Hi's Like, Idiot But Psiko

Tolong Bantu Aku



Tolong Bantu Aku

0Alarm yang berbunyi membangunkan Aleandra dari tidurnya. Aleandra meraih jam dan mematikan alarm. Waktu baru menunjukkan pukul lima pagi saat itu, dia sengaja bangun lebih pagi dari pada biasanya karena sebuah keputusan besar sudah dia ambil.     

Ya, sebuah keputusan yang membuatnya berpikir dengan keras dan hari ini dia akan mengutarakan niatnya. Entah kenapa hari ini terasa begitu berbeda dari pada hari biasanya, dia membutuhkan keberanian ekstra apalagi saat menghadapi Max nantinya.     

Aleandra beranjak, masih pagi sebaiknya dia olahraga sebentar sambil mengumpulkan keberanian. Dia juga harus mencari kata-kata yang bagus untuk mengutarakan niatnya nanti. Tiba-Tiba saja dia jadi gugup, dia juga merasa takut padahal dia belum memulai peperangan. Sungguh dia membutuhkan energi dan keberanian ekstra untuk hari ini.     

Pintu kamar terbuka, Aleandra keluar dari kamarnya dengan baju olahraga yang baru dia beli. Matanya melihat kamar Max, lagi-lagi jantungnya berdebar. Sial, padahal dia belum menghadapi pria itu tapi dia sudah gugup luar biasa. Semoga saja dia tidak mengacaukan semuanya saat waktunya tiba.     

Aleandra tidak pergi jauh-jauh, dia melakukan kegiatannya di dekat kolam renang. Di sana sepi dan menenangkan, dia bisa melakukan olahraga dengan leluasa dan tentunya sambil memikirkan perkataan apa yang akan dia ucapkan nanti saat menghadapi bosnya.     

Semoga saja dia memiliki harapan, dia tidak akan tenang sebelum dia bisa membalas kematian kedua orangtuanya. Aleandra menghentikan kegiatannya, dia jadi teringat dengan sang kakak. Bagaimana keadaan Adrian saat ini? Apakah dia masih hidup? Saat dia lari untuk menyelamatkan diri, dia mendengar suara teriakan Adrian. Apa dia juga sudah jadi korban bersama dengan kedua orangtuanya?     

Air mata Aleandra mengalir, apa pun yang terjadi dengan kakaknya, dia harus bisa membalas kematian kedua orangtuanya dan dia harap, kakaknya masih hidup walau sesungguhnya itu mustahil terjadi. Aleandra kembali berolahraga sambil memikirkan perkataan apa yang harus dia ucapkan untuk membujuk bosnya nanti. Dia harus mencoba meminta bantuan dari Maximus dan jika pria itu tidak mau membantu, barulah dia memikirkan tawaran yang diberikan oleh Oliver dan kemungkinan dia akan menerima tawaran dari wanita yang tidak dikenalnya itu jika Max tidak mau membantunya.     

Walaupun berisiko tapi dia tidak punya pilihan. Lagi pula mati hari ini atau nanti, hanya dua kemungkinan itu saja yang akan dia hadapi. Jika dia harus mati, maka dia tidak keberatan karena dia sudah siap.     

Matahari sudah menyingsing, Aleandra masuk ke dalam rumah untuk melakukan pekerjaannya. Jantungnya kembali berdegup kencang, perasaan gugup kembali melanda. Dia bahkan hampir menjatuhkan piring beberapa kali tapi untungnya masih bisa dia tangkap. Menyebalkan, apa dia urungkan saja niatnya?     

Seperti biasa, setelah sarapan jadi, Aleandra melangkah menuju kamar Max dan tentunya setelah dia mandi. Saat berdiri di depan pintu, Aleandra merasa ketegangan yang luar biasa. Rasanya ingin mengurungkan niatnya saja dan langsung menerima tawaran Oliver tapi dia harus tetap berusaha.     

Yeah, dia harus mencoba. Risiko paling buruk adalah, mungkin dia akan mati di tangan Maximus Smith tapi itu lebih baik dari pada apa pun. Setelah mengumpulkan keberanian, Aleandra masuk ke dalam kamar. Ternyata Max masih tidur dan seperti yang sudah-sudah, Aleandra mengetuk kotak untuk membangunkan pria aneh itu.     

Max melotot ke arahnya saat kotak sudah terbuka, Aleandra menyambutnya dengan senyum manis, dia tidak boleh menunjukkan rasa takutnya pada pria itu walau sesungguhnya dia takut.     

"Morning, Sir," sapa Aleandra dengan senyum manis menghiasi wajah.     

Mata Max masih melotot, kenapa gadis itu tersenyum seperti itu?     

"Sarapan sudah siap, Sir. Apa ada yang kau perlukan?" tanya Aleandra basa basi.     

"Tidak perlu menunjukkan senyum jelekmu itu, aku tidak suka!" ucap Max sinis.     

Senyum Aleandra sirna, apa senyumannya begitu jelek?     

"Maaf," ucapnya sambil menunduk.     

"Siapkan pakaian dan bantu aku memakainya!" Max beranjak menuju kamar mandi setelah memberi perintah.     

Aleandra mengangguk, hanya membantu memakai baju saja tidak akan jadi soal apalagi dia sudah melihat tubuh pria itu. Ini juga akan menjadi kesempatan baginya untuk mengutarakan permintaannya pada Max.     

Aleandra merapikan tempat tidur, dia bahkan melihat tempat tidur unik itu dan dia yakin hanya ada satu di dunia. Bagaimanapun rasa penasaran akan tempat tidur itu masih ada, rasanya ingin mencobanya agar dia tahu bagaimana rasanya tidur di tempat tidur yang tertutup.     

Setelah merapikan tempat tidur, Aleandra menyiapkan pakaian. Rasa gugup kembali melanda saat Max keluar dari kamar mandi. Aleandra menelan ludah, dia terkejut saat Max melemparkan handuk ke arahnya.     

"Keringkan rambutku!" ucap Max seraya melangkah menuju ranjang dan duduk di sisinya.     

Aleandra mengangguk, sepertinya inilah saat yang tepat untuk mengutarakan niatnya tapi sungguh, dia tidak berani bahkan jantungnya berdegup begitu kencang. Dia sangat ingin berbicara tapi lidahnya kelu. Entah kenapa seperti ada yang menahan dirinya agar dia tidak mengutarakan niatnya bahkan seperti ada yang mengatakan padanya jika hal itu akan sia-sia.     

Rambut sudah dikeringkan, Aleandra beranjak untuk mengambil kemeja Max. Gadis itu tampak menelan ludah saat dia berdiri di hadapan Max dan matanya tidak lepas dari otot tubuh pria itu.     

"Apa kau belum puas melihatnya?" tanya Max karena Aleandra diam saja.     

"Aku tidak punya banyak waktu untuk menjadi objek pencuci matamu!" ucap Max lagi.     

"Bu-Bukan begitu, Sir. Maafkan aku," Aleandra mulai melakukan tugasnya.     

"Jadi, apa kau senang melihat tubuh pria begitu lama?"     

"Tidak," jawab Aleandra sambil menggeleng.     

"Jadi tubuh pacarmu tidak bagus, begitu?" cibir Max.     

Alendra diam, kenapa harus membahas tubuh pacarnya? Dia pikir percakapan konyol itu akan berakhir tapi nyatanya tidak. Aleandra terkejut saat Max meraih pinggangnya dan merapatkan tubuh mereka berdua.     

"Kenapa kau tidak menjawab?!" Max mengangkat dagu Aleandra dan menatapnya tajam.     

"Aku rasa itu tidak penting," ucap Aleandra.     

"Coba katakan padaku, bagaimana bentuk tubuh kekasihmu?" Max mendekatkan wajah mereka berdua, sedangkan Aleandra berusaha memundurkan tubuhnya.     

"A-Aku tidak ingat," Aleandra membuang wajahnya yang memerah. Apa sebenarnya yang pria itu inginkan?     

"Tidak perlu pura-pura seperti seorang perawan, Amy!"     

Aleandra menggigit bibit, bagaimana jika dia memang masih perawan? Apakah aneh? Sepertinya memang seperti itu karena mereka hidup di negara bebas di mana sex bebas bukan lagi hal tabu.     

"Sir, ada hal penting yang ingin aku bicaraakan padamu," Aleandra mengubah topik pembicaraan karena dia merasa, ini waktu yang tepat untuk mengutarakan niatnya.     

"Katakan!" Max melepaskan Aleandra dan melangkah mundur.     

"Sebenarnya aku sedang dalam masalah," ucap Aleandra, matanya menatap ke arah Max saat mengucapkan perkataan itu.     

"Lalu?" Max memicingkan matanya ke arah Aleandra.     

"Sebenarnya aku adalah buronan," ucap Aleandra tanpa ragu.     

Mata Max melotot, ekspresi wajahnya terlihat tidak senang. Apa maksud ucapan Aleandra? Dia seorang buronan? Apa dia napi yang melarikan diri dari penjara di Rusia dan pelariannya membawa gadis itu ke California? Jadi dia sedang menampung seorang buronan saat ini?     

"Tolong bantu aku, Sir. Aku bersedia melakukan apa pun jika kau mau membantu aku," ucap Aleandra. Dia harap Max mau membantunya tapi ekspresi wajah pria itu terlihat mengerikan. Aleandra menelan ludah dan ketakutan, apa keputusannya meminta bantuan pada pria itu salah?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.