Hi's Like, Idiot But Psiko

Teka Teki Untuk Aleandra



Teka Teki Untuk Aleandra

0Matahari bersinar dengan terik, sebuah topi yang sedikit lebar digunakan di atas kepala dan seikat bunga berada di tangan. Aleandra melangkah mendekati makam kakaknya saat itu, dia datang seorang diri tanpa ditemani oleh Maximus. Sudah tidak ada yang perlu dia takutkan lagi, dia benar-benar sudah bebas.     

Aleandra juga tidak mengatakan pada Max jika dia ingin mengunjungi makam karena dia ingin berbicara secara pribadi dengan kakaknya. Setelah dari makam dia akan pergi ke kantor Max lalu dia akan mengajak Maximus pergi makan siang bersama. Sekarang kehidupannya sudah kembali normal tapi bedanya dia sudah tidak perlu menjadi stuntman dan sudah tidak tinggal di Rusia lagi.     

Aleandra sudah berdiri di depan makam, senyum tipis menghiasi bibir. Aleandra berjongkok untuk membersihkan daun kering dan setelah itu bunga yang dia bawa diletakkan di sisi batu nisan.     

"Apa kabarmu, Adrian?" Aleandra duduk di sisi makam, matanya menerawang dan menatap ke langit biru.     

"Apa kau sudah bertemu dengan Mommy dan Daddy, Adrian? Apa kalian sudah bersama saat ini?" tatapan mata Aleandra masih menatap langit biru. Air mata mengalir, rindu, dia sangat rindu dengan keluarganya.     

"Jika bisa, aku sangat ingin bersama dengan kalian. Aku lebih suka kita bersama seperti dulu tapi kalian justru meninggalkan aku sendirian dan kau berada di tempat asing ini!" Aleandra menunduk dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tangisannya semakin menjadi, dia tidak akan lupa malam terakhir yang mereka lewati bersama.     

Kehilangan mereka bagaikan kehilangan separuh dari hidupnya. Perasaan ingin bertemu dan bersama dengan mereka memenuhi hati. Dia tidak pernah berpisah dengan keluarganya sebelumnya bahkan dia tidak pernah berpisah dengan mereka walau untuk satu minggu lamanya.     

Setelah semua yang terjadi, entah kenapa perasaan akan kehilangan mereka semakin dia rasakan. Waktu itu dia tidak merasa seperti ini akibat rasa takut tapi sekarang, perasaan itu sangat dia rasakan.     

Karena itu adalah makam pribadi keluarga Smith, jadi tidak ada siapa pun di sana kecuali dirinya dan penunggu makam yang ditugaskan untuk menjaga dan membersihkan makam. Aleandra bisa menangis sepuasnya. Tidak ada yang akan mendengar suara tangisannya, tidak ada pula yang akan mendengar apa yang dia ucapkan karena si penunggu makam berada cukup jauh.     

"Max sudah membantu aku membalas orang-orang yang telah menjebakmu dan menyiksa dirimu, Adrian. Kedua orang penjahat yang telah membunuh kedua orangtua kita dan yang telah membuat dirimu menderita sudah mendapatkan ganjarannya. Mereka sudah mati bahkan mereka mati dengan cara yang lebih mengerikan. Aku tahu kalian pasti tidak suka aku membalas dendam tapi aku ingin menuntut keadilan atas kematian kalian," air mata Aleandra semakin mengalir deras, kematian keluarganya kembali teringat begitu saja.     

Di tempat itu, siapa pun akan menumpahkan rasa sedih akan kehilangan orang yang dikasihi. Tempat itu sepi dan memberikan ketenangan. Aleandra menangis cukup lama, air mata yang dia tahan selama ini untuk menangisi kepergian keluarganya sudah tidak bisa dia bendung lagi. Hari ini dia ingin menangis sampai puas karena setelah ini, dia akan berusaha menahan diri untuk tidak menangis lagi.     

"Maafkan aku tidak bisa bersama dengan kalian, aku sangat ingin bersama dengan kalian tapi kalian begitu tega meninggalkan aku sendiri di tempat asing ini bahkan Adrian pun tidak mau bertahan dan meninggalkan aku," ucap Aleandra. Dia masih menunduk dan menangis tapi entah kenapa dia seperti mendengar ada yang berbisik di telinganya dan berkata jika dia tidak sendirian di tempat asing itu.     

Aleandra sedikit terperanjat, mata melihat sana sini. Sepertinya itu hanya hembusan angin saja karena angin memang bertiup kencang sehingga daun-daun kering berguguran.     

Aleandra mengusap tengkuk, kenapa dia jadi merinding? Mungkin hanya perasaannya saja akibat kesedihan yang dia rasakan. Aleandra memejamkan mata, menikmati angin yang berhembus. Benar, sesungguhnya dia sudah tidak sendirian lagi walau tempat itu masih asing baginya. Bukankah ada Maximus yang selalu ada untuknya? Semenjak dia memilih untuk bersama dengan pria itu dia sudah tidak merasa kesepian lagi.     

Walau pria itu tidak romantis, kata cinta pun jarang dia ucapkan tapi dia tahu jika Maximus begitu mencintainya. Walau dia sedikit aneh dan sedikit kasar juga emosional tapi Max belum pernah bermain tangan saat marah padanya. Entah kenapa tiba-tiba saja dia ingin mendengar Max mengucapkan kata cinta. Sudah lama dia tidak mendengarnya, dia bahkan lupa kapan terakhir kali mendengar Maximus mengatakan 'I love you' padanya.     

"Aku pergi dulu, Adrian. Aku akan kembali lagi nanti. Aku juga berencana pulang ke Rusia untuk melihat jasad Mommy dan Daddy. Jika mereka belum dimakamkan maka aku akan memohon pada Max untuk membawa mereka sehingga mereka bisa dimakamkan di tempat ini sehingga aku bisa menjenguk kalian dengan mudah," ucap Aleandra. Dia segera beranjak sambil membersihkan daun kering yang menempel di celana panjangnya.     

Sebelum beranjak pergi, Aleandra memandangi makam kakaknya sejenak. Dia juga memandangi makan yang ada di sana dan setelah itu dia melangkah pergi sambil menggunakan kaca mata hitamnya. Kunci mobil dikeluarkan, dia memang datang sendiri tanpa supir pribadi seperti yang sudah-sudah karena dia sudah bisa bebas melakukan apa pun tanpa merasa takut lagi.     

Mobil dijalankan, Alenandra pergi menuju kantor Maximus. Semoga saja Max tidak sibuk sehingga dia tidak mengganggu tapi ternyata Max memang sedang sibuk karena begitu dia tiba, Max tenggelam dengan tumpukan dokumen yang ada di atas meja.     

Dokumen yang ada sedang diperiksa diletakkan saat Aleandra masuk ke dalam ruangan. Maximus tersenyum melihat kedatangannya.     

"Apa aku mengganggu?" tanya Aleandra seraya menghampirinya.     

"Yes, kemarilah," tangan Maximus sudah terulur ke arahnya.     

"Sial, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat!"     

"Yeah, memang tidak!" tangan Aleandra sudah di genggam, Aleandra ditarik sehingga duduk di atas pangkuannya.     

"Dari mana?" Maximus menatapnya lekat, "Kenapa matamu merah?" tanyanya lagi sambil mengusap pipi Aleandra.     

"Ke makam, menjenguk Adrian."     

"Kenapa kau tidak mengajak aku?"     

"Aku hanya ingin berbicara dengannya sebentar, Max. Lagi pula aku tidak boleh selalu merepotkan dirimu untuk hal-hal seperti ini."     

"Baiklah, tapi kenapa kau seperti habis menangis?" Max masih mengusap wajahnya dan menatapnya lekat.     

"Jangan marah, Max. Aku merindukan mereka, sebab itu aku menangis karena aku tidak bisa menahan rasa rindu yang aku rasakan," Aleandra memeluk lehernya dan menyembunyikan wajahnya di leher Maximus.     

"Aku tidak marah, Aleandra. Aku hanya bertanya saja. Aku tahu kau pasti akan menangis tapi jangan terlalu tenggelam dalam kesedihan. Mereka sudah pergi lama, jadi seharusnya kau sudah mengikhlaskan kepergian mereka."     

Aleandra diam, dia memang seperti tidak ikhlas dengan kepergian keluarganya. Dia bahkan merasa jika mereka tega meninggalkan dirinya seorang diri di tempat asing itu. Seharusnya perasaan itu tidak boleh ada karena dia tahu, semua yang terjadi bukanlah kehendak mereka.     

"Kau benar, aku benar-benar minta maaf."     

"Kenapa kau minta maaf, Aleandra?" Max mengernyitkan dahi, tangannya tidak henti mengusap kepala Aleandra.     

"Tidak, bukan apa-apa," Aleandra tersenyum. Ucapan maaf itu dia berikan untuk keluarganya atas perkataannya tadi.     

"Hei, jangan membuat aku penasaran!"     

"Max," Aleandra melepaskan pelukannya. Satu tangan sudah berada di wajah Maximus dan mengusapnya perlahan.     

"Kenapa? Apa kau menginginkan sesuatu?"     

"Hm, aku sudah lama tidak mendengar ungkapan cinta darimu," ucap Aleandra.     

"Kau ingin mendengarnya?" Max tersenyum, dia kira Aleandra ingin meminta sesuatu seperti perhiasan mahal karena Aleandra belum pernah meminta sesuatu padanya tapi ternyata hal itu saja yang dia inginkan.     

"Yes, aku sangat ingin mendengarnya. Cepat katakan kau mencintaiku!" pinta Aleandra sedikit memaksa.     

"Tidak!" tolak Maximus.     

"Apa, kenapa?!" Aleandra tampak cemberut.     

"Aku tidak mau saja."     

"Hm!" Aleandra memalingkan wajah sambil bersedekap dada.     

Max tersenyum dan memeluknya dari belakang. Aleandra masih terlihat kesal, hanya permintaan sederhana saja kenapa Maximus tidak mau? Apa begitu sulit mengucapkan kata cinta?     

"Jangan marah, Aleandra," ucap Maximus.     

"Ck, aku mau pulang saja!" Aleandra tampak kesal.     

"Begini saja, jika kau bisa menjawab teka teki dariku maka aku akan memberikanmu kejutan dan mengatakan kata cinta yang kau inginkan sampai kau puas."     

"Teka teki?" kini Aleandra berpaling melihat ke arahnya.     

"Yes, aku akan memberikanmu teka teki, kau harus bisa menjawabnya. Aku tunggu sampai nanti malam. Aku tidak akan pulang tapi seseorang akan menjemputmu nanti dan membawamu kepadaku. Pada saat itu kau sudah harus siap dengan jawaban teka tekinya."     

"Kenapa aku mencium sebuah rencana di sini?"     

"Jadi?"     

"Oke, apa teka tekinya? Ingat, jangan yang sulit karena aku tidak akan tahu jawabannya!" Aleandra terlihat bersemangat.     

"Tidak sulit, ini pertanyaan mudah untukmu yang malas berpikir jadi dengarkan baik-baik," ucap Maximus.     

"Menyebalkan!" Aleandra memukul dadanya, Max terkekeh. Tentu saja tidak sulit karena dia ingin Aleandra tahu jawabannya.     

"Dengar, hal itu tidak selalu terjadi karena hal itu akan terjadi di saat tertentu saja. Hal itu juga akan terjadi saat malam tapi bukan berarti saat siang tidak. Saat siang hal itu juga akan terjadi tapi jika malam hal itu akan terasa lebih indah namun terkadang hal itu tidak diinginkan oleh sebagian orang namun diharapkan pula oleh sebagian orang jadi pertanyaannya adalah, apakah itu?"     

"Hei, pertanyaannya kenapa begitu sulit? Bukankah kau berkata tidak akan sulit untuk orang yang malas berpikir seperti aku?" protes Aleandra.     

"Memang tidak sulit, Aleandra. Aku yakin kau bisa menjawabnya dengan mudah."     

"Apa, bagiku itu sulit, Max!"     

"Jika kau tidak bisa menjawabnya maka aku tidak akan mengabulkan permintaanmu," ucap Max.     

"Apa ada clue?" tanya Aleandra. Jika ada mungkin dia bisa menjawabnya.     

"Tidak, cari jawabannya sendiri!"     

"Oh, ayolah. Bagaimana aku bisa menjawabnya?" Aleandra kembali terlihat cemberut.     

"Kau mau kejutannya atau tidak?" tanya Max pula.     

"Oke, fine! Aku akan memikirkannya nanti di rumah!"     

"Bagus, mulailah memikirkan jawabannya. Aku sedang sibuk, jadi jangan mengganggu!"     

"Kau tidak mau makan denganku?" tanya Aleandra heran.     

"Aku sudah makan."     

"Tidak mau temani aku makan?" Aleandra semakin heran dengan sikap Maximus.     

"Aku sibuk, Aleandra."     

"Baiklah, jadi aku pulang?" dia semakin heran saja karena Max tidak pernah bersikap seperti itu sebelumnya.     

"Hm, segera pulang dan pikirkan jawaban dari pertanyaan itu baik-baik," Maximus mencium pipinya sejenak sebelum mengambil dokumennya kembali.     

Aleandra beranjak dari atas pangkuan Maximus, dia juga menatap Maximus yang tampak cuek saja dengan tatapan heran. Ada apa dengan Max hari ini? Karena tidak mau mengganggu pekerjaan Maximus jadi Aleandra pamit pulang. Sebaiknya dia memikirkan jawaban dari teka teki yang diberikan oleh Maximus. Tapi apa? Sial, semoga saja dia bisa menjawabnya jika tidak dia tidak akan mendapatkan kejutan dan apa yang dia inginkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.