Hi's Like, Idiot But Psiko

Kau Memang Sudah Jadi Milikku!



Kau Memang Sudah Jadi Milikku!

0Pagi yang membahagiakan bagi Aleandra. Senyum menghiasi wajah, dia tidak pernah merasa pagi yang begitu menyenangkan seperti ini. Aleandra sudah terbangun sejak tadi karena sentuhan tangan Maximus yang bermain di area perutnya tanpa henti tapi dia diam saja karena dia ingin seperti itu, menikmati sentuhan tangan Maximus.     

Tangan Maximus terasa hangat, sentuhannya juga menenangkan. Dia tahu pria itu berdarah dingin tapi dibalik sifatnya yang menakutkan, dia bisa merasakan kasih sayang yang begitu besar untuknya.     

Tangan Maximus masih bermain di perut Aleandra, ciumannya juga mendarat di tengkuk lehernya. Dia sangat ingin tahu, selama ini mereka tidak pernah menggunakan pengaman apakah Aleandra akan mengandung bayinya? Dia tahu ibunya sudah sangat mengharapkan hal ini dan dia juga tidak keberatan tapi dia tidak tahu Aleandra bersedia atau tidak.     

"Kau ingin mengusap perutku sampai kapan, Max?" tanya Aleandra. Tangannya sudah berada di atas lengan Maximus, sedangkan telapak tangannya berada di atas telapak tangan Maximus yang besar dan hangat.     

"Kau sudah bangun rupanya," Max mencium pipinya dan merapikan rambut Aleandra menggunakan tangan yang lainnya.     

"Aku sudah terbangun sedari tadi, Max. Aku ingin menikmati pagi ini dan menikmati sentuhan tanganmu."     

"Sepertinya semalam kurang, hm?"     

"Bukan begitu, Max. Kau mengusap perutku tanpa henti, apakah ada maksudnya?"     

"Hm," Maximus memainkan bibirnya di tengkuk Aleandra, tentunya hal itu membuat Aleandra jadi geli.     

"Geli, Max!" Aleandra mencoba mendorong kepala Maximus tapi pria itu memeluknya dengan erat dan masih mencium tengkuknya.     

"Max, stop!" pinta Aleandra, dia mulai tertawa karena tidak saja bibir Max yang membuatnya geli tapi tangan Max yang bermain di pinggangnya juga membuat geli.     

Max menghentikan aksinya karena Aleandra menyerah dan memintanya untuk berhenti. Aleandra tertawa di dalam pelukannya, sedangkan Maximus mencium dahi dan pipinya.     

"Bagaimana keadaanmu, Aleandra?" Maximus kembali menciumnya, sedangkan tangannya mengusap bokong Aleandra.     

"Aku baik-baik saja, tapi kau belum menjawab pertanyaanku, Max?"     

"Baiklah, aku hanya berpikir selama ini aku tidak pernah menggunakan pengaman jadi tidak menutup kemungkinan kau akan hamil nantinya. Ibuku sudah sangat menginginkan cucu dan aku tidak keberatan tapi apakah kau tidak keberatan?" tanya Maximus.     

Aleandra tersenyum, kebetulan dia juga ingin membicarakan hal ini. Dia harap Maximus tidak keberatan dengan keputusannya untuk tidak hamil terlebih dahulu. Lagi pula mereka belum menikah jadi lebih baik mereka tidak terburu-buru.     

"Sekarang kau yang tidak menjawab aku."     

"Bukankah itu terlalu cepat, Max?" Aleandra berbaring telentang. Matanya menatap langit kamar.     

"Aku bukannya tidak mau tapi kita juga belum menikah, "wajahnya berpaling, Aleandra memandangi Maximus dengan senyum menghiasi wajah.     

"Kita juga baru menjalin hubungan, Max. Aku rasa tidak perlu terburu-buru. Lagi pula sangat berbahaya jika aku hamil sekarang karena kita tidak tahu kapan musuh akan menyerang. Jika keadaanku sedang hamil, aku sulit bergerak dan akan berbahaya untuk bayi kita nantinya. Kau tidak keberatan jika kita menunda hal ini sampai kita menikah nanti, bukan? Atau kau tidak berniat menikahi aku?" ucap Aleandra.     

"Bodoh!" Maximus mencium dahinya, "Tentu aku akan menikahimu. Jika kau mau aku bisa menikahimu sekarang juga," ucapnya lagi.     

"Thanks, tapi aku sudah memutuskan akan menikah setelah dendamku terbalas. Aku belum bisa berbahagia sebelum aku bisa menegakkan keadilan bagi keluargaku dan sebelum aku menemukan keberadaan kakakku."     

"Jika begitu kita pelan-pelan saja, kita nikmati saja hubungan kita sambil menunggu musuh datang menyerang kita," ucap Maximus.     

"Jadi kita harus menunggu?" Aleandra memiringkan tubuhnya, matanya tidak lepas dari wajah Maximus.     

"Yes, percayalah padaku, Mereka akan datang pada kita karena aku sudah mengirimkan undangan terbuka untuk mereka."     

Aleandra mengernyitkan dahi, undangan terbuka? Kenapa dia tidak tahu akan hal ini?     

"Kapan kau mengirimkan undangan untuk mereka? Apa kau tahu siapa yang telah menghabisi keluargaku?" tanya Aleandra.     

"Tidak, Aleandra. Tapi dengan kedatangan Fedrick, secara tidak langsung dia sudah membawa mereka datang. Mereka pasti sudah tahu jika kau sedang bersama denganku saat ini. Percayalah padaku, saat ini mereka hanya membutuhkan kesempatan untuk menyerang kita. Tentunya setelah mereka tahu siapa aku dan setelah mereka memiliki rencana bagus. Aku memang sengaja membawamu bertemu Fedrick di tempat terbuka sebagai undangan untuk mereka. Tidak perlu bermain petak umpet tapi kau harus bisa menjaga diri dan juga selalu mempercayai aku agar kita tidak masuk ke dalam jebakan yang akan musuh gunakan nantinya untuk menjebak kita!"     

"Sepertinya kau sudah memperhitungkan semuanya, Max," ucap Aleandra.     

"Tentu saja, aku bahkan sudah bisa membaca pergerakan musuh-musuh. Aku sangat berharap musuhku dan orang yang sedang mengejarmu saat ini bekerja sama. Sebab itu kita beri mereka waktu agar kita bisa langsung menghabisi mereka secara bersamaan tapi mengenai Fedrick, aku yakin semua tidak akan selesai begitu saja."     

"Apa maksudmu, Max? Apakah Fedrick tidak kembali ke Rusia?"     

"Apa kau pikir dia akan langsung kembali, Aleandra? Apa kau pikir Fedrick akan menyerah begitu saja setelah kau menolak cintanya? Sebagai seorang lelaki dia tidak mungkin akan langsung kembali dan akan tetap berusaha mendapatkan dirimu. Aku juga akan melakukan hal yang sama jika berada di posisinya jadi jangan kau kira permasalahan kita dengan Fedrick sudah selesai apalagi seorang pria yang nekad dan tidak terima kekalahan akan melakukan apa saja."     

Aleandra diam, apakah benar? Jika begitu, bukankah Fedrick masih ada di kota itu saat ini? Entah kenapa dia jadi merasa jika persoalan mereka akan jadi semakin rumit. Dia jadi khawatir Fedrick akan bersekutu dengan musuh mereka untuk membawanya kembali.     

"Bagaimana ini, Max? Apa sebaiknya aku menemui Fedrick dan berbicara dengannya secara empat mata? Aku khawatir dia mengambil langkah yang salah karena tidak terima hubungan kami sudah berakhir. Bagaimanapun aku tidak mau dia celaka," jujur saja, dia tidak mau Fedrick terlibat dan dimanfaatkan oleh musuh hanya karena tidak terima hubungan mereka yang telah berakhir.     

"Kekhawatiran yang kau rasakan memang tidak salah, Aleandra. Karena kau dan dia sudah lama kenal jadi aku akan memberikan satu kesempatan padamu untuk berbicara berdua dengannya saja. Aku harap kau bisa meyakinkan dirinya untuk pergi tanpa perlu terlibat dengan permasalahan yang sedang kau hadapi saat ini!" ucap Max. Dia terpaksa menyetujui permintaan Aleandra karena dia harap, Fedrick tidak terlibat dengan musuh mana pun sehingga Fedrick harus berakhir di tangannya.     

"Terima kasih, Max. Kau masih mau memberikan kesempatan ini padaku. Aku akan menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin untuk meyakinkan dirinya dan memintanya untuk melupakan aku. Aku juga akan memintanya untuk segera kembali ke Rusia."     

"Bagus, walau sesungguhnya aku tidak senang!"     

"Tidak perlu khawatir, hati dan tubuhku sudah jadi milikmu!" Aleandra mencium pipi Maximus dengan mesra.     

"Kau memang sudah jadi milikku jadi kau tidak akan aku lepaskan untuk seumur hidup!" Max mengangkat dagu Aleandra dan mencium bibirnya.     

Mereka berdua saling pandang, Aleandra tersenyum dan terlihat bahagia. Maximus mengusap pipinya dengan perlahan, ciumannya kembali mendarat di bibir Aleandra.     

Maximus naik ke atas tubuh Aleandra, kedua tangan gadis itu sudah melingkar di leher kekasih tampannya. Ciuman mereka menjadi serius dan penuh gairah, api gairah mulai menyala apalagi mereka tidak memakai sehelai benang pun saat itu. Mereka menikmati pagi mereka yang penuh gairah, sedangkan saat itu di sebuah hotel, Fedrick terbangun dalam keadaan lesu.     

Hari ini dia ingin bertemu dengan Maximus secara pribadi karena ada hal penting yang hendak dia bahas dengan pemuda itu. Dia harap Maximus menerima ajakannya sehingga mereka bisa bertemu. Fedrick mengusap wajahnya yang terlihat lesu, rasanya enggan melakukan apa pun tapi dia harus tetap berusaha untuk mendapatkan Aleandra sehingga gadis itu mau kembali dengannya.     

Pemuda itu beranjak, kamar mandi adalah tujuan dan setelah itu Fedrick memesan sarapan dan juga kopi hitam kesukaannya. Sekarang dia baru menyadari, sarapan apa yang biasanya Aleandra konsumsi?     

Sial... dia benar-benar tidak tahu akan masalah itu. Dia juga tidak begitu banyak tahu tentang Aleandra. Tiba-Tiba dia merasa seperti seorang pecundang karena hanya seorang pecundang saja yang tidak tahu apa pun tentang kekasihnya.     

Tapi belum terlambat, dia sangat yakin jika dia masih memiliki kesempatan. Selama Aleandra belum menikah dengan pria itu maka dia akan terus berusaha. Tidak saja berharap bisa berbicara dengan Maximus secara pribadi tapi dia juga berharap bisa bertemu dengan Aleandra secara pribadi tanpa ada Maximus Smith sehingga dia bisa berbicara dengan leluasa.     

Setelah selesai menikmati sarapannya, ponsel pun diambil. Fedrick menghela napas sebelum menghubungi Jared. Setidaknya dia memiliki nomor ponsel Jared yang diberikan oleh sang informan.     

Jared sedang menuju rumah Max pagi itu karena dia harus menjemput bosnya untuk pergi ke kantor. Jared menjawab tanpa melihat lagi apalagi sebuah earphone selalu menempel di telinganya.     

"Hallo."     

"Sir, aku Fedrick. Bisakah hari ini aku bertemu dengan Maximus Smith secara pribadi? Ada hal penting yang hendak aku bicarakan dengannya," ucap Fedrick.     

Jared belum menjawab, dia tidak bisa mengambil keputusan akan hal itu sesuka hati. Dia harus menanyakan hal itu secara langsung pada bosnya.     

"Hubungi aku lagi nanti, aku akan memberimu kabar akan hal ini."     

"Terima kasih," Fedrick benar-benar berharap dia bisa bertemu dengan Maximus lagi dan benar saja, tidak lama kemudian Jared menghubunginya dan mengatakan jika Maximus bersedia setelah dia menghubungi bosnya untuk menanyakan hal itu. Max bersedia karena dia ingin tahu apa yang hendak Fedrick bicarakan dengannya. Lagi pula dia sudah menyetui permintaan Aleandra untuk mempertemukannya dengan Fedrick jadi dia bisa menggunakan kesempatan itu untuk mengatakan keinginan Aleandra.     

Tentunya kabar itu membuat Fedrick sangat senang karena Max bersedia. Dia akan meminta pria itu untuk meninggalkan Aleandra nanti. Dia harap Maximus Smith tidak keberatan dan jika pria itu menolak maka dia akan menawarkan sejumlah uang. Sepertinya dia harus menyediakan selembar cek yang bisa dia berikan pada Maximus nanti. Apa pun caranya akan dia lakukan asalkan pria itu mau melepaskan Aleandra.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.