seakan-akan ada pengaruh negatif yang sangat kuat dari anak panah berukuran kecil itu.     

Gentar dan Resi Wiralada tampak terkejut ketika mengetahui bahwa benda itu adalah sebuah anak panah kecil, di kalangan dunia persilatan yang ada di desa tersebut. Anak panah itu biasa digunakan sebagai perintah dari sebuah golongan rimba persilatan.     

"Siapa yang sudah melepas anak panah itu? Dan apa maksudnya?" desis Gentar sambil mengamati anak panah yang berukuran sekitar 20 centimeter. Kecil namun memiliki ketajaman yang sangat luar biasa di bagian ujungnya.     

"Latifah, kejar orang itu!" seru Resi Wiralada mengarah kepada Latifah.     

"Apa maksud dari semua ini?" kata Gentar dalam hati.     

Lantas, ia pun langsung membalikan badan. Ia melihat Latifah sudah bergerak cepat keluar dari rumah tersebut. Terbang melesat bagaikan seekor burung.     

Gentar pun menjadi khawatir terhadap keselamatan Latifah. "Izinkan aku untuk menyusul putrimu, Kyai." Tanpa menunggu jawaban dari Kyai Jalaluddin, Gentar langsung menghentakkan kakinya. Tubuhnya pun melesat keluar dari rumah tersebut, untuk menyusul gadis cantik itu.     

Gerakan Gentar menunjukkan betapa tinggi dan mahirnya ia menggunakan jurus Hampang Raga. Hanya dengan satu kali hentakkan, ia sudah berada di satu tempat yang jaraknya sekitar lima belas tombak lebih.     

Di atas udara tubuhnya melayang dengan sangat ringan, bak sebuah kapas yang tertiup angin. Lantas meluncur ke bawah dan berpijak di tanah dengan sempurna.     

"Jurus Hampang Raga dari pulau Juku, sangat luar biasa!" puji seorang gadis.     

Gentar paham dan mengenali bahwa itu adalah suara Latifah. Kemudian, ia melompat beberapa tombak menghampiri sumber suara gadis cantik itu.     

"Pelakunya sudah tidak ada di tempat ini. Akan tetapi, kau masih tampak gusar!" seru Latifah sambil tersenyum lebar menatap wajah Gentar.     

Mendengar ucapan Latifah, Gentar hanya diam dan berdiri sambil menatap kegelapan malam. Seakan-akan, ia tidak peduli dengan perkataan gadis itu.     

"Pendekar, apakah kau mau jika aku mengajakmu pergi ke kota?" tanya Latifah dengan suara lembutnya.     

"Jika kau izin terlebih dahulu kepada ayahmu. Maka dengan senang hati aku mau!" jawab Gentar tanpa berpaling sedikitpun.     

"Tidak apa-apa, kau jangan khawatir!" seru gadis berhijab hitam itu.     

Mendadak, ia menghentakkan kakinya dan langsung melesat jauh lima tombak menuju ke arah barat. Dengan demikian, Gentar pun merasa khawatir, dan langsung mengejar Latifah.     

"Latifah! Tunggu aku!" teriak Gentar.     

Awalnya Gentar mengira apa yang diucapkan oleh gadis itu hanya sebatas gurauan saja. Ternyata memang benar, Latifah telah bergerak cepat menuju ke arah kota Ponti yang jaraknya lumayan jauh dari desa tempat tinggalnya.     

Dengan sangat terpaksa Gentar mengejar dengan mengerahkan jurus Lahaula, melesat cepat ke arah barat mengikuti jejak si gadis cantik itu.     

Latifah bergerak semakin cepat ketika melihat Gentar mulai mengejar dirinya. Sambil terbang melesat ia pun tertawa terbahak-bahak sesekali berpaling ke arah pemuda tampan itu.     

"Kejar aku tampan!" teriaknya lantang.     

Gentar telah memiliki kemampuan yang sempurna dari ilmu kanuragan yang ia miliki, sehingga sangat mudah bagi dirinya untuk mengejar laju kecepatan gerakan Latifah. Meskipun demikian, Gentar tidak ingin merebut kemenangan gadis tersebut, ia sengaja mengalah dan hanya mengimbangi gerakan Latifah, ia tetap berada di belakang gadis berhijab itu.     

Dalam waktu singkat, keduanya sudah berada di gerbang kota Ponti yang jaraknya sangat jauh dari desa Marga timur.     

Tiba-tiba saja, ada sesosok wanita bertubuh langsing melesat jauh ke udara. Gentar yang menyaksikan itu lantas berseru, "Hai! Siapa kau?" teriak Gentar. Ia tampak terheran-heran melihat pemandangan seperti itu.     

"Latifah, ikuti aku! Kita kejar orang itu!" seru Gentar tanpa menoleh lagi ke arah Latifah.     

Dengan sigap Gentar pun langsung mengerahkan kekuatannya, badannya melesat tinggi jauh ke udara. Di atas udara tubuhnya melesat cepat mengejar sosok wanita tersebut. Sungguh sangat mengagumkan, keahlian dalam melakukan gerakan cepat di atas udara ia kerahkan sepenuhnya untuk mengejar sosok wanita itu.     

"Siapa wanita itu? Mau ke mana dia?" desis Gentar tampak penasaran.     

Saat itu, ia sudah tidak bersama Latifah lagi. Entah ke mana perginya gadis berhijab itu? Gentar lebih fokus dalam melakukan pengejaran terhadap sesosok wanita bertubuh langsing yang tiba-tiba muncul di hadapannya.     

Gentar penasaran, karena wanita tersebut memiliki ilmu Lahaula. Jurus yang dimiliki oleh dirinya sendiri, sehingga ia pun bertekad untuk mencari tahu dari mana wanita itu mendapatkan ilmu yang sama dengan apa yang ada dalam dirinya.     

Gentar melakukan pengejaran dengan gerakan semakin cepat, beberapa kali tubuhnya melesat dan hampir berhasil mendekati wanita yang ada di depan matanya.     

Wanita itu pun merasa terkejut, ketika mengetahui ada orang yang mengejarnya di belakang. Dengan demikian, ia pun segera menghentikan laju terbangnya, dan berbalik badan sambil menegur Gentar.     

"Ada urusan apa kau mengejarku, Pendekar?" tanya wanita itu.     

Gentar terperanjat dengan cepat ia pun langsung menghentikan langkahnya, tanpa diduga sebelumnya. Ternyata wanita itu adalah Dewi Rara Sati.     

Sebaliknya, Dewi Rara Sati pun sudah mengetahui bahwa orang yang mengejarnya adalah Gentar. Lantas, ia pun tersenyum sambil berkata, "Gentar! Ternyata kau?"     

Seketika dua pendekar muda itu meluncur ke bawah dan mendarat sempurna sambil berhadap-hadapan. Lalu, Dewi Rara Sati mengulurkan tangannya ke arah Gentar, kemudian berkata, "Kabarnya ada banyak para pendekar yang tengah memburumu. Sebaiknya kau berhati-hati, jangan gegabah!"     

"Ya, aku paham itu. Akan tetapi, aku tidak peduli lagi dengan mereka. Saat ini aku akan melawan mereka!" sahut Gentar.     

"Aku mengerti itu, tapi kau harus tetap berhati-hati! Ingat, apa yang ada padamu jangan sampai jatuh ke tangan para pendekar tersebut!"     

Setelah berkata demikian, Dewi Rara Sati langsung memberikan sebuah benda kepada Gentar sambil berkata, "Jika kau dalam keadaan terdesak. Maka langsung lemparkan benda ini ke atas, tentu akan meledak dan saat itu akan datang bantuan dari para pendekar baik terhadap kesulitan yang kau hadapi!"     

Setelah itu, Ia langsung menghilang dari hadapan Gentar. Gerakannya sangat cepat hingga Gentar sendiri tidak dapat mendeteksi ke mana perginya Dewi Rara Sati.     

"Ya, Allah! Ternyata aku lupa bertanya tentang ilmu Lahaula yang dimiliki oleh Dewi," gumam Gentar penuh sesalan.     

Demikianlah, ia terpaksa kembali ke kota Ponti untuk menyusul Latifah. Begitu tiba di kota, ia tidak melihat lagi adanya Latifah. Gentar mengira bahwa Latifah telah kembali ke rumahnya, karena tidak bisa mengejar dirinya ketika mengikuti Lian Mei.     

"Aku harus kembali ke rumah Kyai Jalaluddin," ucap Gentar.     

Dengan cepat, Gentar pun langsung menuju ke arah timur hendak menuju ke sebuah desa, tempat keberadaan Kyai Jalaluddin dan Resi Wiralada serta Latifah.     

Sungguh tidak disangka, ketika Gentar sudah tiba di kediaman sang kyai. Begitu masuk ke dalam rumah tersebut, apa yang ia lihat telah membuat dirinya berdiri terkesima. Kyai Jalaluddin, seorang ulama ternama di desa tersebut sudah tergeletak dalam kondisi tidak bernyawa lagi dengan mulut mengeluarkan darah segar. Sedangkan Resi Wiralada sudah tidak ada di rumah itu. Entah ke mana perginya orang tua tersebut?     

"Innalilahi wa innailaihi rajiun," ucap Gentar langsung mengusap wajah sang kyai.     

Tampak pula, bercak darah bercucuran di lantai rumah tersebut. Semua isi perabot di dalamnya dalam kondisi berantakan, dan bilik rumah tersebut pun sebagian mengalami kerusakan.     

Hal tersebut, memperlihatkan bahwa telah terjadi pertempuran yang sengit di dalam rumah sang kyai, sehingga menjadikan sang pemilik rumah sebagai korban dari pertarungan itu.     

"Kyai Jalaluddin bukan orang sembarangan. Tetapi kini, mengapa ia dapat dibinasakan oleh lawannya dengan cara demikian mudah? Dan siapa orangnya yang sudah tega membinasakan Kyai Jalaluddin?" desis Gentar dirundung rasa penasaran.     

Gentar memang masih belum mengetahui seluk-beluk dunia persilatan, dan ia pun tidak pandai menebak-nebak siapa pelaku pembunuhan itu?     

Gentar tidak dapat memberikan kesimpulan dari peristiwa berdarah yang tengah ia saksikan itu. Meskipun, ia terus berpikir, namun tidak ada dugaan yang tepat yang bisa meyakinkan jiwa dan pikirannya.     

Tiba-tiba saja, ia melihat sebuah benda hitam yang tergeletak di lantai rumah tersebut. Lantas, Gentar pun segera meraih benda itu.     

"Ternyata pelaku ini semua adalah para pendekar dari golongan penganut aliran sesat. Aku bersumpah tidak akan melepaskan orang-orang yang telah membinasakan Kyai Jalaluddin!" Gentar tampak geram penuh emosi menyelimuti jiwa dan pikirannya kala itu. Kemudian, ia menyelipkan anak panah itu ke ikat pinggangnya.     

Gentar tampak berduka dengan kematian sang kyai yang sudah banyak berjasa terhadap dirinya. Dengan perasaan penuh dendam, Gentar pun kembali ke kota lagi. Ia langsung terbang melesat kembali ke arah barat dari kediaman sang kyai, Gentar sudah tidak memikirkan di mana kudanya saat itu.     

Satu hal yang membuat Gentar semakin sedih ialah, baru saja orang tua itu hendak menceritakan tentang kisah orang tuanya. Tiba-tiba saja, sang kyai harus meninggal sedemikian rupa.     

****     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.