Hi's Like, Idiot But Psiko

Karena Dia Peduli Padamu



Karena Dia Peduli Padamu

0Hari sudah berganti, Aleandra belum juga sadar itu karena keadaannya yang kritis. Sekantong darah tergantung di sisinya, karena banyaknya darah yang hilang membuatnya membutuhkan banyak darah.     

Operasi untuk mengeluarkan peluru dia jalani, walau peluru yang ada di lengan sudah dia keluarkan sendiri tapi lukanya harus di jahit dan di sterilkan agar tidak infeksi.     

Operasi untuk mengeluarkan peluru dibagian perutnya memakan waktu berjam-jam. Walau dia mendapat luka begitu dalam, dokter yang menangani salut karena dia masih bisa bertahan. Itu karena obat yang dia berikan di lukanya. Karena Aleandra pecinta panjat tebing jadi Aleandra banyak belajar bagaimana caranya menangani cidera yang akan di dapat tanpa terduga saat dia sedang melakukan panjat tebing. Tidak hanya itu, dia juga banyak belajar di lokasi syuting.     

Keadaannya yang buruk membuatnya hampir gagal jantung beberapa kali, para medis berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan gadis itu. Usaha mereka tidak sia-sia, mereka berhasil menyelamatkan gadis itu. Aleandra sudah melewati masa kritisnya, walau dia masih belum sadarkan diri. Dia bahkan belum tahu jika Max yang telah menolongnya.     

Seorang perawat masuk ke dalam ruangan, dia ingin memeriksa keadaan Aleandra. Max terbangun saat mendengar pintu terbuka, dia terkejut mendapati dirinya tidur di rumah sakit. Apa dia sudah gila?     

Max melangkah menuju kamar mandi, dia berada di sana cukup lama. Max bahkan melihat dirinya di depan cermin dan mengumpat. Apa dia berada di sana karena mengkhawatirkan keadaan gadis itu?     

Setelah mencuci wajah, Max keluar. Perawat tadi masih sibuk memeriksa keadaan Aleandra. Max menghampirinya dan berdiri di sisi Aleandra, matanya tidak lepas dari sosok gadis yang terbaring tidak berdaya.     

"Kenapa dia masih tidak sadarkan diri?" tanya Max.     

"Keadaannya sangat buruk saat dibawa kemari, dia juga kehilangan banyak darah bahkan dia hampir gagal jantung beberapa kali jadi wajar dia belum sadarkan diri," jawab si perawat.     

"Dia tidak akan mengalami koma, bukan?" tanya Max lagi.     

"Tentu saja tidak, tidak perlu khawatir. Walau di tubuhnya terdapat banyak memar tapi kepalanya tidak terbentur."     

"Baiklah," Max beranjak pergi menuju sofa. Dia akan berada di sana untuk sebentar dan jika Aleandra belum juga sadar maka dia akan pergi.     

Max menghubungi Jared, dia memberi perintah kepada Jared untuk membawakan sarapan untuknya dan tentunya membawakan pakaian bersih karena dia ingin pergi ke kantor.     

Perawat yang memeriksa Aleandra sudah keluar, Max beranjak dan kembali mendekati Aleandra. Dia diam, matanya tidak lepas dari wajah gadis itu dan entah karena apa, Max menyentil dahi Aleandra dengan keras. Mungkin saja gadis itu akan sadar karena sentilan yang dia berikan tapi sayangnya tidak.     

Max kembali mengangkat tangannya, satu kali lagi. Entah kenapa dia sangat ingin melakukannya, mungkin kali ini gadis itu akan sadar jika tidak akan dia sentil lagi dan lagi sampai dia sadar.     

"Hm ... jangan menyiksa orang sakit, Max!" terdengar suara ibunya.     

Max terkejut, niatnya pun terhenti. Max berpaling, dia tidak tahu ayah dan ibunya masuk ke dalam.     

"Boy, apa yang mau kau lakukan?" tanya ayahnya.     

"Membangunkannya, Dad!" jawab Max seraya beranjak pergi.     

"Membangunkan seorang gadis dengan sebuah ciuman Max, bukan sentilan," ucap ayahnya lagi.     

Max tidak menjawab, sedangkan kedua orangtuanya tersenyum dan mengikuti langkahnya menuju sofa.     

"Bukankah sudah aku katakan jika Mommy tidak perlu datang?"     

"Aku hanya ingin melihat keadaannya dan membawakan sarapan untukmu," Marline meletakkan sarapan yang dia bawa ke atas meja. Jujur dia tidak bisa tidur lagi setelah putranya pergi, itu karena dia mengkhawatirkan keadaan Aleandra.     

"Mommy tidak perlu repot, aku sudah meminta Jared membawakannya."     

"Tidak apa-apa, Daddy mau ke pabrik jadi Mommy sekalian ikut."     

Max melirik ke arah ibunya, jika dia meminta ibunya untuk menjaga Aleandra apakah ibunya mau? Dia harus pergi ke kantor saat Jared sudah tiba membawakan pakaiannya.     

"Kenapa kau melirik Mommy seperti itu?" tanya ibunya.     

"Tidak ada apa-apa. Apa hari ini Mommy sibuk?" tanya Max.     

"Tidak, Mommy tidak pergi ke mana-mana. Ada apa? Apa kau ingin meminta Mommy menemani gadis itu?" tebak ibunya.     

"Hm, yeah!" jawab Max singkat.     

Marline tersenyum, dia tidak menduga putranya akan mengkhawatirkan keadaan gadis itu sampai seperti itu. Tapi ini bagus, dia senang putranya mengkhawatirkan keadaan gadis itu.     

"Aku harus menghadiri rapat jadi aku tidak bisa berada di sini terlalu lama jadi jika Mommy tidak pergi ke mana pun, tolong jaga dia sebentar," pinta Max.     

"Dengan senang hati, Sayang. Mommy akan menjaganya sampai kau kembali."     

Max tidak berkata apa-apa lagi, dia menikmati sarapan yang dibawakan oleh ibunya. Marline beranjak karena dia ingin melihat keadaan Aleandra, sedangkan Michael dan putranya berbincang membahas pekerjaan.     

Marline berdiri di sisi Aleandra, dia jadi iba melihat keadaan gadis itu. Sepertinya keadaan mereka tidak jauh berbeda, dulu dia juga harus menyaksikan orang-orang yang dia kasihi dibantai walau dia tidak sampai harus melarikan diri ke negara asing. Dia harap Max bersikap lembut pada gadis itu saat dia sudah sadar nanti, melihat Aleandra benar-benar seperti melihat dirinya dulu.     

Saat itu, Jared sudah datang membawa pakaian dan sarapan yang diinginkan bosnya. Karena Max sudah sarapan jadi dia langsung mengajak Jared pergi ke kantor setelah bertukar pakaian. Michael juga pergi ke pabrik, tinggal Marline seorang diri berada di ruang rawat inap itu.     

Suasana hening, Marline hampir tertidur. Sebaiknya dia keluar sebentar untuk membeli segelas kopi, dia akan segera kembali setelah mendapatkannya. Marline keluar dari ruangan, meninggalkan Aleandra seorang diri.     

Tidak lama kepergian Marline, Aleandra tersadar dan merasakan sakit luar biasa diseluruh tubuhnya karena pengaruh obat bius sudah habis. Aleandra meringis, matanya melihat sana sini. Apa dia sudah mati? Dia sangat berharap demikian tapi jika dia sudah mati, kenapa dia masih bisa merasakan sakit?     

Dia kembali melihat sekelilingnya, ternyata dia berada di rumah sakit. Aneh, siapa yang menolongnya? Dia sangat ingat jika dia jatuh ke dasar lembah, apa dia sudah tertangkap atau ada pemburu yang menemukan dirinya? Dia pikir dia mati saat itu tapi ternyata tidak. Aleandra tertawa dengan pilu tapi tawa itu bercampur tangis putus asa. Tuhan benar-benar sangat menyayanginya, benar-benar menyayanginya. Dia sudah babak belur seperti itu pun Tuhan masih tidak mengijinkan dirinya untuk mati. Apa dia harus senang atas kejadian ini atau dia harus sedih?     

Aleandra masih menangis dengan pilu, tangisannya terhenti ketika pintu terbuka. Aleandra melihat ke arah pintu dan tampak tidak mengerti melihat wajah yang tidak asing baginya. Marline terkejut melihatnya sudah sadar, dia segera menghampiri Aleandra dengan terburu-buru.     

"Kau sudah sadar rupanya, apa kau baik-baik saja?" tanya Marline dengan nada khawatir.     

"Kau?" Aleandra melihatnya dari atas sampai ke bawah. Bukankah wanita itu yang datang ke rumah Max beberapa hari yang lalu?     

"Tidak perlu takut, aku ibu Max. Dia sedang pergi dan meminta aku menjagamu sampai dia kembali."     

"Max," Aleandra semakin tidak mengerti. Jangan katakan jika pria aneh itu yang menolongnya dan membawanya keluar dari hutan.     

"Benar, putraku yang telah menolongmu dan membawamu ke sini. Bagaimana perasaanmu, aku akan memanggil dokter jika kau merasa kurang baik."     

"Tidak, terima kasih," ucap Aleandra.     

Matanya menatap langit kamar, dia benar-benar tidak menduga ternyata suara yang dia dengar dari dasar lembah adalah suara Maximus Smith. Tapi untuk apa pria itu menolongnya?     

Aleandra tersenyum pahit lalu tawanya terdengar, Marline sangat heran melihat keadaannya. Apa kepala Aleandra terbentur sehingga dia jadi seperti itu?     

"Untuk apa dia menolong aku, Nyonya? Bukankah aku hanya anjing peliharaannya saja yang bisa dia bunuh kapan saja? Untuk apa dia melakukannya, apa dia pun tidak mengijinkan aku mati sampai dia sendiri yang menghabisi nyawaku?" tanya Aleandra, air matanya mengalir begitu saja.     

"Kenapa kau berkata seperti itu? Apa Max memperlakukan dirimu seperti anjing peliharaan selama ini?" Marine terlihat tidak senang.     

"Apa bedanya aku dengan seekor anjing peliharaan? Aku tidak bisa pergi dari rumahnya. Aku memang melakukan kesalahan tapi dia bagaikan memberikan sebuah rantai di leherku agar aku tidak bisa pergi ke mana pun!"     

"Kau salah paham, Sayang. Putraku tidak seperti itu," Marline melangkah mendekat, dia juga menyentuh tangan Aleandra dan tersenyum lembut.     

"Max memang sedikit berbeda, itu karena dia spesial tapi percayalah jika dia tidak seperti yang kau duga. Walau perlakuannya kasar, walau dia sedikit aneh tapi dia tidak seperti yang kau kira. Dia peduli padamu, percayalah. Dia juga tidak menganggap kau sebagai anjing peliharaannya walau dia menganggap kau sebagai tawanannya. Apa dia membatasi gerak gerikmu? Apa dia mengekangmu selama kau tinggal di rumahnya? Apa dia juga menyiksa dirimu? Aku harap kau tidak salah paham pada sikap putraku yang sedikit berbeda," ucap Marline lagi.     

"Untuk apa dia peduli padaku, Nyonya. Dia ingin membunuhku sejak awal, dia selalu berkata ingin membunuhku tapi kenapa dia membantu aku keluar dari hutan itu? Dia bisa membiarkan aku mati membusuk di dalam hutan, dia bisa melakukan hal itu tapi kenapa dia harus menolong aku?" tangisan Aleandra kembali pecah. Padahal dia sangat berharap dia mati tapi kenapa Max justru menolongnya?     

"Jika untuk itu kau bisa tanyakan pada Max secara langsung, aku juga tidak mengeri pola pikirnya tapi percayalah dia menyelamatkan dirimu bukan karena kau anjing peliharaannya seperti yang kau kira."     

"Jika bukan karena hal itu, lalu apa?" tanya Aleandra.     

"Itu karena dia peduli padamu," jawab Marline sambil tersenyum.     

Aleandra diam, tidak mungkin. Pria aneh dan psiko seperti Maximus Smith peduli dengannya? Entah kenapa dia ingin tertawa dengan keras karena dia tidak percaya dengan ucapan ibu Max.     

Mata Aleandra tidak lepas dari ibu Max yang saat itu sedang tersneyum, Marline harap gadis itu percaya dan tidak salah paham pada putranya tapi sayangnya Aleandra masih belum bisa percaya. Dia bahkan mengambil kesimpulan sendiri, sepertinya wanita itu berkata demikian untuk menghiburnya dan tentunya untuk membela putranya. Yeah, pasti seperti itu karena dia tidak percaya, orang yang sudah beberapa kali ingin membunuhnya kini jadi peduli dengannya dan ini adalah lelucon paling gila yang pernah dia dengar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.