Hi's Like, Idiot But Psiko

Hari Perpisahan



Hari Perpisahan

Fedrick sudah tidak sabar, waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Dia harus mengejar penerbangan pukul empat sore, dia berharap Aleandra dan Maximus segera datang agar mereka bisa memiliki banyak waktu untuk berbicara. Ini hari perpisahan yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Perasaan berat untuk berpisah dengan Aleandra semakin dia rasakan. Dia harap Aleandra bisa segera datang agar rasa itu tidak semakin menyesakkan dada.     

Segelas kopi yang dia pesan sudah hampir habis, Fedrick melihat jam yang melingkar di tangan sambil menghela napas. Semoga dia tidak emosional sehingga membuat Aleandra marah nantinya. Dia tahu hari ini dia harus membuang semua egonya dan tidak boleh menunjukkannya di hadapan Aleandra sehingga membuat Aleandra marah. Cukup hari itu saja dia melihat kekecewaan Alenadra dan hari ini, dia tidak boleh melakukan hal yang sama.     

Gelas kopi kembali diraih, Fedrick meneguknya sambil melihat ke luar. Sebuah mobil sport berhenti, seorang pria turun terlebih dahulu. Mata Fedrick tidak berpaling karena itu adalah Maximus. Akhirnya yang dia tunggu datang dan rasa sesak yang dia rasakan semakin menyesakkan dada.     

Aleandra beringsut ke sisi kursi dekat pintu keluar, dia tidak langsung turun karena Maximus sedang membuka high heel yang dia pakai untuk melihat kakinya. Mata Fedrcik belum juga berpaling, dia masih memperhatikan apa yang sedang mereka berdua lakukan.     

Maximus sedikit berjongkok untuk melihat kaki Aleandra, sedari tadi Aleandra mengeluh kakinya sakit akibat sendal hak tinggi yang dia gunakan. High heel itu benda murah yang dia beli, dia memakainya karena masih bagus. Dia juga bukan orang yang suka membuang barang.     

"Apa sakit?" Max melihat sebuah lecet dibagian kedua kaki Aleandra.     

"Hm, sepertinya aku butuh plester," jawab Aleandra.     

"Jared!" Max memanggil sang asisten untuk mengambilkan plester di kotak P3K yang selalu ada di mobil.     

Jared bergerak cepat untuk mengambil plester, tidak butuh lama benda itu sudah Maximus dapatkan. Plester ditempelkan, Aleandra tersenyum saat Maximus memakaikan high heelnya kembali.     

"Setelah ini buang sendalnya dan kita pergi membeli yang baru."     

"Tapi masih bagus, Max. Sayang jika dibuang," ucap Aleandra.     

"Hei, kakimu lebih berharga dari pada high heel itu!" ucap Max seraya menggendongnya keluar.     

Fedrick melihat mereka tanpa berkedip. Sebuah pertanyaan pun muncul di hati, apakah selama ini dia pernah melakukan hal itu dengan Aleandra? Tidak, mereka memang tidak pernah melakukan hal itu.     

Ekspresi wajahnya berubah melihat Maximus memeluk pinggang Aleandra saat masuk ke dalam cafe itu. Mereka berdua terlihat mesra, mereka terlihat seperti pasangan kekasih yang sesungguhnya. Apa itu yang selama ini Aleandra inginkan?     

"Sial!" umpatan itu terdengar, dia adalah seorang pecundang yang melihat wanita yang dia cintai begitu mesra dengan pria lain dan dia adalah pecundang yang telah menyia-nyiakan wanita itu.     

Tatapan matanya tidak juga berpaling dari Max dan Aleandra sampai mereka masuk ke dalam dan menghampirinya. Tatapan matanya bahkan beradu dengan tatapan Aleandra. Gadis itu jadi terlihat canggung, dia bahkan memalingkan tatapannya dan melihat ke arah Max.     

Aleandra tersenyum tipis saat Maximus memandanginya. Hari ini apa pun yang terjadi dia tidak boleh menangis. Dia harus menahan diri walau dia tahu perpisahan itu menyakitkan dan seharusnya dia tidak perlu sedih karena dia memang menginginkan hubungan mereka berakhir.     

"Maaf, Fedrick. Apa kau sudah lama menunggu?" tanya Aleandra basa basi.     

"Tidak, jangan dipikirkan. Aku masih punya waktu beberapa jam sebelum penerbangan bahkan aku akan menunggu sampai kau datang walau waktuku harus terbuang banyak."     

Aleandra tersenyum tipis, Maximus menarikan kursi untuk Aleandra dan setelah itu mereka duduk berdua di hadapan Fedrick.     

"Mau makan sesuatu" tanya Maximus.     

"Boleh, kita belum makan, bukan?"     

Max memanggil seorang pelayan untuk memesankan makanan untuk Aleandra. Fedrick hanya bisa memandangi mereka berdua dan kembali bertanya dalam hati, apakah mereka pernah melakukan hal seperti itu sebelumnya? Lagi-Lagi jawabannya tidak. Bukannya mereka tidak pernah makan berdua, mereka melakukannya beberapa kali tapi begitu sampai di restoran yang dia lakukan adalah sibuk dengan ponsel atau perangkat alat elektronik lainnya untuk melakukan pekerjaannya. Dia bahkan tidak sadar jika makanan sudah berada di atas meja dan pada saat itu Aleandra tidak marah dan tidak protes sama sekali.     

Sekarang dia benar-benar tahu jika dia sudah menyia-nyiakan orang yang begitu sabar juga pengertian seperti Aleandra dan sekarang dia harus melepaskan gadis itu.     

"Apa kau sudah memutuskan untuk pulang, Fedrick?" tanya Aleandra.     

"Yeah, aku tahu aku tidak bisa memaksamu. Aku sudah melakukan banyak kesalahan selama ini, Aleandra. Aku sangat menyesalinya dan aku masih berharap kau mau kembali denganku."     

"Maaf, Fedrick. Kau tahu itu tidak mungkin terjadi. Kau bisa melihat hubungan kami berdua, bukan? Seharusnya kau tahu jika hubungan seperti inilah yang aku inginkan. Lagi pula selama ini kau tidak mencintai aku, aku rasa seharusnya kau bisa menerima perpisahan ini."     

"Aku tahu aku salah, Aleandra. Tapi cinta yang terlambat aku sadari ini begitu menyesakkan dada!"     

"Kau menyadarinya saat aku sudah tidak ada, Fedrick. Tidak perlu kita bahas lagi, terima kasih untuk waktu yang telah kau berikan untukku selama ini dan aku rasa kau tahu apa yang aku maksud."     

"Aku tahu, aku tahu betapa pecundangnya aku. Aku sadar jika aku?"     

"Sudahlah," sela Aleandra. Dia tidak mau mendengar lebih dari itu supaya Fedrick tidak semakin menyesal dan tidak menghukum dirinya atas apa yang telah terjadi pada mereka berdua.     

"Sudah aku katakan padamu, Fedrick. Kita tidak berjodoh tapi kita bisa menjadi sahabat di kemudian hari, Kita pasti bisa menjadi sahabat baik karena selama ini kita memang sudah seperti seorang sahabat."     

"Kau benar tapi aku rasa ini akan menjadi pertemuan terakhir kita. Kau juga tidak akan kembali ke Rusia lagi, bukan?"     

"Seperti yang kau tahu, aku tidak mau kembali ke sana agar aku tidak mengingat kenangan buruk yang aku alami. Aku ingin melupakan semuanya, aku ingin memulai kehidupan baru ku di sini bersama dengan Max."     

"Jadi kau benar-benar tidak akan kembali denganku?" tanya Fedrick. Dia memang sengaja bertanya demikian dan ini adalah pertanyaan terakhirnya. Dia harap Aleandra menjawab sesuai yang dia inginkan namun gadis itu menggeleng.     

"Aku rasa kau juga tahu jawaban atas pertanyaanmu ini, Fedrick."     

"Yeah... kau sudah menjawabnya tadi. Aku hanya ingin tahu saja," Fedrick menghela napas. Matanya menatap Aleandra dan Maximus, senyum juga menghiasi wajah. Dia harus bisa menerima hubungan mereka berdua.     

"Jam berapa kau akan pergi, Fedrick?"     

"Jam empat, sebentar lagi aku harus pergi."     

"Jika begitu sampaikan salamku untuk ibumu dan ingat hal ini baik-baik, Fedrick. Setelah kembali jangan mengatakan pada siapa pun keberadaanku terutama pihak berwajib. Jangan pernah percaya pada siapa pun dan jangan pernah mengatakan keberadaanku jika ada yang bertanya apalagi orang yang tidak kau kenal. Anggap aku sudah tidak ada, aku akan menyelesaikan permasalahan yang terjadi bersama Maximus jadi jangan pernah percaya dengan siapa pun apalagi orang itu membawa namaku."     

"Baiklah, aku tidak tahu apa sebenarnya yang sedang kau hadapi tapi aku tidak akan mengatakan pada siapa pun akan keberadaanmu."     

"Dari mana kau bisa tahu keberadaan, Aleandra?" tanya Max. Dia sudah sangat ingin tahu akan hal ini.     

"Seseorang memberi tahu aku. Aku menyebar selebaran untuk mencari keberadaannya jadi ada seorang pria yang datang dan mengatakan jika Aleandra berada di Amerika. Tidak saja satu orang, ada orang lain juga yang mengatakan keberadaannya pada informan yang aku bayar," jawab Fedrick.     

Maximus dan Aleandra saling pandang, tidak perlu mereka tanya karena mereka tahu orang yang menemui Fedrick sudah pasti Antonio. Hanya dia saja yang tahu di mana Aleandra berada.     

"Jika begitu sebaiknya kau tidak berbicara dengan orang itu jika kau bertemu dengannya, Fedrick," pinta Aleandra.     

"Kenapa?" tanya Fedrick ingin tahu.     

"Tidak apa-apa, sudah aku katakan jangan percaya dengan siapa pun karena aku sedang jadi buronan. Aku takut orang yang menemuimu waktu itu adalah orang yang menginginkan aku jadi sebaiknya kau menghindarinya agar kau tidak terlibat!"     

"Jika begitu bukankah lebih baik kita melaporkan pria itu ke polisi?" ucap Fedrick.     

"Jangan gegabah, Fedrick. Kau tidak memiliki bukti apa pun, polisi tidak akan mempercayaimu begitu saja. Jangan sampai tindakan yang kau lakukan justru menjadi bencana untuk dirimu," ucap Maximus.     

"Yang Max katakan sangat benar, Fedrick. Jika kau salah mengambil langkah kau akan celaka. Tidak saja dirimu tapi kedua orangtuamu akan terlibat jadi sebaiknya tidak melakukan apa pun."     

"Baiklah, aku tidak akan melibatkan diri akan hal ini. Aku tahu aku tidak memiliki kemampuan apa pun untuk melindungimu, Alendra. Aku sungguh tidak berguna. Tidak saja menyia-nyiakan dirimu tapi aku juga tidak bisa melindungimu!"     

"Sudahlah, Fedrick. Bagaimana jika kita makan saja? Anggap ini sebagai makan bersama kita yang terakhir kali. Aku harap kau memperbaiki hidupmu setelah ini, aku juga berharap kau tidak mengulangi hal yang sama setelah kau menemukan seseorang yang berharga untukmu!"     

"Tentu, aku tidak akan melakukannya. Terima kasih sudah mau datang menemui aku, setelah kita selesai makan, maukah kau berbicara dengan ibuku? Dia sangat merindukan dirimu dan dia sangat ingin berbicara denganmu."     

"Tentu saja," jawab Aleandra sambil tersenyum. Seharusnya mereka seperti itu sejak awal tanpa perlu menguras emosi dan perasaan namun semua belum terlambat. Dia sangat senang Fedrick cepat menyadari jika mereka memang tidak bisa bersama sehingga hal buruk yang tidak diinginkan pun tidak perlu terjadi.     

Fedrick menahan semua sesak yang dia rasakan, dia ingin memperlihatkan pada Aleandra jika dia bisa menerimanya walau sesungguhnya tidak. Kemesraan yang mereka berdua tunjukkan benar-benar membuatnya hancur namun perhatian yang diberikan oleh Maximus pada Aleandra menampar wajahnya dengan keras karena dia tidak pernah memberikan hal itu pada Aleandra. Dia tahu semua karena ulahnya sendiri dan dia tahu jika dia butuh waktu. Dia juga yakin seiring berjalannya waktu dia pasti bisa menerima berakhirnya hubungan mereka. Mungkin dia adalah pria paling bodoh saat ini karena dia harus melihat kemesraan wanita yang dia cintai bersama dengan pria lain tapi dia hanya bisa menerima akibat dari perbuatannya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.