Hi's Like, Idiot But Psiko

Jangan Bunuh Aku



Jangan Bunuh Aku

0Aleandra berlari dengan sekuat tenaga, entah dia harus lari ke mana tapi yang pasti lagi-lagi dia berada di hutan. Aleandra menoleh ke belakang sesekali, dia benar-benar takut tertangkap.     

"Kejar, aku menginginkan dirinya dalam keadaan hidup!" suara teriakan seorang pria terdengar memecah keheningan hutan.     

Aleandra ketakutan, larinya pun semakin kencang. Tidak, dia tidak boleh tertangkap karena dia tahu tidak akan berakhir baik. Suara gonggongan anjing pelacak terdengar, Aleandra semakin ketakutan. Entah kenapa dia merasa tidak asing dengan keadaan itu, dulu... dia merasa pernah mengalaminya tapi sekarang yang mengejarnya adalah orang berbeda.     

"Aleandra!" pria yang mengejarnya kembali berteriak lantang.     

Rasa takut semakin memenuhi hati, dia tidak tahu kenapa bisa jadi seperti itu tapi yang pasti dia sedang dalam bahaya. Jika dia tidak bisa melarikan diri dari tempat itu maka dia tidak yakin dia masih bisa hidup.     

Teriakannya terdengar saat kakinya tersandung akar pohon. Hutan yang gelap membuatnya kesulitan melihat. Aleandra terjatuh dan meringis kesakitan. Kenapa hidupnya harus seperti ini?     

Dia hendak beranjak tapi tiba-tiba saja dia sudah terkepung oleh puluhan pria dengan senjata api laras panjangnya. Aleandra semakin ketakutan apalagi saat seorang pria dengan wajah menakutkannya berjalan menghampirinya.     

"Kau mau lari ke mana, Aleandra?"     

"Jangan, Max. Jangan bunuh aku," pinta Aleandra memohon. Ya, pria yang mengejarnya saat ini adalah Maximus Smith.     

"Terlambat, Aleandra. Sudah aku peringatkan jangan mengkhianati aku!"     

"Aku tidak bermaksud, akh...!" Aleandra berteriak karena tangan Max sudah berada di lehernya.     

"Tidak ada maaf bagi pengkhianat karena aku benci pengkhianat!" sebilah pisah sudah berada di tangan, leher Aleandra dilepas dan setelah itu, CRAASSHHHH....!! Maximus menyabetkan pisaunya ke leher Aleandra tanpa ragu.     

"Tidaaakkkk!!" teriakan Aleandra terdengar, tangan berada di leher dan dia tampak terengah.     

Maximus terkejut dan terbangun dari tidurnya, Aleandra duduk di atas ranjang dengan keringat mengalir di dahi. Dia belum mengerti, apa yang sebenarnya terjadi?     

"Aleandra, apa yang terjadi denganmu?" tanya Maximus.     

Aleandra terkejut, wajahnya pucat melihat Maximus, Rasa takut memenuhi hati melihat pria itu.     

"Hei," Max sangat heran.     

"Ja-Jangan... jangan bunuh aku, Max," pinta Aleandra dengan nada ketakutan.     

"Apa maksudmu, Aleandra? Aku tidak mungkin membunuhmu!"     

"Tidak, aku melihat kau menyabetkan pisau ke leherku!" Aleandra mendorong Maximus dengan sekuat tenaga. Dia masih bisa merasakan apa yang baru saja dia rasakan. Entah pengkhianatan apa yang dia lakukan yang pasti Maximus ingin membunuhnya.     

"Aleandra, kau hanya bermimpi! Untuk apa aku membunuhmu?" Max memegangi wajah Alenadra, entah apa yang dimimpikan oleh Aleandra tapi yang pasti dia terlihat begitu ketakutan.     

"Lihat aku, tidak ada pisau di tanganku. Kita juga sedang tidur, lalu buat apa aku membunuhmu?"     

Mata Aleandra tidak lepas dari Max dan setelah itu dia melihat sekelilingnya. Benar, mereka ada di kamar tapi kenapa dia bermimpi seperti itu? Apa sebenarnya maksud dari mimpinya itu?     

"Sudah percaya, bukan? Kau hanya mimpi buruk!"     

"Ma-Maaf aku?" ucapannya terhenti saat Max mengecup bibirnya.     

"Tidak apa-apa, kau hanya bermimpi saja. Sekarang tidurlah lagi, aku akan memelukmu," Maximus mencium dahinya, dia juga membelai punggung Aleandra agar gadis itu tenang. Aleandra mengangguk, dia berbaring walau sesungguhnya hatinya gundah karena mimpi anehnya. Entah apa maksud dari mimpi yang dia alami, dia rasa ada hal buruk akan terjadi dengan mereka selanjutnya. Apa benar dia akan mengkhianati Maximus nantinya sehingga Max membunuhnya? Atau jangan-jangan ada hal lainnya?     

Aleandra tidak bisa tidur lagi, dia terlihat gelisah. Entah apa artinya tapi firasatnya benar-benar buruk.     

"Aleandra," Max mengusap wajahnya perlahan dan mencium pipinya.     

"Sudah aku katakan itu hanya mimpi saja jadi kau tidak perlu memikirkannya."     

"Tapi aku merasa mimpi itu nyata, Max," ucap Alendra.     

"Jika begitu katakan, apa yang sebenarnya kau impikan?"     

"Kau mengejar aku ke hutan dan kau membunuh aku di sana," entah kenapa sampai di mimpi pun dia harus berada di hutan. Sepertinya hutan sudah menjadi tempat menyeramkan baginya.     

"Apa alasanku melakukan hal seperti itu?" tanya Maximus.     

Aleandra menggigit bibir, apa dia harus mengatakan alasan Max membunuhnya?     

"Kenapa kau diam?" Max mengangkat dagunya dan memandangi matanya.     

"Aku takut, Max. Aku takut hal itu terjadi suatu saat nanti," Aleandra memeluknya, dia takut hubungan mereka jadi hancur karena ulahnya sendiri.     

"Tidak perlu takut, Aleandra. Itu hanya mimpi burukmu saja tapi jika kau tidak ingin mimpi buruk itu menjadi nyata sebaiknya kau tidak melakukan kesalahan. Kau mengerti?"     

Aleandra mengangguk, semoga saja apa yang dia mimpikan tidak terjadi. Semoga saja dia tidak mengkhianati Maximus seperti yang dia mimpikan.     

"Jika begitu tidurlah lagi," Max mencium wajahnya, tangannya berada di punggung Aleandra dan mengusapnya perlahan.     

"Aku tidak bisa tidur lagi," Aleandra memejamkan mata, menikmati ciuman yang Maximus berikan.     

"Jadi? Apa yang ingin kau lakukan?" Maximus masih mencium wajahnya, tangannya mulai masuk ke dalam baju Aleandra.     

"Ja-Jangan, Max" Aleandra menahan tangan Max, dia bahkan memutar tubuhnya tapi itu kesalahan yang tidak seharusnya dia lakukan karena dengan posisi seperti itu, Max akan semakin bergerak bebas.     

"Kenapa? Aku tidak meminta melakukan hal itu. Aku hanya ingin menyentuhmu saja," Maximus memeluknya dari belakang. Bibirnya sudah berada di tengkuk Aleandra dan membelainya. Tentu hal itu membuat Aleandra merasa geli, dia berusaha untuk bergeser menjauh tapi Maximus menjepit kakinya agar Aleandra tidak bisa ke mana pun.     

"Max, jangan! Tanganmu masih terluka!"     

"Sttss!" Max masih memainkan bibirnya ke tengkuk Aleandra dan membelainya. Satu tangannya bahkan sudah berada di dalam baju Aleandra dan mengusap area perutnya dengan perlahan. Aleandra menggigit bibir, napasnya bahkan sudah terasa berat. Dia seperti mengharapkan sesuatu tapi dia harus menguasai diri. Aleandra menahan tangan Max dan kembali berkata jangan tapi Maximus mengabaikannya. Dia akan melakukan hal itu dengan perlahan sampai Aleandra meminta padanya.     

Tangan Max naik ke atas, meremas dada Aleandra. Desahan Aleandra terdengar, bibir Max masih bermain di tengkuk memberikan sensasi berbeda apalagi remasan tangannya dan juga jarinya yang bermain di ujung dadanya membuat Aleandra mendesah.     

"Max, ngh," mata Aleandra terpejam, sesungguhnya dia sangat menikmati sensasi sentuhan tangan Maximus. Dia sudah dewasa, tentu saja keinginan seksual itu ada dan bergejolak di dalam dirinya.     

"Apa kau ingin merasakan sensasi lebih dari pada ini, Aleandra?" Max menggesek bokong Aleandra. Jantung Aleandra berdegup, sosis Amerika tiba-tiba membesar di belakang sana.     

"Ja-Jangan, aku belum mau melakukannya!" tolak Aleandra.     

"Tidak perlu khawatir, hanya pemanasan saja!" tangan Max sudah berpindah, dari dada Aleandra turun ke bawah.     

"Pe-Pemanasan?" Aleandra tampak tidak mengerti.     

"Yes, pemanasan sebelum kau bersedia menyerahkan dirimu padaku."     

"Ahhh....!" Aleandra mendesah, tanpa dia sadari tangan Max sudah berada di dalam celana dalamnya dan menekan area sensitifnya. Dia bahkan tidak sadar jika kakinya sudah terbuka dan berada di atas kaki Maximus.     

"Max, ahhh...!" tangan Aleandra berada di tangan Maximus. Dia ingin menyingkirkan tangan Maximus tapi tenaganya tidak ada akibat sentuhan jari Maximus di area intimnya.     

Hanya desahan saja yang terdengar, Aleandra bahkan terlihat bergerak gelisah. Pikirannya melayang akibat sentuhan itu, sensasi seperti itu baru saja pertama kali dia rasakan.     

Aleandra berpaling, mendekatkam bibir mereka berdua. Max mencium bibirnya dengan buas dan semakin bersemangat, tangannya bahkan tidak juga berhenti. Pemanasan, hanya itu saja yang mereka lakukan tapi pemanasan seperti itu tentu menyiksa mereka berdua.     

Aleandra menginginkan lebih, sedangkan nafsu bergejolak dalam diri Maximus. Apa dia pernah menahan diri untuk hal seperti ini? Tentu saja tidak pernah.     

"Akh... ahhh!" Aleandra mendesah panjang akibat gerakan jari Max yang piawai.     

Maximus mengumpat, sial. Jika dia tidak menghentikan hal itu maka dia akan lepas kendali. Max menarik tangannya ke luar, hal itu membuat Aleandra ingin berteriak dan berkata, 'Don't stop!'     

"Max?" Aleandra melihat pria itu menjauhinya dan beranjak dari tempat tidur.     

"Kita hentikan, Aleandra. Aku tidak yakin bisa menahan diri jika kita lanjutkan tapi jika kau tidak keberatan maka aku akan lanjutkan tapi aku sudah tidak akan berhenti lagi!" ucap Max.     

Aleandra tidak menjawab dengan wajah memerah, dia benar-benar lepas kendali dan hal itu membuatnya sangat malu. Max melangkah menuju kamar mandi sambil mengumpat. Sial, dia terjebak oleh perbuatannya sendiri. Gadis itu sungguh berbahaya, sampai kapan dia harus menahan dirinya? Semoga saja tidak lama karena dia bisa gila akan hal itu.     

Setelah Maximus masuk ke dalam kamar mandi, Aleandra merapikan penampilannya. Bagian tubuhnya masih berdenyut dan dia rasa dia harus meredakannya. Aleandra keluar dari kamar Maximus dan berlari menuju kamarnya. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Permainan orang dewasa sungguh menyiksa, apakah selanjutnya mereka berdua akan berakhir di kamar mandi lagi?     

Aleandra melepaskan seluruh pakaiannya, dia bisa melihat jejak gairah di pakaian dalamnya. Sial, jika Maximus tidak berhenti, dia rasa dia tidak akan menolak melakukan sex dengan Max tapi sepertinya Max menahan diri hanya karena dia belum tahu bagaimana perasaannya saat ini.     

"Oh, Aleandra. Apa yang sebenarnya yang kau ragukan dari pria itu?" Aleandra bertanya pada dirinya sendiri saat dia sudah berada di dalam bathtub. Ya, apa sebenarnya yang dia ragukan dari Maximus Smith?     

Apa dia takut melakukan hal itu atau dia takut hubungan mereka tidak mungkin berjalan dengan lancar? Entah kenapa dia jadi teringat dengan mimpi yang baru saja dia alami. Apakah dia benar-benar akan mengkhianati Maximus nanti?     

Semoga saja tidak tapi ada hari di mana seseorang akan memanfaatkan hubungan mereka berdua untuk tujuan mereka. Entah itu dari musuh pihak Maximus atau musuh darinya sendiri tapi yang pasti, musuh akan memanfaatkan hal itu dan pada saat itu terjadi, apakah Aleandra benar-benar akan mengkhianati Maximus?     

Semua itu belum pasti apalagi semakin hari hubungan mereka semakin dekat dan tentunya Aleandra bisa melihat ketulusan yang Maximus tunjukkan. Jika begitu, bukankah sudah tidak ada yang perlu dia ragukan pada Maximus lagi?     

Wajah Aleandra memerah, dia rasa untuk selanjutnya dia tidak akan menolak dan menghentikan Maximus lagi. Dia tidak keberatan menyerahkan dirinya pada pria itu. Aleandra menenggelamkan dirinya di dalam bathtub. Sial, dia jadi sangat menantikannya karena sesungguhnya dia sangat ingin merasakannya. Dia juga yakin, Max sudah sangat menginginkan hal itu dan memang seperti itulah kenyataannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.