Hi's Like, Idiot But Psiko

Rasa Takut Aleandra



Rasa Takut Aleandra

0Hari itu, hari ketiga Aleandra bekerja tapi hari ketiga terasa berbeda baginya. Aleandra sudah selesai membuat sarapan tapi dia termenung di meja makan sambil bertanya dalam hati. Now what?     

Biasanya dia akan membangunkan bosnya lalu membantunya mandi tapi itu dua hari yang lalu saat bosnya berpura-pura cacat tapi sekarang? Ternyata orang yang dia layani normal. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Dia sudah melihat isi kontrak, mungkin ada poin yang mengatakan apa yang harus dia lakukan jika bosnya sudah kembali normal tapi sayangnya tidak ada. Hal itulah yang membuat Aleandra kebingungan karena dia tidak tahu apakah dia harus membangunkan Max seperti biasa yang dia lakukan atau tidak.     

Sambil memikirkan apa yang harus dia lakukan, Aleandra melepaskan plester di tangannya untuk melihat kukunya yang lepas. Aleandra meringis, perih, itu yang dia rasakan. Itu baru kuku yang terlepas, bagaimana jika sampai Max mengiris dagingnya tipis-tipis seperti yang dia ucapkan?     

Aleandra menelan ludah, rasanya jadi merinding. Semoga saja tidak terjadi dan untuk menghindari hal itu sebaiknya dia bekerja seperti biasanya. Anggap saja tidak pernah terjadi apa pun di antara mereka. Dia akan melupakan apa yang telah terjadi walau dia hampir mati tapi mengingat kesalahan yang dia lakukan, dia memang pantas menerima kemarahan dari Max.     

Plester di ganti dan setelah itu, Aleandra bergegas menuju kamar bosnya untuk melakukan tugasnya. Tidak masalah dia harus membantu pria itu mandi, toh dia sudah melihatnya tapi bedanya sekarang posisinya berdiri. Itu semakin baik dan obat untuk matanya. Kapan lagi dia bisa melihat tubuh pria tampan walau pria itu psiko?     

Aleandra sudah berdiri di depan pintu, entah kenapa jantungnya jadi berdebar. Walau dia sudah siap tapi dia berharap tidak ada adegan mandi memandikan lagi. Bagaimanapun dia akan semakin canggung karena suasanya sudah berbeda.     

Pintu diketuk, Aleandra jadi tidak berani masuk. Lebih baik dia berada di luar agar lebih aman, jujur saja dia takut dengan Maximus Smith. Dia juga takut lehernya dicekik lagi karena lehernya masih sakit bahkan lehernya membiru akibat bekas cekikan yang Max berikan.     

"Sir," Aleandra memanggil sambil mengetuk pintu. Dia harap Max segera bangun agar dia tidak berdiri terlalu lama di depan pintu tapi hening yang dia dapatkan.     

Apa Max tidak bisa mendengar panggilannya karena dia tidur di dalam kotak itu? Sebaiknya dia memanggil lagi dan dia harap kali ini Max mendengar panggilannya.     

"Sir, sarapannya sudah siap," Kali ini Aleandra mengetuk lebih kencang agar Max mendengar.     

Max diam saja, dia sudah bangun sejak tadi. Kenapa gadis itu tidak masuk ke dalam kamar? Apa dia takut? Itu bagus, setidaknya dia masih memiliki rasa takut dan memang itulah yang harus ditunjukkan oleh seorang tawanan. Max beranjak dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu, Aleandra menempelkan telinganya di daun pintu, dia sedang mencuri dengar tanpa sadar jika Max sedang melangkah menuju pintu.     

Aleandra mengumpat, sial. Sepertinya kamar itu kedap suara. Dia tidak bisa mendengar apa pun sama sekali, sungguh rumah orang kaya sangat berbeda. Pertama pintu yang tidak bisa dibuka dan sekarang kamar yang kedap suara. Apa kamar itu memang sengaja dibuat seperti itu agar tidak ada yang bisa mendengar kegiatan yang dilakukan di dalam sana?     

Aleandra masih mencoba mencuri dengar tapi tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Aleandra berteriak, dia bahkan hampir terjatuh tapi beruntungnya dia masih bisa menahan tubuhnya.     

Max melotot dengan ekspresi wajah tidak senang. Apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu? Aleandra salah tingkah dan memaki dalam hati. Dia benar-benar ceroboh, dia bahkan tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap Maximus.     

"So-Sorry, Sir," Ucap Aleandra gugup.     

"Apa yang kau lakukan?" tanya Max dengan dingin.     

"A-Aku kira kau belum bangun," Aleandra melangkah mundur dengan perasaan takut. Tubuhnya bahkan gemetar, semoga saja lehernya tidak dicekik lagi.     

Max tidak berkata apa-apa, dia bisa melihat ketakutan yang dirasakan oleh Aleandra. Gadis itu memang harus bereaksi seperti itu, setidaknya dia tidak berpura-pura berani sehingga membuatnya muak. Aleandra masih menunduk, sungguh, dia tidak berani mengangkat wajahnya. Dia terkejut saat mendengar suara pintu di tutup dengan kasar karena Max sudah masuk ke dalam.     

Aleandra bernapas lega dan mengelus dadanya, dia bagaikan sedang berdiri di hadapan raja neraka. Kakinya bahkan terasa gemetar begitu juga dengan tangannya. Entah sampai kapan dia akan merasa takut seperti itu tapi dia tidak akan bisa mengambil simpati bosnya jika dia terus merasa takut.     

Setidaknya pagi ini dia tidak perlu melihat sosis Amerika super jumbo apalagi dia sudah membayangkan harus membantu bosnya mandi dalam keadaan berdiri. Duduk jauh lebih baik, sungguh. Aleandra masuk ke dalam kamar, dia harus menyiapkan pakaian yang akan Max kenakan dan merapikan tempat tidur.     

Max tidak ada di dalam karena dia berada di kamar mandi. Tentu hal itu semakin membuatnya lega, Aleandra melakukan pekerjaan dengan cepat agar dia bisa keluar dari kamar itu tapi dia terkejut saat Max keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan sebuah handuk melilit di pinggang.     

Aleandra menunduk, sebaiknya dia keluar karena dia takut berduaan bersama pria aneh itu. Max melihatnya sekilas dan setelah itu dia melangkah menuju lemari.     

"Aku belum membuat perhitungan denganmu karena kau sudah membongkar isi lemariku!"     

Aleandra terkejut, kenapa bosnya bisa tahu? Dia tidak berani menjawab dan hanya bisa menunduk saja.     

"Lain kali ingat hal ini baik-baik, jika kau berani membongkar isi lemariku maka aku tidak akan segan memotong kedua tanganmu! Aku tidak peduli kau punya tangan atau tidak yang pasti kau harus tetap bekerja dengan kondisi apa pun jadi jangan mengulangi hal yang sama jika tidak mau tanganmu aku potong," ancam Max.     

"A-Aku minta maaf, Sir," Aleandra semakin takut, dia tahu pria itu serius dengan apa yang dia ucapkan. Jantung Aleandra berdegup saat mendengar langkah kaki Max yang mendekat, apa dia melakukan kesalahan yang lainnya? Karena rasa takut luar biasa yang dia rasakan, Aleandra berbalik karena dia ingin minta maaf.     

"Aku minta maaf untuk semua yang aku lakukan, aku tahu aku salah. Kau sudah bermurah hati memberikan aku kesempatan, aku sangat berterima kasih tapi jika kau ingin membunuh aku, bunuh aku dengan satu tembakan dan jangan siksa aku," pinta Aleandra.     

Max tersenyum sinis, gadis bodoh. Apa dia terlihat ingin membunuhnya saat ini? Walau dia sudah tidak berminat tapi bukan berarti dia tidak bisa membunuh gadis itu.     

"Jangan harap aku akan membunuhmu dengan mudah! Jika kau tidak ingin hal itu terjadi, sebaiknya bekerja dengan baik dan ini?" Max melemparkan sesuatu sehingga Aleandra terkejut dan menangkap benda yang Max lemparkan. Aleandra tampak tidak mengerti melihat kartu yang diberikan oleh bosnya, untuk apa kartu itu?     

"Pergi beli beberapa baju, jangan membuat aku malu dengan penampilanmu yang lusuh!" ucap Max seraya melangkah pergi.     

Aleandra masih tidak mengerti, matanya menatap kartu yang ada di tangan dan setelah itu dia memandang ke arah Max.     

"Ta-Tapi, Sir?" dia tampak ragu.     

"Jangan sampai aku mengulangi ucapanku untuk kedua kalinya, Amy. Kau tidak tuli, bukan?" ucap Max seraya meliriknya dari balik bahu.     

"Te-Tentu tidak, terima kasih," setelah berkata demikin Aleandra keluar dari kamar. Aneh, pria itu sungguh sulit ditebak. Dia hanya pelayan, lalu untuk apa memberikannya uang untuk membeli pakaian? Tapi mungkin saja Max malu karena penampilannya. Sebaiknya dia tidak menyia-nyiakan kebaikan yang diberikan oleh bosnya karena dia rasa kebaikan seperti itu tidak akan terulang kembali tapi sesungguhnya itu hanya kebaikan kecil yang ditunjukkan oleh Max dan memang dia tidak suka melihat penampilan Aleandra yang lusuh.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.