Hi's Like, Idiot But Psiko

Anggap Aku Sudah Gila



Anggap Aku Sudah Gila

0Sesuai dengan permintaan Aleandra, Max membawanya pulang. Sejujurnya dia juga malas bolak balik ke rumah sakit. Akan lebih mudah menjaga Aleandra di rumah, dia juga akan lebih mudah bekerja di rumah.     

Walau masih merasa sakit di bagian pinggangnya, tapi Aleandra tetap ingin pulang. Sekarang tidak saja orang-orang yang mengejarnya menjadi ancaman tapi dia juga terancam dengan hutang yang semakin menumpuk. Hidupnya sungguh sial.     

Selama di perjalanan pulang, mereka tidak berbicara apa pun. Aleandra memegangi pinggangnya, jangan sampai jahitannya robek. Matanya menatap keluar, dia rasa setelah ini dia bisa melewati apa pun dengan mudah walaupun dia tahu, orang-orang yang mengejarnya tidak akan berhenti. Dia jadi ingin tahu, kenapa Max memutuskan mau membantunya?     

Aleandra berpaling, melihat ke arah Max. Pria itu terlihat bersandar di kursi mobil mahalnya sambil memejamkan mata. Sepertinya dia tidur, mungkin saja Max tidak bisa tidur selama di rumah sakit dan hal itu semakin membuat Aleandra penasaran.     

Dia kembali berpaling untuk melihat Max sesekali, semakin di pikir, semakin membuat penasaran dan semakin dia ingin tahu. Sungguh, pria yang sulit ditebak.     

"Jika kau ingin mengatakan sesuatu, cepat katakan!" ucap Max. Apa Aleandra pikir dia tidak tahu dengan tingkah gadis itu?     

"Oh, hm," Aleandra jadi salah tingkah apalagi Max sudah membuka mata dan menatapnya tajam.     

"Apa yang ingin kau bicarakan?"     

"A-Aku hanya ingin tahu, kenapa aku mau membantu aku bahkan kau rela melakukannya sampai sejauh ini padahal aku tidak bisa memberikan apa pun padamu," tanya Aleandra.     

Max mengusap rambutnya, lagi-lagi pertanyaan yang tidak dia tahu jawabannya.     

"kenapa kau selalu menanyakan hal seperti ini? Sudah aku katakan aku tidak tahu, sebaiknya kau tidak bertanya kenapa karena setiap pertanyaan tidak penting yang kau lontarkan akan aku hitung dan akak aku jadikan hutang!" ancam Max.     

"Apa? Kenapa tidak sekalian kau juga menghitung setiap tarikan napas yang aku ambil?" ucap Aleandra kesal.     

"Wah, ide yang bagus. Ini benar-benar ide bisnis yang brilian. Jika begitu mulai sekarang aku juga akan menghitung setiap tarikan napas yang kau ambil selama kau berada di dekatku," ucap Max sambil tersenyum lebar.     

"Oh, no .... no! Aku hanya asal bicara!" ucap Aleandra dengan cepat.     

"Aku bukan orang yang suka bercanda jadi aku menganggap ucapanmu tidaklah bercanda."     

"Max, jangan seperti ini. Aku benar-benar hanya bercanda saja," Aleandra berusaha membujuk. Pria itu benar-benar gila menghitung setiap tarikan napas yang dia ambil. Bisa-Bisa sampai dia mati hutangnya masih tetap ada. Apa pun yang terjadi dia tidak mau mati meninggalkan banyak hutang.     

"Bercanda atau tidak, bagiku ucapanmu terdengar serius!"     

"Shit!" Aleandra melotot, kesal. Seharusnya dia tidak berbicara sembarangan pada pria aneh itu.     

Max kembali memejamkan mata, sesungguhnya dia hanya bercanda saja. Walau dia penuh perhitungan tentang uang tapi dia tidak sekejam itu. Dia juga bercanda mengenai waktunya yang harus Aleandra bayar, tapi dia tidak akan mengatakannya. Biarkan saja Aleandra berpikir jika yang dia katakan adalah benar.     

Mata Max kembali terbuka karena suara ponselnya. Max mengambil benda itu dan melihat siapa yang mengubunginya. Begitu melihat ibunya yang menghubungi, Max menjawab tanpa ragu.     

"Ada apa, Mom?"     

"kau di mana, Max? Mommy berniat ke rumah sakit untuk melihat keadaan Aleandra setelah dari rumah Aunty Vivian," ucap ibunya.     

"Aku sudah membawa Aleandra pulang, Mom," Jawab Max seraya melirik ke arah Aleandra yang sedang bersandar di kursi sambil memejamkan mata.     

"Kenapa begitu cepat, apa keadaannya sudah membaik?"     

"Belum, tapi dia bilang dia ingin pulang."     

"Baiklah jika begitu, Mommy akan pergi ke rumahmu," ucap ibunya.     

Max tidak berkata apa-apa, dia sangat heran, untuk apa ibunya begitu peduli dengan gadis itu? Matanya melirik ke arah Aleandra, gadis itu sukses mengambil perhatian ibunya dan entah kenapa dia jadi tidak suka.     

Sepertinya dia tidak boleh meremehkan gadis itu, dia hanya tawanan saja. Dia tidak boleh melupakan hal itu. Ponsel diletakkan, Max kembali melirik ke arah Aleandra dan setelah itu matanya kembali terpejam. Jujur dia tidak bisa tidur selama di rumah sakit itu karena kebiasaanya yang dia tidur di dalam kotak. Dia tidak terbiasa tidur di tempat terang, dia lebih suka tidur di tempat gelap sebab itu dia sulit tidur selama beberapa hari.     

Aleandra tertidur tanpa sadar, dia bahkan tidak sadar jika mobil sudah berhenti karena sudah tiba. Max turun terlebih dahulu, dia melangkah menuju sisi mobil yang lain dan membukanya.     

Dia tampak tidak senang melihat Aleandra tapi entah kenapa dia tidak tega membangunkannya.     

"Biar aku yang menggendongnya keluar, Master," ucap supir pribadinya.     

"Tidak perlu, bawa barang-barang ke dalam rumah!" perintah Max.     

Dia mendekati Aleandra dan tanpa ragu menggendongnya keluar. Max melangkah cepat menuju rumah, kamar Aleandra adalah tujuan, setelah gadis itu bangun dia akan membuat perhitungan.     

Max membaringkan Aleandra dengan perlahan. Dia benar-benar sudah gila. Sebaiknya dia tidak banyak berpikir, sebaiknya dia pergi mandi. Max melangkah menuju pintu dan menutupnya perlahan, sekarang dia benar-benar sudah melibatkan diri dan menampung gadis asing yang tanpa sengaja dia temui. Seharusnya korbannya mati di tangannya, tapi ternyata gadis itu pengecualian.     

Tapi dia tidak akan segan membunuh Aleandra jika gadis itu berani berkhianat. Max melangkah menuju kamarnya tapi tidak lama kemudian dia keluar lagi dengan sesuatu di tangan. Max kembali masuk ke dalam kamar Aleandra, benda yang dia bawa diletakkan di sisi Aleandra, selimut juga dia tarik untuk menutupi tubuh Aleandra dan setelah itu dia keluar.     

Max kembali masuk ke dalam kamarnya, dia ingin pergi mandi untuk menangkan pikirannya yang kacau. Hal itu disebabkan dia tidak mengeri kenapa dia begitu perhatian pada Aleandra Feodora, apa yang diucapkan ibunya benar jika dia peduli dengan gadis itu?     

Tidak, rasa peduli itu bisa menjebaknya. Jangan sampai rasa peduli pada gadis itu menjadi rasa yang lain. Max berdiri cukup lama di bawah guyuran air shower. Aneh, walau dia enggan tapi dia benar-benar tidak keberatan membantu Aleandra.     

Di dalam kamar lain, Aleandra terkejut karena dia sudah berada di dalam kamarnya. Aleandra meringis karena rasa sakit akibat dia bangun secara tiba-tiba. Aleandra memegangi bagian luka yang ada di perut, sial. Dia lupa dengan keadaannya sendiri.     

Itu karena dia terkejut melihat di mana dia berada. Bukankah tadi dia dan Max sedang dalam perjalanan pulang? Apa Max yang menggendongnya masuk ke dalam? Wajah Aleandra pucat, sial. Jangan katakan Max juga akan memperhitungkan apa yang dia lakukan saat ini.     

Ck, utang semakin banyak dan dia semakin terjerat. Aleandra hendak beranjak, tapi tangannya menyenggol sesuatu yang ada di sisinya. Aleandra terkejut melihat ponsel yang ada di atas ranjang. Bukankah itu ponsel yang diberikan oleh Max? Di mana pria menemukan ponselnya? Aleandra sangat senang, itu berarti ponsel yang dia bayar dengan mahal kembali lagi padanya.     

Sepertinya dia harus berterima kasih pada Max, dia juga harus membuat makanan untuk pria itu. Ponsel diletakkan, Aleandra keluar dari kamar dan tentunya dia mencari Maximus taoi pria itu tidak berada di mana pun, dia rasa Max sedang mandi.     

Sebaiknya dia membuat makanan agar Max tidak kecewa padanya. Aleandra masuk ke dapur dengan perasaan senang, ponsel dengan harga ribuan dolar yang dia kira hilang ternyata bisa kembali ke tangannya. Jika dia tidak sedang terluka, maka dia akan menari bahagia.     

Kulkas dibuka, sial. Tidak ada bahan makanan karena waktu itu dia melarikan diri sebelum bisa membeli apa pun. Tapi beruntungnya dia belum membeli, jika tidak semua itu akan jadi sia-sia. Di kulkas hanya ada telur dan daging ham, sepertinya itu sudah cukup untuk makan malam mereka.     

Telur dikeluarkan, begitu juga dengan daging ham. Dia jadi ingin tahu, siapa yang selama ini membeli bahan makanan untuk mengisi kulkas itu? Pria itu juga aneh, rumah sebesar itu tapi tidak memiliki satu pelayan sama sekali.     

"Apa yang kau lakukan?"     

Aleandra terkejut mendengar suara Max. Pria itu sudah melangkah mendekatinya dengan tatapan tajam.     

"Membuat makan malam," jawab Aleandra. Dia tampak ragu dan menunduk.     

"Dengan keadaanmu seperti ini? Sebaiknya kau istirahat dan jangan menyia-nyiakan usahaku menyelamatkan dirimu."     

"Maaf, aku hanya ingin membuatkan makanan untukmu saja."     

"Tidak perlu, pergi duduk di sana. Aku yang akan melakukannya!"     

"Apa?" Aleandra menatapnya dengan tatapan tidak percaya.     

"Apa aku harus mengulangi ucapanku?" Max kembali melotot.     

"Tidak, terima kasih. Terima kasih kau sudah menolongku walau aku tidak tahu kenapa kau mau melakukannya dan terima kasih sudah menemukan ponselku yang hilang. Aku hampir berduka karena kehilangannya."     

"Apa benda itu begitu berarti bagimu?"     

"Tentu saja, aku bahkan belum membayarmu untuk benda itu."     

"Jika begitu duduk di sana, aku yang akan membuat makanannya. Jangan tanya kenapa dan anggap aku sudah gila!"     

Aleandra mengangguk sambil tersenyum, pria aneh yang tak terduga. Sesuai perintah Max, Aleandra duduk di meja makan, sedangkan Max mulai membuat makanan dengan bahan yang ada. Karena dia tidak suka ada pelayan jadi dia sudah terbiasa melakukannya.     

Mata Aleandra tidak lepas dari pria itu, apakah yang membeli bahan makanan adalah Max sendiri? Entah kenapa tiba-tiba saja dia jadi membayangkannya. Seorang pria berwajah dingin pergi membeli bahkan makanan sambil mendorong troly. Dia jadi ingin tertawa tapi dia tidak berani.     

Max benar-benar tidak tahu kenapa dia mau melakukannya, anggap dia benar-benar sudah gila. Ibunya bahkan terkejut melihat apa yang sedang dia lakukan ketika dia dan suaminya sudah tiba. Aleandra beranjak, dia jadi tidak enak hati. Marline dan Michael saling pandang. Apa mereka tidak salah lihat?     

Mereka belum bisa mempercayai apa yang mereka lihat tapi Max sudah berkata sebelum kedua orangtuanya bertanya, "Jangan bertanya dan anggap aku sudah gila!" Dia pun berlalu pergi meninggalkan dapur dan tentunya makanan yang sudah dia buat berada di atas meja.     

"Mich, coba kau cubit aku. Apa aku tidak sedang bermimpi?" pinta Marline karena dia benar-benar tidak percaya melihat apa yang baru saja putranya lakukan.     

"Ayo kita saling mencubit, sepertinya aku juga bermimpi," uca Michael pula. Seperti istrinya, dia juga tidak percaya.     

Aleandra menunduk saat Marline dan Michael melihat ke arahnya. Gawat, apa hutangnya akan bertambah gara-gara kejadian ini?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.