Hi's Like, Idiot But Psiko

Keputusan Aleandra



Keputusan Aleandra

0Saat Max kembali, Aleandra sedang sibuk membuat makanan di dapur. Bahan makanan sudah hampir habis, sepertinya dia harus memberitahu bosnya. Jangan sampai dia tidak bisa membuat makanan nantinya sehingga membuat bosnya marah. Seharusnya dia membeli bahan makan tadi tapi dia tidak berani karena tidak ada perintah.     

Max menghentikan langkahnya sejenak, matanya melihat ke arah Aleandra dan setelah itu Max melihat ponsel yang dia bawa. Nanti saja memberikannya, lebih baik dia pergi mandi terlebih dahulu. Max masuk ke dalam kamar, sedangkan Aleandra masih sibuk sendiri sambil memikirkan tawaran yang diberikan oleh Oliver.     

Rumah mewah itu bagaikan penjara baginya, bahkan dia tidak bisa bergerak karena setiap sudut ruangan terdapat cctv. Kamar mandi, itu tempat spesialnya untuk menumpahkan kesedihan karena di sana tidak akan ada yang melihat apa yang dia lakukan. Pilihan ada pada dirinya sendiri saat ini, apa dia harus menerima tawaran Oliver atau dia harus berusaha mencari simpati Maximus agar pria itu mau membantunya. Cara instan atau sulit, dua pilihan itu yang harus dia pilih dengan benar.     

Beberapa hidangan sudah jadi dan terhidang di atas meja. Aleandra melanjutkan membuat hidangan terakhir, dia tidak sadar jika Max sudah berada di sana dan menatap ke arahnya sambil bersedekap dada.     

Aleandra terperanjat saat melihat pria itu, beruntungnya sup yang dia bawa tidak jatuh dari tangan karena itu sangat berbahaya.     

"Kenapa? Apa kau melihat hantu?" Max berjalan mendekat dan duduk di meja makan.     

"Sorry, Sir. Aku hanya terkejut saja," Aleandra menunduk setelah meletakkan sup yang dia bawa.     

Max melihatnya dari atas sampai ke bawah, seleranya tidak buruk. Setidaknya gadis itu tidak terlihat lusuh lagi dan tidak mempermalukan dirinya.     

Aleandra berlalu pergi untuk mengambil air dan setelah meletakkan air putih ke atas meja, Aleandra hendak keluar sesuai perintah.     

"Nanti, ada yang hendak aku bicarakan padamu!" ucap Max.     

"Yes, Sir," jawab Aleandra dan setelah itu dia melangkah keluar.     

Aleandra masuk ke dalam kamarnya, dia tampak termenung dan tawaran yang diberikan oleh Oliver kembali teringat. Sungguh dia belum bisa mengambil keputusan untuk tawaran yang menggiurkan itu. Ibaratnya ada uang banyak di depan mata, apa dia harus ragu untuk mengambilnya? Jika dia ragu, bukankah uang itu akan menjadi milik orang lain? Seperti itulah yang sedang dia alami saat ini, tapi sebaiknya dia mencoba meminta bantuan pada Max terlebih dahulu karena tidak ada salahnya mencoba sebelum dia mengambil keputusan. Jika pria itu tidak mau, maka dia akan mempertimbangkan tawaran dari Oliver.     

Cukup lama Aleandra berada di dalam kamar, saat dia keluar Max sudah selesai. Aleandra merapikan meja makan dan setelah itu dia keluar dari dari dapur dan menghampiri Max yang berada di ruang keluarga sambil menonton televisi.     

"Apa yang hendak anda bicarakan, Sir?" tanya Aleandra, dia berdiri agak jauh karena dia takut.     

"Berikan ponselmu," pinta Max.     

"What?" Aleandra tampak tidak mengerti.     

"Aku tidak suka mengulangi ucapanku, harus berapa kali aku mengatakan hal ini padamu!" Max menatap tajam ke arahnya Aleandra, sedangkan gadis itu sedikit memundurkan langkahnya karena takut.     

"A-Aku akan mengambilnya," ucap Aleandra. Walau dia tidak mengerti tapi dia tetap mengambil ponselnya dan memberikan benda itu pada Max.     

Mata Aleandra tidak lepas dari Max saat pria itu melihat ponsel jeleknya. Max melihat benda itu lalu menatap Aleandra sambil tersenyum sinis. Aleandra terkejut saat Max mematahkan ponselnya dan melemparkan benda itu ke atas meja. Apa yang sedang di lakukan oleh pria aneh itu?     

"Ke-kenapa kau merusak ponselku, Sir?" tanya Aleandra.     

"Hanya ponsel jelek, tidak perlu ribut!" setelah berkata demikian, Max mengambil sesuatu dan melemparkan ke arah Aleandra.     

Aleandra terkejut dan menangkap benda yang dilemparkan oleh bosnya. Sebuah kardus sudah berada di tangan, Aleandra terlihat tidak mengerti karena saat itu yang ada di tangannya adalah kardus ponsel super mahal. Jangan katakan bosnya sedang mengerjainya saat ini.     

"Apa maksudnya ini, Sir?" tanya Aleandra.     

"Ponsel, apa kau tidak bisa melihatnya?"     

"Aku tahu ini ponsel, tapi apa maksudnya?" tanya Aleandra. Jujur saja, dia tidak mengerti sama sekali dengan maksud bosnya.     

"Ponsel itu untukmu agar aku bisa menghubungimu dengan mudah. Nomor ponselku sudah ada di sana, kau juga bisa menghubungiku jika terjadi sesuatu di rumah," ucap Max. Ponsel itu sudah dia modifikasi sehingga dia bisa tahu siapa saja yang dihubungi oleh Aleandra. Dia juga akan tahu setiap pesan yang masuk dan terkirim karena ponsel itu sudah terhubung dengan ponsel miliknya dan tentunya Aleandra tidak tahu.     

"Tapi ponsel ini mahal, untuk apa anda membelikan aku ponsel mahal seperti ini," ucap Aleandra.     

"Memang, tapi jangan terlalu percaya diri. Kau tetap harus membayarnya bersama dengan uang yang sudah kau gunakan untuk membeli pakaian!"     

"Hah?" mulut Aleandra menganga. Apa dia tidak salah dengar? Dia sudah curiga jika uang yang dia gunakan untuk membeli baju akan menjadi hutang dan dia tidak keberatan tapi ponsel itu? kenapa rasanya dia di jebak agar hutangnya semakin banyak?     

"Kenapa? Apa kau mau protes?" tanya Max.     

"Ti-Tidak, Sir," Aleandra menunduk. Mana mungkin dia berani protes?     

"Bagus, apa ada yang ingin kau sampaikan?"     

"Hm, bahan makanan sudah mau habis," jawab Aleandra, dia juga melangkah mendekati Max seraya memberikan kartu yang Max berikan, "Ini kartu anda, Sir. Terima kasih sudah berbaik hati padaku," ucapnya lagi.     

"Simpan kartu itu dan gunakan untuk membeli bahan makanan. Kau bisa pergi membelinya besok, seseorang akan mengantarmu!"     

"Baik," jawab Aleandra, sepertinya pembicaraan mereka sudah selesai apalagi Max juga sudah beranjak dan hendak pergi.     

"Ingat ini baik-baik, Amy. Aku berbaik hati mengijinkanmu keluar bukan berarti aku tidak tahu apa yang kau lakukan di luar sana jadi jangan coba-coba mengkhianati aku dan menodai kepercayaanku padamu. Satu kali saja aku tahu kau berkhianat, aku tidak segan dan jangan harap aku bermurah hati lagi padamu," ucap Max seraya melangkah pergi.     

"Sir," Aleandra ingin menahannya karena dia ingin mencoba meminta bantuan Max tapi niatnya terhenti karena dia ragu.     

"Ada yang lain?" tanya Max seraya meliriknya.     

"Tidak, terima kasih," ucap Aleandra sambil tersenyum dengan manis. Max diam, baru kali ini gadis itu tersenyum seperti itu. Max berdehem dan berjalan pergi, sedangkan Aleandra melihat ponsel di tangannya.     

Sewaktu dia masih bekerja dulu dia tidak mampu membeli ponsel semahal itu dan sekarang, dia jadi harus berhutang karena ponsel itu. Aleandra masuk ke dalam kamar. Ponsel diletakkan di sisi ranjang dan dia kembali berpikir dengan keras.     

Melihat sikap Max mungkin saja dia bersedia membantunya membalas dendam, jika Max bersedia maka dia akan mengabaikan tawaran yang diberikan oleh Oliver tapi jujur saja, pria aneh itu sulit ditebak. Bagaimana jika pria itu menolak? Bagaimana jika Max justru menyerahkan dirinya kepada para penjahat yang mengejarnya selama ini setelah dia tahu jika saat ini dia sedang melarikan diri dari para penjahat itu? Tidak ada yang tidak mungkin dan bisa saja hal itu terjadi.     

Ragu dan bimbang memenuhi hati Aleandra. Entah apa yang harus dia lakukan, entah keputusan apa yang harus dia ambil dia sendiri tidak tahu. Dia masih tampak temenung sampai akhirnya sebuah keputusan dia ambil. Walau dia tahu sangat berisiko tapi harus dia lakukan agar dia bisa membalas kematian keluarganya. Duduk diam bukanlah solusi jadi dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.