Hi's Like, Idiot But Psiko

Dari Mana Kita Akan Memulai?



Dari Mana Kita Akan Memulai?

0Rasa sakit di tangan Antonio semakin menjadi akibat tangannya yang di tebas oleh Maximus. Tidak ada yang mengobati tangannya, tangannya yang sudah terpotong hanya diberi perban. Tentunya hal itu semakin membuat keadaan tangannya memburuk.     

Air bercampur darah tidak berhenti menetes, dia bahkan bisa merasakan perban yang sudah menempel di daging. Bau amis dari lukanya tercium. Sudah beberapa hari berlalu sejak Marline datang, dan sampai sekarang belum ada yang datang lagi.     

Entah kapan mereka akan di eksekusi yang pasti mereka menunggu datangnya hari itu dengan was-was. Oliver tampak sudah tidak tahan, jika mereka memang akan mati maka dia berharap kematian cepat datang namun mereka ditinggalkan di tempat itu membuat mental mereka mulai terganggu. Jika mereka berada di sana lebih lama bisa-bisa mereka berempat menjadi gila akibat tekanan menakutkan yang ada di ruangan itu.     

Setiap hari mereka harus mendengar suara binatang-binatang yang mengerikan. Mereka juga harus menikmati makanan yang tidak tahu apa. Tidak itu saja, mereka harus merasakan takut saat malam hari karena lampu dimatikan sehingga mereka tidak bisa melihat satu sama lain. Jika mereka di tempat itu lebih lama lagi maka mereka akan menjadi gila.     

Dua orang anak buah Maximus masuk ke dalam ruangan dan menghampiri sebuah meja dan setelah itu mereka seperti menyiapkan sesuatu. Entah apa yang mereka lakukan tapi sepertinya beberapa benda tajam di letakkan di atas meja itu.     

"Hei, kalian! Kapan kami akan dilepaskan?" teriak Oliver. Sungguh dia sudah tidak tahan.     

"Hng, jangan bermimpi kalian akan lepas dari sini!" cibir salah satu anak buah Max.     

"Jika begitu sampai kapan kami akan disekap di tempat ini?!" teriak Oliver penuh emosi.     

"Tidak perlu khawatir, sebentar lagi kalian akan mendapatkan apa yang pantas kalian dapatkan!"     

"Jangan membual, segera lepaskan aku!" Oliver kembali berteriak dan berusaha menarik rantai namun kedua anak buah Maximus tidak mempedulikan teriakannya. Mereka menyiapkan apa yang harus mereka siapkan dan semua itu sudah harus siap saat bos mereka datang.     

Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Maximus, hari ini dia akan mendatangi Markas untuk menyapa para tawanannya. Maximus memang belum berangkat karena dia sedang menunggu ibunya datang yang akan menemani Aleandra.     

Dia tidak bisa meninggalkan Aleandra sendirian dalam keadaannya yang belum sembuh total dan sebelum dia pergi dan sebelum ibunya datang, Maximus membantu Aleandra mandi. Lukanya tentu tidak boleh terkena air namun Aleandra sudah tidak tahan karena dia belum mandi semenjak kejadian itu. Aleandra merasa tubuhnya sudah begitu lengket, selama ini tubuhnya hanya di lap dengan handuk basah sebab itu dia harus mandi.     

Maximus sedang menyiram punggungnya dengan air, Aleandra sangat senang karena dia bisa mandi tentu setelah berdebat begitu lama dengan Maximus. Lukanya sudah di tutup sehingga tidak akan terkena air. Max juga mengusap punggungnya untuk membersihkan busa sabun.     

"Apa kau akan langsung pergi nanti, Max?" tanya Aleandra.     

"Hm," jawab Maximus singkat.     

"Hei, jawaban macam apa itu?" protes Aleandra.     

"Kau ingin aku menjawab seperti apa,Aleandra?"     

"Seperti ini," Aleandra mendongak dan memberikan kecupan ringan di bibir Maximus.     

"Jangan memancing, Aleandra. Aku sedang menahan diri dan aku tidak mau menerkam orang sakit."     

Aleandra terkekeh, pantas saja Maximus diam saja sedari tadi. Memang saat itu dia tidak memakai sehelai benang pun, Max pasti menahan dirinya dengan susah payah.     

Setelah membersihkan busa sabun, sebuah handuk pun diambil. Max menggendong Aleandra keluar dari kamar mandi dan melakukan seperti apa yang biasa dia lakukan. Obat untuk luka Aleandra sudah berada di atas meja, Aleandra duduk di sisi ranjang setelah menggunakan pakaian dalam.     

Lukanya sudah hampir sembuh, itu karena Maximus rutin mengoleskan obat untuknya. Aleandra juga rutin meminum obat agar luka dibagian dalam cepat sembuh.     

"Bagaimana, apa masih sakit?" tanya Maximus saat mengoleskan obat di kedua lukanya.     

"Sedikit," jawab Aleandra.     

"Bagus, sepertinya sebentar lagi lukamu akan sembuh total."     

"Apa kau akan membawa aku kembali ke Rusia setelah kita menikah, Max?"     

"Jika kau mau, aku akan membawamu. Atau kau ingin kita pergi berbulan madu di sana?"     

"Tidak, aku tidak pernah bepergian jadi bawa aku ke tempat yang belum pernah aku datangi."     

"Sesuai dengan keinginanmu, Aleandra. Sudah selesai jadi pakai bajumu terlebih dahulu."     

Aleandra mengangguk dan tersenyum, Maximus melangkah pergi untuk mengambil pakaian Aleandra. Sekarang hubungan mereka sudah kembali seperti sedia kala bahkan hubungan mereka akan semakin erat. Setelah mendapatkan pakaian Aleandra, Max kembali mendekatinya dan membantunya memakai baju dan setelah itu Maximus mengajaknya untuk makan terlebih dahulu.     

Kini Aleandra menolak Maximus menggendongnya dan memilih berjalan sendiri. Maximus menuntun Aleandra, dia takut Aleandra tersandung sehingga lukanya yang sudah hampir sembuh terbuka lagi.     

Mereka menuju dapur di mana makanan sudah tersedia. Maximus juga belum sarapan sejak tadi karena dia sibuk memandikan Aleandra dan juga memijatkan kaki Aleandra karena kakinya terasa sakit begitu dia bangun tidur.     

Di luar sana, Marline sudah tiba. Michael tidak masuk bersama istrinya karena dia hendak pergi bersama dengan kakaknya. Marline masuk ke dalam sambil membawa sarapan yang dia buat. Terdengar suara di dapur jadi dia segera menuju dapur dan mendapati Maximus sedang sarapan bersama dengan Aleandra.     

"Wah, kebetulan. Mommy membawakan sarapan untuk kalian," ucapnya.     

"Selamat pagi, Aunty," Aleandra hendak beranjak namun Marline menahannya.     

"Sudah, duduk saja. Tidak perlu repot," ucap Marline.     

"Ke mana Daddy, Mom?" tanya Maximus karena dia tidak mendapati ayahnya.     

"Daddy bilang dia mau pergi dengan Uncle sebentar."     

"Jika begitu tolong temani Aleandra karena aku ingin pergi ke markas."     

"Tidak perlu khawatir, lakukan apa yang hendak kau lakukan. Berikan pelajaran yang setimpal untuk mereka!"     

"Kenapa Mommy terlihat lebih bersemangat dari pada aku?"     

"Tentu saja, hajar mereka sampai babak belur. Aku masih ingat sewaktu aku menarik wajah musuhku hingga terlepas!" ucap Marline dan wajah yang dia tarik waktu itu adalah wajah Bert yang menggunakan wajah Johan dan orang itu adalah ayah Oliver.     

Aleandra hampir tersedak makanan saat mendengarnya, apa pembicaraan mereka serius? Matanya bahkan melihat ke arah Marline yang sedang mengeluarkan makanan yang dia bawa. Apa ibu Maximus serius pernah merobek wajah seseorang? Sepertinya dia tidak boleh tertipu dengan tampangnya.     

"Beruntungnya orang yang menggunakan wajahku sudah mati karena jika tidak, aku akan menarik yang dia gunakan hingga terlepas!"     

"Hm!" Aleandra berdehem, kenapa mereka bisa membicarakan hal mengerikan itu di saat sedang makan?     

"Oh, ya ampun. Maafkan kami, Sayang. Kami lupa jika kau tidak terbiasa dengan hal seperti ini," ucap Marline. Aleandra pasti terkejut mendengar pembicaraan mereka.     

"Tidak apa-apa, Aunty. Tapi apa benar kau merobek wajah musuhmu begitu saja?" tanya Aleandra ingin tahu.     

"Oh akhirnya kita punya bahan pembicaraan yang bisa kita bahas. Bagaimana jika aku menceritakan apa yang aku alami dulu setelah kita selesai sarapan. Aku akan menyediakan kantung sampah nanti jika kau ingin muntah setelah mendengar apa yang telah aku lakukan."     

"Dengan senang hati, Aunty," ucap Aleandra sambil tersenyum.     

Maximus tersenyum melihat keakraban mereka, karena dia tidak pernah serius menjalin hubungan dengan wanita dan membawa satu wanita pun pulang jadi dia belum pernah melihat ibunya begitu dekat dengan kekasihnya.     

"Jika begitu aku harus pergi. Apa kau ingin berbaring, Aleandra?" tanya Maximus karena dia akan mengantar Aleandra ke dalam kamar jika Aleandra ingin berbaring.     

"Tidak, Max. Aku ingin berbincang dengan ibumu."     

"Tidak perlu khawatir, Max. Mommy akan menjaganya dengan baik jadi pergilah," ucap ibunya.     

"Baiklah," Maximus meneguk air putihnya sampai habis dan setelah itu dia beranjak mendekati Aleandra, "Aku pergi dulu," ucapnya seraya memberikan ciuman di dahi dan setelah mencium Aleandra, Max mendekati ibunya dan mencium pipinya, "Jaga dia baik-baik untukku, Mom," ucapnya.     

"Pasti," jawab ibunya.     

Maximus melangkah pergi, meninggalkan dua wanita yang sangat dia sayang dan dia cintai. Sekarang waktunya memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah menunggu kedatangannya tapi sesungguhnya mereka berempat tampak mulai merasa takut saat dua anak buah Maximus yang sedari tadi sibuk sudah selesai dan mendorong meja dan meninggalkan meja di dekat mereka.     

Mereka berempat tidak berani bersuara, mereka tahu hal buruk akan segera terjadi dengan mereka. Oliver bahkan menggigit kukunya, dia takut membayangkan apa yang akan mereka alami setelah ini.     

"Ba-Bagaimana ini, Austin?" tanyanya.     

"Entahlah, aku tidak tahu!" Austin mengusap wajah, dia juga terlihat frsutasi.     

"Untuk apa kalian takut sekarang?" cibir Antonio.     

"Diam kau, Antonio. Kau tidak tahu situasi apa yang sedang kau alami saat ini."     

"Cih, aku sudah menyiksa banyak orang bagaimana mungkin aku tidak tahu?"     

"Kau benar-benar meremehkan Maximus Smith, Antonio! kau lihat semua benda yang ada di sana? Semua itu bukan pajangan dan sebentar lagi kau akan mendapatkan siksaan dari alat-alat penyiksaan itu!" ucao Oliver.     

"Sekarang kau takut? Sewaktu kau mengajak aku bekerja sama, kenapa kau tidak takut sama sekali?" cibir Antonio lagi.     

"Itu karena aku percaya denganmu dan bodohnya aku begitu yakin kau bisa memberikan aku kemenangan dengan kemampuan yang kau miliki!" Oliver balik mencibir.     

"Apa kau mau tahu kenapa kita gagal? Kegagalan yang kita alami karena kegagalanmu dalam menyusun rencana. Kau terlalu banyak memainkan intrik sehingga kita justru dipermainkan oleh musuh."     

"Diam kau, Antonio!" teriak Oliver lantang.     

"Wah... Wah, bukankah kalian rekan? Kenapa sekarang saling menyalahkan?"     

Mereka terkejut, mata mereka melihat ke arah pintu di mana Maximus dan Jared masuk ke dalam ruangan. Ludah di teguk dengan kasar kala melihat pria itu melangkah mendekati mereka. Sial, rasa takut tiba-tiba memenuhi hati.     

"Apa kalian sudah selesai berdebat? Jika tidak aku akan menjadi penonton sebelum aku mengeksekusi kalian satu persatu!" Max duduk di sebuah kursi yang baru saja diletakkan oleh Jared. Kedua kaki di silangkan, mata menatap mereka dengan tajam.     

Tidak ada yang berani bersuara, nyali mereka tiba-tiba menjadi ciut. Tubuh Oliver gemetar karena takut, dia bahkan tidak berani melihat ke arah Maximus. Kenapa tiba-tiba saja dia merasakan takut seperti ini?     

"Sudah tidak mau berdebat lagi? Jika sudah tidak mau berdebat lagi maka dari mana kita akan memulai?" tanya Maximus. Seringai menghiasi wajahnya, dia suka melihat musuhnya ketakutan seperti itu karena semakin mereka takut semakin dia bersemangat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.