Hi's Like, Idiot But Psiko

Kenapa Kau Menyelamatkan Aku?



Kenapa Kau Menyelamatkan Aku?

0Maximus sudah mendapat kabar dari ibunya jika Aleandra sudah sadar dan baik-baik saja. Dia tidak mau peduli, benar-benar tidak mau tapi rasa ingin tahu akan keadaan gadis itu mengalahkan egonya. Dia pergi ke rumah sakit saat rapat sudah selesai, dia rasa dia tidak akan bisa berkonsentrasi bekerja jika dia tidak segera menuntaskan rasa penasarannya.     

Sungguh dia tidak mengerti pada diri sendiri, ke mana perginya Maximus Smith yang seperti biasanya? Max yang tidak peduli dengan apa pun apalagi seorang wanita asing. Walau dia terus bertanya seperti itu tapi dia tidak menemukan jawaban atas keanehan yang terjadi pada dirinya sendiri. Sepertinya dia memang sudah memungut sesuatu yang luar biasa.     

Max memerintahkan Jared untuk mengantarnya ke rumah sakit. Dia juga membawa beberapa pekerjaan yang bisa dia kerjakan di sana karena dia akan menjaga Aleandra saat ibunya pulang.     

Marline masih di rumah sakit, Aleandra tidak mengerti kenapa wanita itu mau repot-repot menjaganya bahkan mau menyuapinya bubur. Padahal ibu Max tidak perlu melakukan hal seperti itu. Dia bisa pergi dan mengabaikan dirinya. Dia sudah bertanya untuk apa Marline melakukannya tapi Marline berkata Max yang memintanya untuk melakukan hal itu. Ini aneh, pria aneh itu benar-benar sulit ditebak.     

"Siapa namamu?" tanya Marline karena dia belum tahu siapa nama Aleandra.     

"Aleandra."     

"Aku dengar dari Max jika kau sedang dalam masalah dan menjadi buronan, apa benar?" tanya Marline lagi.     

"Seperti yang Nyonya tahu, aku memang buronan."     

"Jangan panggil aku Nyonya, tapi panggil aku Aunty," Marline tersenyum. Siapa tahu gadis itu bisa dekat dengan putranya dan mungkin saja dialah yang bisa mengubah Max.     

"Ta-Tapi aku," Aleandra tampak tidak enak hati.     

"Tidak apa-apa, Aleandra. Aku harap kau sabar menghadapi Maximus, emosinya memang tidak stabil tapi percayalah , di balik sikap kasarnya tersimpan sikap lembut yang tidak dia tunjukkan pada sembarangan orang."     

Aleandra hanya tersenyum, apakah demikian? Tapi dia memang pernah mendengar jika orang yang memiliki sifat psiko memang di luar dugaan. Yeah, semoga saja apa yang dikatakan oleh ibu Max itu benar. Dia harap dia tidak mendapat perlakuan kasar lagi karena dia tidak mau.     

"A-Aku akan berusaha," ucap Aleandra sambil tersenyum.     

"Aku senang mendengarnya," Marline menyendok bubur dan menyuapi Aleandra. Pada saat itu, pintu terbuka dan Maximus masuk ke dalam.     

"Mom, Daddy sudah menunggumu di bawah," ucap Max seraya menghampiri ibunya.     

"Mommy belum selesai menyuapinya," ucap ibunya seraya mengangkat mangkuk bubur yang masih banyak.     

"Berikan padaku!"     

Aleandra ketakutan melihatnya, dia bahkan memundurkan tubuhnya. Hal itu membuat Marline heran, kenapa gadis itu terlihat ketakutan? Apa Max telah menakutinya tanpa dia tahu?     

"Baiklah," Marline beranjak dan memberikan mangkuk bubur pada putranya.     

"Jangan terlalu menakutinya, Max. kasihan," ucap Marline lagi.     

Max menatap Aleandra dengan tajam, tentunya tatapan matanya membuat Aleandra semakin takut. Dia bahkan menunduk, tidak berani menatap pria itu.     

"Jika begitu aku pergi dulu, aku akan kembali lagi untuk melihat keadaanmu," ucap Marline.     

"Te-Terima kasih, Aunty," jawab Aleandra tanpa berani menatap Max.     

Marline menepuk bahu putranya dan kembali berkata, "Ingat, jangan terlalu menakutinya," setelah berkata demikian, Marline keluar dari ruangan itu.     

Suasana menjadi sunyi, tidak ada yang bersuara. Setelah pintu tertutup, Max mendekati Alendra dan duduk di sisinya.     

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya seraya melihat bubur yang ada di tangan.     

"Kenapa kau menyelamatkan aku, Max?" kini Alendra menatapnya tajam. Dia ingin tahu kenapa pria itu mau menyelamatkan dirinya padahal pria itu bisa membiarkannya mati di hutan.     

"Seharusnya kau membiarkan aku mati di hutan itu agar aku tidak merepotkan dirimu lagi. Bukankah kau sangat ingin aku mati? Apa kau senang membuat aku menderita? Aku sangat ingin mati agar aku tidak merasakan lagi penderitaan, kau bisa membiarkan aku mati dengan tenang tapi untuk apa kau bersusah payah menyelamatkan aku? Apa kau senang melihat aku mengalami hal seperti ini?" Aleandra melemparkan pertanyaannya secara bertubi-tubi. Sungguh dia tidak mengerti kenapa pria itu mau bersusah payah turun ke lembah hanya untuk menyelamatkan dirinya.     

"Bisakah kau diam?!" bentak Max kesal. Dia diam saja tapi gadis itu terus saja melemparkan pertanyaannya.     

Alendra terkejut dan kembali ketakutan, itu bisa dilihat dari reaksi tubuhnya. Max mengumpat, apa dia begitu menakutkan bagi gadis itu?     

"Dengar!" mangkuk bubur ditaruh dengan kasar di atas meja.     

"Aku tidak tahu kenapa aku mau membantumu keluar dari dasar lembah itu tapi aku melakukan apa yang ingin aku lakukan. Aku memang bisa membiarkanmu mati, aku memang bisa menutup mata dan tidak peduli padamu tapi aku tidak bisa. Kau bertanya padaku kenapa? Aku sendiri tidak tahu, lalu aku mau bertanya pada siapa? Pada hantu penghuni rumah sakit?" ucap Max kesal.     

Aleandra tampak tidak mengerti, apakah yang dikatakan oleh ibu Max jika pria itu peduli dengannya adalah benar?     

"Sudah aku katakan padamu, aku akan membantumu untuk balas dendam tapi aku tidak suka dengan sikapmu yang cepat menyerah dan putus asa dan lihat dirimu saat ini?" Max mengambil mangkuk bubur itu kembali.     

"Kau tidak lebih dari pada seorang pecundang dan aku, benci melihatmu yang seperti ini!" ucapnya sinis.     

Aleandra menunduk, apa dia seperti itu? Entah kenapa dia jadi malu, apa sikap yang selalu Max tunjukkan karena dia tidak suka dengan sikapnya selama ini?     

"Ma-Maaf," ucap Aleandra.     

"Untuk apa kau minta maaf, apa kau membuat sebuah kesalahan?" Max menatapnya tajam.     

"Bukan begitu," Aleandra masih tidak berani menatapnya.     

"Dengarkan aku, Aleandra. Aku memuji semangatmu untuk hidup, kau berjuang sampai kau tiba di tempat yang asing bagimu bahkan kau masih harus berjuang. Aku puji semangat dan usahamu tapi lihat apa yang terjadi, pada akhirnya kau menyerah dan ingin mati. Jika demikian, untuk apa usahamu selama ini? Kau bilang ingin balas dendam tapi kematian saja yang kau ributkan. Jika kau mati, lalu bagaimana kau balas dendam?"     

"Kau tidak tahu bagaimana perasaanku, Max. Kau tidak tahu apa yang aku alami selama ini. Hidup tenang dan nyamanku sirna dalam satu malam. Aku berlari tanpa tujuan, aku berlari hanya untuk menyelamatkan diriku sampai keberuntungan membawa aku ke sini tapi walaupun begitu, bahaya masih saja harus aku hadapi," Aleandra memeluk lengan dan membuang wajah.     

"Kau tidak tahu bagaimana perasaanku saat melihat kedua orangtua yang begitu kau sayangi mati di depan matamu. Kau tidak merasakan hidup dalam pelarian seperti diriku. Apa yang aku miliki? Kau bisa lihat sendiri, aku hanyalah gadis lemah yang jauh dari rumah. Aku berusaha bertahan hidup tapi takdir mempermainkan aku. Kau pun ingin membunuh aku, bukan? Jika kau berada di posisiku, apa kau tidak berharap lebih baik kau mati saja dan kau bisa lihat sendiri, aku sudah mendapat luka sana sini tapi aku tidak juga mati!" ucap Alendra lagi.     

"Jika begitu, bukankah kau harus bersyukur jika kau masih diijinkan hidup sampai saat ini?"     

"Bersyukur?" Aleandra tersenyum pahit, "Setelah apa yang aku lewati, apa yang harus aku syukuri , Tuan Smith?" Aleandra menatap tajam pria itu, tidak mengerti. Kenapa Max memintanya untuk bersyukur di saat keadaannya seperti itu?     

"Hidup hanya satu kali, Aleandra. Kau tidak bisa seenaknya terhadap hidupmu, bukan berarti kau mau mati lalu kau mati! Seharusnya kau belajar dari kejadian yang kau alami. Setiap hal yang kau alami saat melarikan diri seharusnya menjadi motivasi untukmu bangkit, bukan untuk mati. Setiap orang diberi kecerdasan untuk bertahan hidup, seharusnya kau menjadi semakin kuat, bukan semakin lemah seperti ini yang hanya menginginkan kematian saja. Apa kau pikir kematian bisa menyelesaikan masalah?"     

Aleandra menggigit bibir, air mata jatuh perlahan. Ucapan pria itu bagaikan tamparan keras untuk dirinya yang hanya menginginkan kematian saja karena dia sudah putus asa.     

"Aku bukan orang yang banyak bicara Aleandra, apalagi untuk berbicara panjang lebar seperti ini pada seseorang tapi sikapmu itu, membuat aku muak!" ucap Max lagi.     

"Bukan kau saja yang sedang mengalami masalah di dunia ini. Kau hanya terlibat masalah yang tidak kau lakukan tapi apa kau pernah pergi melihat apa yang terjadi di pasar gelap? Kau tidak tahu bagaimana perasaan gadis yang dijual di sana tanpa mereka inginkan, apa mereka seperti dirimu yang ingin mati? Kau juga tidak melihat apa yang terjadi di lorong sempit dan bagaimana para korban kejahatan. Sebaiknya kau tidak hanya melihat apa yang kau alami saja tapi lihat juga apa yang orang lain alami!"     

Max mengumpat dalam hati setelah mengatakan perkataan seperti itu. Sial, tiba-tiba dia jadi bijak. Sepertinya dia benar-benar sudah gila dan hanya Aleandra saja yang bisa membuatnya seperti itu. Setelah ini dia mau pulang dan masuk ke dalam lemari untuk menghilangkan kegilaanya itu.     

"Lalu, apa yang harus aku lakukan. Berbicara memang mudah tapi kau lihat aku, apa yang bisa dilakukan olehku yang tidak memiliki apa pun ini!"     

"Aku tidak memintamu untuk banyak uang untuk balas dendam. Aku hanya ingin kau jadi kuat dan tidak menyerah!"     

Alendra mengangkat wajah, menatap Max dengan lekat. Memang selama ini dia begitu lemah, dia hanya bisa berlari saja tanpa bisa melawan atau bisa melakukan apa pun.     

"Bagaimana aku bisa jadi kuat, Max?" tanyanya dengan lirih.     

"Jika kau mau, tidak ada yang mustahil. Asal kau memiliki semangat untuk balas dendam dan berhenti berpikir ingin mati maka aku akan membantumu!"     

"Tapi aku tidak memiliki apa pun untuk membalas budi baikmu?"     

"Cukup bekerja dengan baik, Aleandra dan jangan khianati aku!"     

"Hanya itu?" tanya Aleandra memastikan.     

"Aku tidak butuh yang lain!" Max memberikan bubur yang ada di tangannya pada Aleandra dan setelah itu dia melangkah pergi.     

Aleandra melihat pria itu sejenak, lalu pandangannya jatuh pada bubur yang ada di tangan. Senyum tipis menghiasi wajah, perkataan Max menyadarkan dirinya. Ternyata selama ini dia memang bodoh. Sepertinya dia harus berterima kasih dan dia tidak akan mengkhianati pria itu. Dia akan melupakan tawaran yang diberikan oleh Oliver. Dia tidak boleh serakah, dia sudah menemukan apa yang dia inginkan yaitu orang yang akan membantunya balas dendam dan dia percaya, hanya Max yang bisa membantunya membalas orang-orang yang sudah menghabisi keluarganya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.