Hi's Like, Idiot But Psiko

Kau Calon Menantu Kami



Kau Calon Menantu Kami

0Marline sangat heran saat mendengar suara tawa Aleandra dan Maximus begitu dia tiba. Untuk seumur hidupnya, dia tidak pernah mendengar putranya tertawa seperti itu karena Maximus bukanlah tipe pria humoris seperti sepupu yang lainnya. Dia pria yang pendiam dan tidak banyak bicara, dia akan selalu seperti itu apalagi dia akan bersembunyi di dalam lemari begitu lama tapi akhir-akhir ini sepertinya Maximus sudah tidak melakukannya lagi.     

Marline dan Michael saling pandang, tawa putra mereka masih terdengar. Entah apa yang terjadi, mereka benar-benar penasaran. Mereka bahkan melangkah mendekati ruangan dengan perlahan seperti ingin mencuri dengar apa yang sebenarnya Maximus dan Aleandra bicarakan sampai membuat mereka tertawa seperti itu.     

"Apa aku tidak salah dengar, Mich?" tanya Marline dengan pelan.     

"Tidak, aku juga mendengarnya," Michael juga tidak percaya putranya yang pelit senyum itu bisa tertawa lepas seperti itu.     

"Coba kau cubit aku, aku rasa ini hanya mimpi kita saja," ucap Marline.     

"Jadi kita akan saling mencubit?" tanya Michael.     

"Ck, kau menyebalkan! Aku jadi ingin lihat apa yang sedang mereka lakukan," ucap Marline. Mereka kembali saling pandang, lalu mereka membuat kesepakatan untuk mengintip apa yang sedang dilakukan oleh Maximus dan Aleandra di dalam sana. Marline mendorong pintu dengan perlahan, sedikit saja sudah cukup untuk melihat ke dalam sana.     

Michael dan Marline berdiri di sisi istrinya, mereka mengintip dan melihat Maximus seperti sedang membuat sesuatu dengan Aleandra sambil bercanda. Entah apa yang sedang mereka lakukan karena mereka tidak bisanya melihatnya dengan jelas akibat posisi duduk Maximus dan Aleandra yang membelakangi mereka. Untuk kesekian kali mereka saling pandang, Marline kembali mengintip dan melihat Maximus tertawa lepas. Oke, mereka baru melihat ini. Putra mereka benar-benar tidak seperti biasanya.     

Pintu ditutup, Marline dan Michael seperti orang ling lung. Sungguh, ini pertama kali mereka melihat putra semata wayang mereka yang terkenal pendiam bisa tertawa seperti itu. Mereka bahkan tidak bisa mengatakan apa pun, ternyata seorang wanita bisa merubah putra mereka. Ini hal bagus, sepertinya lemari kosong yang ada di setiap rumah akan mulai terisi.     

"Oke, Mich. Sepertinya kita harus merayakan hal ini," ucap Marline.     

"Ck, jangan terlalu berlebihan!" ucap Michaael.     

"Ayolah, aku sangat ingin merayakannya."     

"Merayakan apa?" tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan Maximus keluar dari ruangan.     

Marline terkejut, Maximus menggeleng melihat kedua orangtuanya. Aleandra muncul dari belakang dan tersenyum canggung. Mereka keluar karena mendengar percakapan kedua orangtua Max dari dalam.     

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Maximus.     

"Ka-Kami tidak melakukan apa pun dan baru saja tiba," ucap Marline.     

"Tidak perlu bohong, Mom. Aku sudah mendengar pembicaraan kalian sedari tadi."     

"Aku hanya kebetulan lewat!" ucap ayahnya seraya melangkah pergi.     

"Mommy juga!" Marline melangkah mengikuti suaminya dengan terburu-buru.     

Maximus hanya menggeleng dan mengikuti langkah kedua orangtuanya, sedangkan Aleandra pergi ke dapur karena dia ingin mengambil segelas air minum dan membuat minuman hangat untuk kedua orangtua Max.     

"Kenapa kalian tidak mengatakan padaku jika ingin datang?" tanya Maximus.     

"Jika kami mengabarimu maka kami tidak akan pernah melihatmu seperti ini," ucap Marline.     

"Ck, kalian terlalu berlebihan!" ucap Maximus.     

"Tidak perlu malu, Sayang. Kami senang kau berubah begitu banyak. Setidaknya kau sudah tidak seperti dulu lagi yang selalu menyendiri dan bersembunyi di dalam lemari sampai-sampai orang mengira kau idiot. Mommy tidak menyangka akan melihatmu seperti ini. Sepertinya sudah saatnya menyingkirkan lemari yang ada di dalam kamar," ucap ibunya.     

"Jangan disingkirkan, Mom!" cegah Maximus cepat.     

"Kenapa? Jangan katakan kau masih mau bersembunyi di sana atau kau hendak mengajarkan anak-anakmu untuk bersembunyi di dalam lemari kelak!"     

"Bukan begitu, Mom. Aku tetap membutuhkannya karena aku butuh tempat itu jadi jangan disingkirkan!" pinta Max.     

"Ck, seharusnya aku tidak mengatakannya dan langsung menyingkirkannya saja!" gerutu ibunya.     

"Sudahlah, Max memang sudah seperti itu sejak lama. Dia tidak mungkin bisa merubah kebiasaannya dengan begitu cepat jadi biarkan saja dia. Pelan tapi pasti, suatu hari dia sudah tidak membutuhkan tempat itu lagi," ucap Michael. Dia tidak keberatan putra mereka seperti itu, biarkan saja Maximus menjadi dirinya sendiri.     

"Baiklah, baik. Dua lawan satu tidak akan menang!"     

"Mom, aku tahu Mommy ingin yang terbaik bagiku tapi aku tetap membutuhkannya di saat aku sedang banyak pikiran. Bagiku itu tempat menenangkan jadi aku harap Mommy mau mengerti."     

"Baiklah, Mommy tidak memaksa jika kau tidak mau tapi kau belum pernah mengajak Aleandra bersembunyi di dalam lemari, bukan?" sang ibu menatapnya curiga.     

"Tentu saja belum, dia tidak akan mau jadi Mommy tidak perlu khawatir."     

"Bagus, tapi ngomong-ngomong, apakah kau sudah membicarakan soal bayi dengannya?" tanya Marline karena dia ingin tahu putranya sudah membahas hal ini atau belum dengan Aleandra.     

"Aleandra belum mau, Mom," sudah dia duga, ibunya akan menanyakan hal ini.     

"Kenapa? Apa dia tidak yakin denganmu?" Marline menatap putranya dengan lekat.     

"Bukan begitu, Mom. Banyak musuh di luar sana yang mengincar kami berdua. Yang mengincar aku memang banyak dan aku sudah terbiasa tapi selain musuhku Aleandra juga memiliki musuh berbahaya yang mengincarnya selama ini. Tidak aman jika dia hamil sekarang apalagi kami tidak tahu kapan musuh akan menyerang. Dari pada membahayakan dirinya dan bayi kami bukankah lebih baik kami menundanya terlebih dahulu? Lagi pula kami belum menikah, Mom. Sebaiknya kami selesaikan permasalahan yang ada barulah kami membahas pernikahan dan juga masalah anak," ucap Maximus.     

"Yang Maximus katakan sangat benar. Dulu kau juga seperti itu, bukan? Tidak baik terburu-buru apalagi mereka belum menikah. Sebaiknya selesaikan dahulu masalah yang ada barulah membahas hal lainnya. Sebaiknya kau berhati-hati, Max. Musuh kalian bisa saja bersatu untuk melawanmu, waspada pada sekitar yang bisa dimanfaatkan musuh dengan mudah! Aku harap pacarmu itu seperti ibumu dulu, tidak mudah dimanfaatkan apa pun yang terjadi nanti," ucap ayahnya.     

"Aku tahu, aku hanya sudah tidak sabar!" ucap Marline.     

"Sabarlah, Mom. Aku akan memberikan kalian banyak cucu nanti," ucap Maximus.     

"Benarkah, apa kau berjanji?" Marline terlihat senang.     

"Yeah," jawan Maximus singkat.     

"Kau dengar itu, Mich. Kita akan punya banyak cucu. Oh, aku sudah sangat tidak sabar!"     

Maximus dan ayahnya saling pandang sambil mengangkat bahu. Memang mudah membuat ibunya senang, berikan saja apa yang dia mau itu sudah cukup. Marline bahkan mengatakan berapa cucu yang harus Maximus berikan, semoga saja Aleandra mampu nanti. Aleandra menghampiri mereka dengan minuman hangat yang dia buat, walau sudah terbiasa tapi dia tetap merasa canggung.     

"Selamat sore Aunyt, Uncle," sapa Aleandra sambil meletakkan minuman yang dia bawa.     

"Tidak perlu canggung dan repot, kemarilah," pinta Marline. Aleandra mengangguk dan menghampiri ibu Maximus. Dia juga duduk di sisi ibu Max sambil tersenyum canggung.     

"Bagaimana dengan lambungmu, Sayang?" tanya Marline. Dia mengajak suaminya datang memang untuk melihat keadaan Aleandra.     

"Aku sudah tidak apa-apa. Aunty. Terima kasih sudah mengkhawatirkan keadaanku," ucap Aleandra.     

"Apa yang kau katakan? Kau calon menantu kami jadi sudah sepantasnya kami mengkhawatirkan dirimu."     

"Terima kasih," Aleandra tersenyum manis, tapi Marline penasaran apa yang putranya lakukan dengan gadis itu di dalam sana.     

"katakan pada Aunty, apa yang kalian lakukan di dalam sana? Kenapa terdengar begitu menyenangkan?" tanya Marline ingin tahu.     

"Kami... uhm," Aleandra melirik ke arah Maximus sejenak yang sedang berbicara dengan ayahnya.     

"Tidak apa-apa, katakan saja," Marline semakin penasaran. Apa yang telah membuat putranya tertawa lepas seperti itu?     

"Max mengajari aku menjinakkan bom saja," ucap Aleandra.     

"Benarkah?" Marline tampak tidak percaya. Apa hanya menjinakkan bom saja sudah bisa membuat putranya tertawa seperti itu?     

"Ya, kami memang melakukan itu sejak tadi. Dia mengajari aku bagaimana mengaktifkannya lalu bagaimana cara mematikannya," Aleandra tersenyum. Mana mungkin dia mengatakan pada ibu Maximus apa yang mereka lakukan sehingga mereka tertawa lepas seperti itu? Maximus juga tidak mungkin mengatakannya jadi biarlah menjadi rahasia mereka berdua.     

Marline semakin penasaran, sepertinya dia harus melihat di cctv. Akan dia lakukan nanti tapi dia tahu kejadian langka seperti itu pasti sulit terulang kembali.     

"Baiklah, aku tidak akan memaksa tapi terus terang aku sangat senang keberadaanmu bisa mengubah Maximus. Mungkin aku sudah mengatakan hal ini sebelumnya tapi aku benar-benar senang kau bisa merubah Max menjadi seperti itu."     

"Aku tidak melakukan apa pun, Aunty," ucap Aleandra.     

"Kau memang tidak melakukan apa pun tapi keberadaanmu memberi pengaruh yang cukup besar baginya. Aku harap kau selalu berada di sisinya apa pun yang terjadi, tolong bersabar dengan sifatnya yang selalu berubah-ubah," pinta Marline. Mungkin dia juga sudah meminta hal ini pada Aleandra dan dia harap gadis itu tidak bosan mendengar permintaannya.     

"Aku tahu, Aunty. Tidak saja aku yang harus bersabar dengan sifat Maximus tapi dia juga harus bersabar dengan sikapku yang mungkin saja akan mengecewakan dirinya suatu saat nanti. Aku sudah memilih untuk bersama dengannya maka aku tidak akan meninggalkan dirinya. Aku sangat berharap hubungan kami dapat berjalan dengan lancar seperti pasangan yang lainnya tapi Aunty juga tahu, suatu hubungan tidak akan berjalan mulus-mulus saja."     

"Aku tahu, sebab itu aku harap kalian saling mempercayai."     

Aleandra tersenyum dengan manis, Maximus tidak mungkin mengecewakan dirinya tapi dia justru takut jika dialah yang akan mengecewakan Maximus mengingat Fedrick yang tidak menyerah dengan hubungan mereka. Semoga saja hal itu tidak terjadi, dia sangat berharap Fedrick bisa menerima keputusannya dan mempercayainya. Besok dia akan mengatakan pada Fedrick jika dia bersama dengan Maximus bukan karena terpaksa dan bukan karena diancam oleh Max.     

Dia ingin bersama dengan pria itu karena dia memang menyukainya dan dia ingin bersama dengannya tanpa adanya paksaan.     

Mereka masih berbincang sampai akhirnya Michael mengajak mereka pergi untuk makan malam bersama. Ini kesempatan yang bagus bagi Aleandra, bagaimanapun dia harus dekat dengan kedua orangtua Maximus yang mungkin saja akan menjadi mertuanya kelak.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.