Hi's Like, Idiot But Psiko

Kesempatan



Kesempatan

0Max berada di dalam kamar mandi sambil memandangi dirinya sendiri di depan cermin. Dia sungguh tidak percaya jika dia kehilangan minat hanya untuk membunuh satu orang gadis saja.     

Ini tidak seperti dirinya yang biasa. Padahal dia tidak pernah menaruh belas kasihan pada siapa pun sebelumnya tapi gadis yang ada di luar sana, benar-benar membuat minat membunuhnya hilang.     

Dia tidak suka melihat ekspresi wajah Aleandra saat menghadapi kematian, tidak seharusnya gadis itu tersenyum. Seorang yang takut akan kematian pasti akan memohon untuk diampuni dan tidak dibunuh tapi kenapa gadis itu justru sebaliknya? Walau awalnya Aleandra memohon hal demikian tapi pada akhirnya dia pasrah dan menunjukkan jika dia sangat ingin mati. Sungguh, dia tidak suka hal itu.     

Max melihat wajahnya dan mengusap janggut yang tumbuh liar, sekarang sudah tidak perlu berpura-pura. Aleandra akan tetap menjadi tawanannya, saksi sepertinya tidak akan dia lepaskan. Dia akan tetap menjadi tawanannya dan dia tidak akan bisa pergi ke mana pun.     

Sebuah alat cukur diambil, Max mulai mencukur janggutnya. Dia akan menyapa gadis itu nanti dan tentunya memberikan ancaman. Setelah selesai, Max keluar dari kamar. Dia menghampiri sofa di mana Aleandra masih belum sadarkan diri dari pingsannya. Max tampak kesal, segelas air pun dan ambil dan setelah itu Max menyiramkan air yang dia ambil ke wajah Aleandra.     

Aleandra terkejut dan berteriak, secara refleks Aleandra memegangi lehernya. Apa dia sudah mati? Saat dia sedang berpikir demikian, Aleandra kembali terkejut saat melihat Max sedang duduk tidak jauh darinya dan menatapnya dengan tajam. Max terlihat sudah rapi, janggut liarnya sudah tidak ada lagi. Wajah itu, dia sangat ingat karena dia pernah melihatnya di bangunan tua. Betapa bodoh dirinya selama ini yang mudah tertipu hanya karena janggut liar saja. Yeah, setidaknya orang yang dia layani tidak sejelek yang dia kira walaupun dia tahu, dia pasti akan mati di tangan Maximus Smith.     

"Ke-Kenapa kau tidak jadi membunuh aku?" tanya Aleandra sambil meringkuk di atas sofa.     

"Membunuhmu? Itu bisa aku lakukan kapan saja!" jawab Max sinis.     

"Lalu kenapa tidak kau lakukan? Aku tidak keberatan mati di tanganmu."     

"Dengar, hei kau wanita!" Max beranjak dan mendekati Aleandra. Aleandra ketakutan, tubuhnya mundur kebelakang sampai dia terpojok di sisi sofa.     

Teriakan Aleandra terdengar saat Max menjambak rambutnya hingga wajah Aleandra terangkat ke atas. Max bahkan tidak melepaskan tatapan tajamnya dari gadis itu.     

"Aku tidak suka melihat ekspresi yang kau tunjukkan saat ingin mati, aku tidak membunuhmu saat ini tapi bukan berarti aku tidak bisa membunuhmu!"     

"Lalu apa yang kau inginkan?" Aleandra berusaha menahan rasa sakit di bagian kepalanya.     

"Sebaiknya kau jadi gadis baik dan menurut. Aku bukan tipe orang yang akan melepaskan korbanku tapi karena kau sudah mencuri uangku, maka kau harus mengembalikannya!"     

'"A-Aku tidak punya uang sama sekali," ucap Aleandra.     

Max melepaskan rambut Aleandra, dia melangkah pergi dan duduk kembali di tempat semula. Aleandra tampak tidak mengerti, bukankah pria itu bisa langsung membunuhnya seperti yang dia lakukan pada pria yang dia lihat di bangunan tua waktu itu?     

Mereka berdua diam, Aleandra tidak berani bersuara. Apa yang akan terjadi dengannya setelah ini? Padahal dia sangat berharap Max membunuhnya tapi kenapa pria itu tidak mau melakukannya?     

"Karena kau sangat ingin mati, maka aku tidak akan membunuhmu," ucap Max.     

"Kenapa?" tanya Aleandra tidak mengerti.     

"Karena kau sangat ingin mati maka kau tidak akan mati. Sekarang aku tidak akan membiarkan kau mati walau kau menginginkannya. Kematian terlalu bagus untukmu jadi jangan harap kau akan mati!"     

"kenapa? Bunuh aku sekarang! Lebih baik aku mati, aku sudah lelah dengan semua ini dan aku tidak mau jadi mainanmu!" teriak Aleandra.     

"Hng, menjadi mainanku? Kau pikir siapa dirimu? Lihat dirimu baik-baik dan bercerminlah sampai cermin itu retak. Aku tidak berminat sama sekali jadi sebaiknya jangan bermimpi terlalu tinggi!"     

"Lalu apa sebenarnya maumu?" Aleandra menatap Max dengan tajam, pria aneh itu sulit ditebak.     

"Sebaiknya bekerja baik-baik sampai semua uang yang kau curi dariku kembali lagi. Aku tidak pernah memberikan kesempatan seperti ini pada siapa pun. Jika kau berani melarikan diri dan mengatakan apa yang kau lihat malam itu pada seseorang, maka jangan harap aku akan bermurah hati. Aku akan menangkapmu sekalipun kau bersembunyi di lubang semut dan percayalah, saat hal itu terjadi, aku tidak akan segan lagi. Kau tidak akan mati, kau akan mengalami siksaan mengerikan yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya. Aku akan mengiris tipis dagingmu dan melemparkannya pada binatang buas di depan matamu. Aku akan membuatmu menderita dan kau tidak akan mati dengan mudah. Kau bisa mencobanya jika kau menganggap ancamanku ini omong kosong belaka. Percayalah, aku tidak akan segan sekalipun kau bersimpuh di bawah kakiku pada saat itu tiba!"     

Aleandra menelan ludah, ancaman pria itu tidak terdengar seperti tipuan apalagi dia terlihat begitu menghayati siksaan yang dia ucapkan. Lebih baik dia menurut dari pada mati disiksa. Membayangkan apa yang Max ucapkan saja sudah membuatnya takut.     

"Setelah hutangku lunas, apa yang akan terjadi selanjutnya?" tanya Aleandra, dia harus tahu apa yang akan terjadi pada dirinya nanti.     

"Apa yang kau harapkan? Apa kau pikir kau bisa pergi dari sini walau uang itu sudah kembali?"     

"Apa maksudmu?" teriak Aleandra.     

"Jangan berharap kau bisa pergi, hei kau wanita!" Max beranjak, matanya masih tidak lepas dari Aleandra, "Sebaiknya lakukan pekerjaanmu dengan baik tanpa berpikir kau bisa pergi. Ingat, jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan ini dan mengkhianati aku. Aku pastikan semua ucapan yang aku katakan tadi akan aku lakukan padamu!" setelah berkata demikian, Max melangkah pergi. meninggalkan Aleandra yang masih meringkuk dan menangis.     

Dia sungguh tidak menduga semua akan jadi seperti itu. Dia lari dari penjahat lain tapi dia justru terlibat dengan yang lainnya dan sekarang, dia harus jadi tawanan yang tidak bisa pergi ke mana pun. Bukankah kematian lebih baik untuknya saat ini? Sepertinya Maximus Smith memang ingin menawannya agar dia berharap cepat mati.     

Aleandra menghapus air matanya dengan perlahan. Tidak, dia tidak boleh menyerah. Mati hari ini atau kemudian hari tidak ada bedanya. Selama pria itu tidak melakukan kekerasan fisik maka dia akan bertahan. Dia juga akan berusaha menarik simpati pria aneh itu. Bukankah dia mencari orang hebat untuk membantunya balas dendam?     

Sekarang orang yang dia cari sudah di depan mata walaupun pria itu sedikit gila. Dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia harus bisa mengambil simpatinya agar Maximus mau membantunya balas dendam. Bukankah dia hanya perlu bekerja dengan baik dan tidak mengecewakan pria itu saja? Jika Max bersedia membantunya balas dendam, dia tidak keberatan bekerja di rumah pria itu sampai seumur hidupnya karena tujuannya bertahan hidup hanya untuk balas dendam.     

Aleandra mengusap wajahnya, walau hampir mati di tangan Max tapi dia harus bersyukur karena masih memiliki kesempatan untuk hidup. Entah apa yang membuat pria itu tidak jadi membunuhnya tapi sekarang dia tidak perlu lagi lari dari kejarannya.     

Bertahan hidup untuk membalas dendam atas kematian keluarganya dan dia akan berusaha mendapatkan simpati Max walau dia tahu tidak akan mudah. Dia rasa dia butuh sebuah keajaiban dan semoga saja keajaiban itu datang sehingga Max mau membantunya balas dendam.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.