Hi's Like, Idiot But Psiko

Kecewa



Kecewa

0Aleandra keluar dari kamar setelah mengutarakan niatnya. Rasa kecewa dia rasakan karena Max menolak untuk membantunya. Seharusnya dia tidak memberikan penawaran seperti itu tapi dia memang tidak memiliki penawaran lainnya.     

Sekarang hanya rasa malu yang tersisa, dia bahkan tidak tahu harus berekspresi seperti apa aat bertemu dengan Max nanti. Jika ada lubang semut, dia lebih senang masuk ke dalam dan bersembunyi di sana.     

Aleandra melangkah menuju dapur dengan air mata yang mengalir. Pupus sudah harapannya, seharusnya dia tahu hal ini akan terjadi tapi tetap saja, rasa kecewa memenuhi dada dan menyesakkan.     

Gelas kopi diambil, dia belum menyiapkan kopi hitam kesukaan Max. Sebaiknya dia tidak terlihat begitu rapuh di hadapan pria itu, bukankah dia masih memiliki pilihan lain? Jangan salahkan dia mengkhianati pria itu, dia sudah berusaha tapi psikopat tetaplah psikopat. Orang seperti itu memang tidak memiliki perasaan dan dia tahu akan hal itu.     

Max masih berada di dalam kamar, dia terlihat berpikir. Dia benar-benar tidak tertarik dengan tawaran yang diberikan oleh Aleandra apalagi dia bukan orang yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Dia tidak ingin terlibat dengan permasalahan orang lain tapi permohonan gadis itu telah mengusik hatinya.     

Tidak seharusnya dia peduli, tidak. Bukankah dia menginginkan kematian gadis itu? Sejak awal dia memang ingin membunuh gadis itu, dia bisa menyerahkan Aleandra pada orang-orang yang mengejarnya tapi kenapa dia jadi tidak tega? Tidak, sepertinya ada yang salah pada dirinya.     

Max mengusap wajahnya dengan kasar, sial. Gadis itu sudah mengusik hidupnya yang tenang dan dia tidak suka. Tidak ingin memikirkan hal itu, Max keluar dari kamarnya. Dia melangkah menuju dapur tapi langkahnya terhenti saat melihat Aleandra mengaduk kopi sambil mengusap air matanya sesekali.     

Max menghentikan niatnya, dia bahkan berdiri di belakang dinding. Sepertinya kurang tepat muncul di saat seperti itu. Dia juga ingin melihat mau sampai kapan gadis itu menangis di sana.     

Aleandra tidak menyadari kehadirannya, dia masih menangis sambil mengaduk kopi dengan perasaan kacau. Dia bahkan tidak bersemangat sama sekali, perasaan kecewa dan malu campur aduk di dalam hati. Aleandra menghapus air matanya, menangis seperti itu pun tidak bisa mengubah apa pun.     

Sebaiknya dia melakukan pekerjaannya yang lain. Jika dia ingin menyetujui tawaran Oliver maka dia tidak boleh membuat Max mengusirnya keluar atau kehilangan kepercayaan pria itu. Aleandra meletakkan sendok, gelas kopi pun diangkat dan dibawa ke meja makan. Langkah Aleandra terhenti saat melihat Max bersandar di dinding sambil menatapnya tajam. Dia sudah bosan bersembunyi di dinding.     

"Apa masih tidak puas menangisnya? Apa kau pikir menangis bisa mengubah segalanya?"     

"Tidak," jawab Aleandra seraya menghapus air matanya.     

"Jika begitu berhentilah menangis!" bentak Max kesal.     

"Maaf," ucap Aleandra sambil menunduk.     

"Ck, aku menolak tawaran yang kau berikan bukan berarti aku menolak untuk membantumu!" ucap Max kesal. Sungguh dia tidak mau terlibat tapi gadis itu, sudah membuat perasaannya tidak nyaman.     

"Maksudmu?" Aleandra mengangkat wajah dan menghapus air matanya.     

"Apa kau mau menghinaku dengan tawaran yang kau berikan?" tanya Max.     

"Tidak, aku tidak punya apa pun selain hal itu saja," wajahnya memerah, jujur dia malu.     

"Lain kali jangan menawarkan hal bodoh seperti itu, aku bukan pria hidung belang dan bukan bajingan! Jika kau bekerja dengan baik mungkin aku akan mempertimbangkan mau membantumu atau tidak!"     

"Benarkah?" ekspresi wajah Aleandra berubah dan terlihat sedikit berseri.     

"Jika kau bekerja dengan benar dan tidak mengkhianati aku maka akan aku pertimbangkan. Mencari orang yang mengejarmu dan menghabisi mereka bukanlah hal sulit bagiku tapi semua itu tergantung dirimu," ucap Max.     

"Aku tidak akan mengkhianatimu, jika kau bersedia membantuku maka aku bersedia bekerja di sini untuk seumur hidupku tanpa kau gaji sekalipun. Lagi pula hidupku sudah tidak berarti lagi sejak malam itu. Seharusnya aku sudah mati dan sekarang, tujuanku hanya untuk balas dendam dan setelah dendamku terbalas, aku tidak peduli dengan apa pun lagi bahkan jika kau ingin mengambil nyawaku kau bisa mengambilnya kapan pun kau mau," ucap Aleandra. Setidaknya ada harapan, dia yakin jika hanya pria itu saja yang bisa membantunya balas dendam.     

"Apa kau yakin dengan ucapanmu, Aleandra? Setiap perkataan yang kau ucapkan sudah tidak bisa ditarik lagi, kau harus tahu itu!"     

"Aku tidak akan mengikari apa yang aku ucapkan, aku bersumpah padamu. Lagi pula tujuanku bertahan hidup hanya untuk balas dendam dan jika kau bersedia membantu aku, maka hidupku jadi milikmu."     

Aleandra mengatakannya tanpa keraguan, bahkan tidak ada keraguan di dalam tatapan matanya saat mengatakan hal itu. Dia sudah lelah berlari dan bersembunyi, semua yang dia miliki juga sudah tidak ada lagi dan tidak bisa kembali lagi jadi dia tidak mengharapkan apa pun selain bisa membalas kematian keluarganya.     

Max menatap gadis itu dengan tajam, memang tidak ada keraguan dalam perkataannya tapi dia tidak suka mendengar perkataannya yang begitu pasrah seolah-olah tidak ada harapan apa pun lagi dalam hidupnya.     

"Aku tidak tertarik pada orang yang putus asa. Bahkan menjadi umpan binatang peliharaanku pun tidak pantas. Jika kau begitu putus asa ...," Max menghentikan ucapannya dan melangkah menuju perkakas dapur di mana beberapa pisau berada di sana.     

"Bunuh diri di depan mataku maka aku akan membantumu!" ucapnya seraya melemparkan pisau yang dia ambil di bawah kaki Aleandra.     

"Apa?" Aleandra tampak tidak mengerti.     

"Aku bersedia membantumu jadi hidupmu sudah jadi milikku dan sekarang, aku ingin kau bunuh diri di depan mataku!" perintah Max.     

"Ta-Tapi?" Aleandra semakin ragu.     

"Lakukan!" teriak Max lantang.     

"Bukankah kau bilang kau sudah tidak peduli dengan apa pun lagi? Bukankah kau berkata aku bisa mengambil nyawamu kapan pun aku inginkan jika aku bersedia membantumu? Aku bersedia jadi sekarang aku ingin kau bunuh diri di depan mataku!" ucap Max seraya menatapnya tajam.     

Aleandra tidak bergeming, dia bahkan tidak berani menatap Max. Dia memang tidak peduli dengan apa pun tapi kenapa pria itu memintanya untuk bunuh diri?     

"Kenapa kau diam? Mana semangatmu tadi?"     

"A-Aku?" Aleandra tidak bisa melanjutkan ucapannya.     

"Lain kali jangan asal bicara jika kau tidak berani melakukannya!" setelah berkata demikian, Max berlalu pergi, dia bahkan tidak menyentuh sarapan yang Aleandra siapkan. Dia paling tidak suka dengan wanita lemah yang begitu cepat menyerah, seharusnya Aleandra menunjukkan semangatnya untuk balas dendam tapi apa? Gadis itu begitu pasrah dan dia begitu kecewa.     

Aleandra duduk di atas lantai saat suara pintu terdengar dibanting dengan kasar. Matanya melihat ke arah pisau, air matanya pun mengalir begitu saja. Bukan seperti itu maksudnya, bukan. Dia tidak berniat bunuh diri, dia berkata demikian agar Max mau membantunya tapi pria itu salah paham dengan apa yang dia ucapkan.     

Dia bersedia mati bukan berarti dia mau bunuh diri, dia benar-benar tidak bermaksud memiliki tujuan itu tapi yang membuat Max kesal tidak saja karena perkataannya tapi dia marah karena Aleandra menyerah padahal dia sedang meminta bantuan.     

Seharusnya Aleandra bersemangat dan menunjukkan jika dia benar-benar ingin balas dendam apalagi setelah melewati banyak hal tapi yang dia tunjukkan benar-benar membuatnya kesal dan dia kecewa dengannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.