Hi's Like, Idiot But Psiko

Rasa Takut



Rasa Takut

0Kedua Fedrick dibawa oleh Jared, entah mana yang asli mereka akan tahu nanti setelah mereka sadar yang pasti salah satu dari mereka harus waspada karena salah satu dari mereka pasti mati. Mereka di tempatkan dalam satu ruangan karena Maximus akan menemui mereka nanti.     

Max masih di perjalanan mengantar Aleandra. Dia diam saja dengan kemarahan memenuhi hati. Jika sampai Aleandra mati dan tidak bisa tertolong lagi, dia bersumpah akan menguliti Antonio secara hidup-hidup, mengikis daging dari tulangnya dan menggantungnya di atas pohon agar dagingnya di makan oleh burung gagak sehingga dia mati dengan perlahan.     

Max mendekap Aleandra dengan erat, dia tidak terima Aleandra mati seperti ini tapi dia berharap Aleandra bertahan. Tubuhnya bahkan sudah terasa dingin akibat banyaknya darah yang terbuang. Siapa pun orang yang menjadi Fedrick, tidak akan dia ampuni dan dia juga akan mengusir Fedrick agar dia pergi dan tidak bertemu dengan Aleandra lagi.     

Helikopter terbang dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Jared sudah menghubungi para medis sehingga mereka sudah siap dan menunggu. Max belum mengatakan apa yang terjadi pada kedua orangtuanya, dia tidak peduli dengan suara ponsel karena satu tangan sedang menekan luka di perut Aleandra agar darahnya berhenti mengalir.     

Max tidak melihat wajah Aleandra, tidak karena dia tidak mau melihat wajah pucat dan tidak berdayanya. Untuk seumur hidup, baru kali ini merasa takut. Dia bahkan takut membayangkan apa yang akan terjadi jika Aleandra tidak bisa bertahan. Yang dia tahu Aleandra masih bernapas walau lemah. Dia hanya bisa berharap Aleandra bisa bertahan sampai mereka tiba di rumah sakit. Sekarang dia tahu, Aleandra sudah menjadi kelemahan terbesarnya.     

Helikopter terbang merendah, Max sudah tidak sabar bahkan dia melompat turun sambil menggendong Aleandra padahal helikopter masih berjarak puluhan kaki dari permukaan landasan. Max melangkah dengan cepat menuju para medis yang sudah menunggu, Aleandra dibaringkan di atas ranjang dengan perlahan.     

"Lakukan yang terbaik, jika dia mati maka kalian juga mati!" ancamnya.     

Tidak ada yang berani bersuara, semua tahu ancaman itu bukan isapan jempol belaka. Mereka segera bergerak membawa Aleandra ke dalam. Maximus mengambil ponselnya, dia ingin menghubungi ibunya untuk meminta ibunya membawa pakaian karena saat ini dia sedang bertelanjang dada. Darah Aleandra menempel di tubuhnya, bajunya memang dia gunakan untuk menekan luka Aleandra.     

"Mom, aku di rumah sakit. Bawakan pakaian bersih untukku," pinta Maximus.     

"Rumah sakit? Apa kau terluka?" tanya ibunya. Tiba-Tiba firasatnya menjadi buruk.     

"Bukan aku, tapi Aleandra."     

"Oh my God, apa yang terjadi dengannya?"     

"Mom, bisa tidak banyak bertanya?"     

"Oke, Mommy akan segera ke sana dengan Daddy!" tanpa membuang waktu, Marline berlari menuju kamar putranya untuk mengambil pakaian Max. Dia juga berteriak memanggil Michael. Memang mereka langsung pulang setelah mengantar ibu Fedrick ke rumah sakit karena keadaannya yang lemah tapi sekarang mereka harus pergi ke sana lagi.     

Max masuk ke dalam rumah sakit tanpa mempedulikan orang-orang yang memperhatikan dirinya karena tubuhnya yang dipenuhi darah. Dia menuju ruangan di mana Aleandra sedang ditangani dan duduk di sebuah kursi tunggu yang tersedia.     

Seharusnya dia yang menerima besi itu tapi kenapa harus Aleandra? Rasanya ingin memaki dan marah. Sungguh dia tidak senang dengan pengorbanan yang dilakukan oleh Aleandra. Semua gara-gara Fedrick, dia akan membuat perhitungan dengan pria itu nanti. Jika Aleandra bisa selamat dia juga akan membuat perhitungan dengannya karena begitu berani mendorongnya dan menggantikan dirinya.     

Max menunduk, langkah kaki para perawat yang sibuk memecah keheningan lorong ruangan itu. Beberapa kantung darah dibawa masuk karena Aleandra membutuhkannya.     

Marline dan Michael sudah tiba, Marline terkejut melihat keadaan putranya. Max tidak pernah terlihat seperti itu sebelumnya. Dia tampak kacau, namun bisa dilihat jika dia sedang menahan sesuatu yang bergejolak di hatinya.     

"Max," Marline mendekati putranya dengan terburu-buru.     

Max melihat ke arah ibunya sejenak, Marline terkejut tiba-tiba saja Maximus memeluknya saat dia sudah berdiri di dekat putranya. Max masih dalam posisi duduk sehingga Marline bisa mengusap kepalanya.     

"Semua akan baik-baik saja, oke?" entah kenapa dia merasa Maximus seperti anak kecil lagi.     

"Aku hanya takut," ucapan Max benar-benar membuat kedua orangtuanya terkejut. Selama ini, apa yang membuat Max takut? Tidak, tidak ada bahkan dia tidak pernah terlihat rapuh seperti ini.     

Bahu Max bergetar, sial. Dia terlihat begitu bodoh. Marline bisa merasakannya, ketakutan yang dirasakan oleh putranya. Semua orang pasti akan merasa takut saat orang yang dicintai di ambang kematian tapi dia tidak menyangka Max akan seperti itu. Sepertinya cinta yang dia miliki untuk Aleandra begitu besar tanpa dia sadari.     

"Semua akan baik-baik saja, Max. Percayalah jika dia bisa bertahan," hanya itu yang bisa dia katakan karena dia juga tidak tahu apa yang terjadi.     

"Jika terjadi sesuatu dengannya, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, Mom. Seharusnya aku yang berada di posisinya tapi dia begitu bodoh menerima besi itu menggantikan aku."     

"Astaga, jadi dia terkena besi?"     

Max hanya mengangguk, tidak saja satu tapi dua. Aleandra benar-benar tidak memikirkan dirinya sendiri, yang dia pikirkan hanya orang lain saja.     

"Dia pasti bisa bertahan, Max. Mereka pasti melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan dirinya. Lihat keadaanmu, putra Mommy tidak pernah seperti ini sebelumnya. Bersihkan dirimu terlebih dahulu, Mommy dan Daddy yang akan menunggunya di sini menggantikan dirimu," ucap Marline seraya mengusap kepala putranya kembali.     

Maximus mengangguk, baju bersih yang ibunya bawa diambil dan setelah itu dia berlalu pergi untuk membersihkan dirinya. Sungguh malam yang melelahkan tapi mereka yang sudah dia tangkap, jangan pernah berharap bisa mati dengan mudah terutama Antonio. Pria itu akan merasakan kemarahannya, jadi tidak akan dia lepaskan.     

Marline duduk bersama suaminya setelah putra mereka berlalu pergi. Ekspresi wajahnya terlihat khawatir, dia harap Aleandra bisa bertahan karena dia tahu putranya akan hancur jika gadis itu meninggalkan dirinya dengan cara seperti itu. Maximus akan hidup dalam rasa bersalah, dia yakin putranya tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu pada Aleandra.     

"Aku harap gadis itu bertahan jika tidak kita akan mendapati putra semata wayang kita hancur," ucap Marline seraya bersandar di bahu suaminya.     

"Semua pasti baik-baik saja, Marline. Putramu sedang takut jadi kau tidak boleh menunjukkan rasa takut. Dia membutuhkan dirimu sekarang, jadi hanya kau yang bisa menenangkan dirinya."     

Marline diam, benar yang Michael katakan. Max tidak pernah seperti itu jadi sebagai seorang ibu dia harus bisa menghibur putranya. Dia tahu putranya menangis saat memeluknya, dia bisa merasakannya bahkan bajunya sedikit basah. Marline beranjak saat melihat putranya menghampiri mereka. Walau sudah berganti pakaian namun tampangnya tetap kusut.     

Max duduk di dekat mereka tanpa berkata apa-apa, dia kembali menunduk dan diam saja saat ibunya duduk di sisinya. Tidak saja ibunya, ayahnya juga beranjak dan duduk di sisinya yang lain.     

"Kau tahu Boy, dulu Daddy juga pernah mengalami apa yang sedang kau alami," ucap Michael. Mungkin ini hal baru bagi putranya tapi itu bukanlah hal aneh.     

"Dulu aku juga takut kehilangan Mommy, keadaan kita tidak jauh berbeda. Takut kehilangan orang yang kita cintai dan menangis akan hal itu bukanlah hal yang memalukan. Itu bertanda jika dia sangat berarti bagimu dan menunjukkan jika kau begitu mencintainya."     

Max diam saja, Marline merangkul bahu putranya dan mengusapnya. Dia harap keadaan putranya lebih baik setelah ini.     

"Percayalah, wanita yang kau pilih tidak selemah yang kau duga. Kita tidak mungkin salah memilih pasangan hidup. Wanita lemah tidak pantas menjadi pendamping hidup kita jadi percayalah jika pilihanmu tidak mungkin salah dan dia akan baik-baik saja," ucap ayahnya lagi.     

"Terima kasih, Dad. Aku tidak mungkin salah memilih."     

"Bagus jika begitu, dia pasti bisa bertahan jadi jangan tenggelam dalam rasa bersalah!"     

"Yang Daddy katakan sangat benar, kita tunggu saja. Aleandra pasti sedang berjuang di dalam sana," ucap Marline. Tangannya berada di kepala putranya dan mengusapnya.     

Mereka menunggu cukup lama, Aleandra ditangani dengan serius akibat dua luka yang ada di bagian perut. Luka pertama tidak mengenai bagian vital namun luka kedua sangat membahayakan dirinya sehingga para medis harus bekerja extra.     

Di tempat lain, dua Fedrick sudah sadarkan diri secara bersamaan. Mereka terkejut saat melihat satu sama lain. Tidak ada yang berbeda di antara mereka, Jared saja tidak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang palsu.     

"Siapa kau?" kedua Fedrick itu bertanya secara bersamaan.     

"Kau yang siapa? Kenapa wajahmu sangat mirip denganku?" salah satu dari mereka bertanya.     

"Kau yang mirip denganku!" teriak yang satunya lagi dan tentunya salah satu dari mereka adalah anak buah Antonio. Masih ada tugas terakhir yang harus dia lakukan jadi dia tidak boleh mengaku jika dialah yang palsu.     

"Jangan mengada-ada, kenapa kau menggunakan wajahku!" teriak yang satunya tidak terima.     

"Diam kalian berdua!" teriak Jared marah. Sudah saatnya menghubungi bosnya karena dia yakin, bosnya bisa mengenali mereka.     

Ponsel sudah berada di tangan, Jared melangkah menjauh meninggalkan dua Fedrick yang masih memperdebatkan siapa yang asli di antara mereka.     

"Master, mereka sudah sadar," ucap Jared saat Maximus sudah menjawab telepon darinya.     

"Aku akan ke sana, jaga baik-baik jangan sampai ada yang kabur!" perintah Maximus.     

"Yes, Master."     

Max menyimpan ponselnya dan beranjak, ibunya tampak heran karena putranya seperti ingin pergi.     

"Kau mau ke mana, Max?" tanya ibunya.     

"Tolong jaga Aleandra, Mom. Aku ada urusan sebentar dan aku akan segera kembali setelah selesai," pintanya.     

"Pergilah, kami akan menunggunya di sini," ucap ayahnya.     

"Thanks," Max melangkah pergi. Sudah saatnya memberi perhitungan pada Fedrick palsu dan sudah saatnya mengusir Fedrick asli pergi karena dialah yang telah membuat Aleandra celaka. Jangan kira dia tidak bisa mengenali mereka, dia akan menggunakan caranya agar salah satu dari mereka mengaku dan setelah dia tahu yang mana yang palsu, jangan harap dia akan bermurah hati.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.