Hi's Like, Idiot But Psiko

Bagaikan Kelinci



Bagaikan Kelinci

0Lagi-Lagi Aleandra terkejut karena mendapati dirinya sudah berada di kamarnya dan tidur di ranjang. Pasti lagi-lagi Max yang membawanya tapi kenapa dia tidak tahu? Apa saat tidur dia seperti orang mati yang tidak tahu apa pun? Dia yakin jika dia tidak mungkin tidur sambil berjalan.     

Sial, jangan katakan jika dua gedongan yang sudah Max lakukan akan menjadi ribuan dolar. Lebih baik dia segera membuat makanan karena jika dia terlambat, bisa-bisa Max memberinya penalti.     

Aleandra keluar kamar dan menuju dapur. Makanan yang dia siapkan semalam sudah tidak ada di atas meja lagi, sepertinya Max menghabiskan semua makanan itu dan dia sangat yakin setelah melihat piring kotor yang ada di wastafel. Ternyata usahanya tidak sia-sia dan dia sangat senang.     

Bahan makanan untuk membuat makanan itu dia dapatkan setelah ibu Max datang. Karena Marline melihat hanya ada telur dan daging ham, jadi dia memerintahkan seorang pelayannya yang biasa membelikan bahan makanan untuk Max segera pergi membeli bahan makanan. Sekarang kulkas sudah terisi penuh dan Aleandra sangat bersyukur dia tidak perlu keluar.     

Sangat berbahaya jika dia keluar dalam keadaan terluka karena dia bisa bertemu dengan orang-orang yang mengejarnya lagi, dia yakin dia tidak akan memiliki tenaga untuk melarikan diri dari kejaran mereka.     

Aleandra mengeluarkan beberapa bahan makanan, walau lukanya masih sakit tapi dia harus tetap bekerja. Hari ini dia akan melakukan pekerjaan ringan saja dan dia harap lukanya segera sembuh.     

Selagi Aleandra sibuk, di luar sana seorang wanita turun dari mobil dan menghampiri gerbang rumah Max. Siapa lagi jika bukan Caitlyn? Dia hanya diperbolehkan sampai di depan gerbang saja oleh para penjaga yang memeriksa mobilnya saat dia memasuki kawasan rumah Max.     

Walau kesal tapi Caitlyn tidak punya pilihan. Dia harap Max mau keluar untuk menemuinya. Dia ingin minta maaf pada Max dan mengajaknya makan malam berdua nanti malam.     

"Siapa yang kau cari?" seorang penjaga menghampirinya dan menatapnya curiga. Walau dia sudah mendapat laporan dari rekan kerjanya tapi dia harus tetap waspada.     

"Aku teman Max. Aku ingin bertemu dengannya," ucap Caitlyn.     

"Bos masih tidur, jadi pergilah!"     

"Jam berapa dia bangun? Aku akan menunggunya," Caitlyn masih bersikeras.     

"Aku tidak tahu!"     

"Baiklah, aku akan menunggu," Caitlyn berjalan pergi menuju mobilnya. Dia akan menunggu Max di sana. Keinginannya untuk bertemu dengan pria itu tidak boleh gagal. Dia bahkan memundurkan mobilnya agar jauh karena para penjaga itu tidak mengijinkan mobilnya berada di depan gerbang.     

Di dapur, Aleandra sedang membereskan sampah. Dia harus membuang sampah itu agar tidak berbau. Tidak lucu bukan rumah mewah tapi berbau sampah? Bisa-Bisa gajinya di potong atau penalti telah menanti.     

Aleandra keluar dari rumah, dia melangkah menuju gerbang untuk membuang sampah ke tempat sampah yang ada di luar. Dia heran, kenapa Max tidak meletakkan sebuah tempat sampah di samping taman? Apa pria itu tidak ingin pemandangan rumahnya jadi terganggu karena tempat sampah? Hal itu bisa saja terjadi, orang kaya berbeda-beda dan memiliki keunikannya sendiri.     

Ketika Aleandra melangkah menuju tempat sampah, tanpa sengaja Caitlyn melihatnya. Caitlyn membuka sedikit kaca mobil, siapa wanita itu? Mata Caitlyn tidak berpaling sampai Aleandra masuk ke dalam rumah. Tunggu, bukankah Max tinggal sendiri? Lalu kenapa ada seorang wanita di rumahnya? Caitlyn diam dan tampak berpikir, jangan-jangan wanita itu pacar Max tapi tidak mungkin. Rasanya ingin menyangkal tapi dia tidak bisa karena dia tahu selama ini Max tidak pernah mengijinkan siapa pun tinggal di rumahnya apalagi seorang wanita. Jika wanita tadi bukan pacarnya, lalu apa?     

Caitlyn memukul stir mobil sambil memaki. Sial! Apa Max menolaknya karena dia sudah punya pacar? Hal ini tidak boleh terjadi, posisi Nyonya Smith hanya boleh menjadi miliknya, tidak boleh dimiliki oleh orang lain. Sekarang terjawab sudah kenapa Max tidak mempedulikan dirinya. Dia akan mencari tahu tentang wanita itu karena dia tidak terima posisi yang sudah dia incar sejak lama justru menjadi milik orang lain. Selama Max belum menikahinya maka dia masih memiliki peluang.     

Tanpa tahu apa pun, Aleandra meletakkan sarapan yang sudah jadi. Sepertinya sudah cukup, lagi pula hanya Max sendiri yang akan menikmatinya. Membuat terlalu banyak hanya akan membuang bahan makanan.     

Karena makanan sudah jadi, jadi sekarang waktunya membangunkan Max. Entah kenapa sejak malam itu dia jadi memanggil Max dengan namanya. Tapi dia lebih suka memanggil nama pria itu dari pada dengan sebutan 'Sir'.     

Pintu diketuk dan setelah itu Aleandra membukanya dengan perlahan. Seperti yang dia duga, Max masih tidur itu karena kotak yang menutupi tempat tidurnya masih tertutup.     

"Max," Aleandra mengetuk kotak dengan perlahan. Tidak ada suara tapi dia rasa itu sudah cukup dan benar saja, kotak terbuka saat Aleandra melangkah menuju jendela untuk membuka gorden.     

"Morning," Aleandra menyapa sambil tersenyum.     

Mata Max tidak lepas darinya, rasanya hari ini Aleandra sedikit berbeda. Yeah, dia sudah tidak menunjukkan rasa takutnya lagi seperti beberapa hari yang lalu. Apa gadis itu sudah tidak takut dengannya lagi?     

"Kau terlihat bersemangat, mana rasa takut yang selalu kau tunjukkan selama ini?" tanya Max, pria itu sudah duduk di sisi ranjangnya.     

"Selama ini aku terlalu naif dan bodoh, aku terlalu takut padamu tapi sekarang aku sudah sadar, ternyata kau tidak seperti yang aku kira," ucap Aleandra.     

"Memangnya seperti apa aku di matamu, Aleandra?" Max berpaling, menatap gadis itu dengan tatapan tajamnya.     

"Oh, Hm," Aleandra jadi salah tingkah.     

"Jawab aku!" Max beranjak, mendekati Aleandra.     

Aleandra melangkah mundur dengan perasaan gugup. Entah kenapa dia jadi gugup sendiri, apa dia sudah mengatakan sesuatu yang salah? Aleandra terkejut saat punggungnya menyentuh dinding. Dia sudah terpojok dan tidak memiliki ruang gerak tapi Max masih juga melangkah maju.     

"Ma-Max!" Aleandra panik sendiri.     

"Katakan padaku, Aleandra. Seperti apa aku di matamu?" Max sudah berdiri di depan Aleandra, kedua tangannya berada di dinding, mengunci gadis itu sehingga dia tidak bisa melarikan diri.     

Aleandra mengumpat, kenapa dia seperti sedang di intimidasi?     

"kau belum menjawab aku, Aleandra?" dagu Aleandra di angkat, mereka berdua saling menatap satu sama lain dalam diam. Jantung Aleandra semakin berdebar, dia sangat ingin memalingkan pandangannya tapi dia seperti terbius oleh tatapan tajam mata Max dan juga wajah tampannya.     

Max semakin menghimpitnya ke tembok sehingga tubuh mereka tidak memiliki jarak. Aleandra dapat merasakan panasnya tubuh pria itu, dia sudah bagaikan kelinci yang terkurung dan tidak bisa pergi ke mana pun.     

"Jawab aku Aleandra?" Max mendekatkan wajah mereka dan berbisik di telinga Aleandra, "Seperti apa aku di matamu?" ini ketiga kalinya Max bertanya demikian.     

Jantung Aleandra hampir melompat keluar ketika napas hangat Max membelai tengkuknya. Geli, dia bahkan sampai memejamkan mata. Bagaimana caranya dia bisa keluar dari situasi seperti ini?     

"A-Aku," dia merasa lidahnya juga kelu. Bisakah dia menghilang? Jika bisa dia ingin menghilang agar bisa terbebas dari tekanan pria tampan itu.     

"Kenapa? Apa kau tiba-tiba jadi bisu?"     

"Bu-Bukan begitu," Aleandra mengigit bibir. Bisakah tidak menghimpitnya seperti ini? Dia rasa dadanya jadi sakit dan ini tidak baik untuk jantungnya.     

"Hm?" Max menunggu jawabannya sambil memainkan rambutnya.     

"Bi-Bisakah kau bertanya tidak dengan posisi seperti ini? Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu sedangkan kau seperti ingin membunuhku!" ucap Aleandra dalam satu tarikan napas.     

Max tersenyum dan melangkah pergi, sedangkan Aleandra terengah. Aleandra memegangi jantungnya, oh Tuhan, dia sangat bersyukur bisa bebas. Sebelum Max kembali bertanya, Aleandra melangkah menuju pintu dengan terburu-buru sambil memegangi dadanya. Lari adalah pilihan paling tepat saat ini.     

Max melirik ke arahnya dan setelah itu dia masuk ke dalam kamar mandi. Di luar sana, Aleandra bersandar di pintu sambil menenangkan diri. Dia merasa hampir gila, lain kali mulutnya tertutup rapat dan tidak mau asal bicara lagi.     

Aleandra kembali membuka pintu dan mengintip ke dalam, Max tidak ada yang berarti dia sedang mandi. Aleandra masuk ke dalam dengan terburu-buru, itu kesempatan untuknya. Tempat tidur dibereskan dengan cepat dan setelah itu baju disiapkan dengan cepat pula. Setelah selesai Aleandra segera keluar, dia tidak boleh ada di kamar itu sampai Max keluar dari kamar mandi karena dia merasa bahaya.     

Dapur adalah tujuan karena dia belum menyiapkan kopi hitam kesukaan bosnya. Setelah kopi terhidang, Aleandra hendak keluar dari dapur tapi langkahnya terhenti saat Max menghampirinya sambil mengancingkan kancing kemejanya.     

"Aku lupa menanyakan hal ini, bagaimana dengan lukamu?" tanya Max.     

"Baik-Baik saja," Aleandra sedikit menunduk.     

"Biarkan aku melihatnya."     

"Apa? Tidak!" tolak Aleandra.     

"Kau tahu akibatnya menolak, bukan?" mata Max sudah menatapnya tajam.     

"Tapi ini tidak pantas,"Aleandra benar-benar tidak mengerti kenapa Max harus melakukan hal itu.     

"Tidak perlu banyak bicara, kemarilah!"     

Max melangkah pergi menuju kamarnya, Aleandra tidak punya pilihan selain mengikutinya. Max memerintahkan gadis itu untuk duduk di sisi ranjang sedangkan dia pergi mengambil kotak P3K.     

"Angkat bajumu!" perintahnya.     

Aleandra tampak ragu tapi pada akhirnya dia melakukan apa yang Max perintahkan. Max mengoleskan obat di lukanya yang belum kering. Sungguh dia tidak mengerti kenapa Max mau melakukan hal seperti itu.     

"Thanks," ucapnya sambil tersenyum tipis.     

"Diam di rumah baik-baik, tidak perlu melakukan apa pun!" setelah berkata demikian Max berlalu pergi.     

Aleandra mengangguk, baju pun diturunkan. Dia segera beranjak keluar dari kamar. Sebaiknya tidak banyak berpikir, Maximus Smith melakukan hal itu pasti hanya karena iba dengannya. Yeah, tidak ada alasan lain yang lebih masuk akal selain itu.     

Max keluar dari kamar setelah rapi, dia juga memerintahkan Aleandra untuk makan bersama dengannya. Aleandra tidak membantah karena dia tahu percuma, seperti yang dia pikirkan, Max pasti hanya iba dengannya. Pria itu pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun setelah selesai. Aleandra juga tidak mengatakan apa pun.     

Mobil Max keluar dari gerbang dan tentunya Caitlyn yang sudah menunggu sedari tadi sangat senang melihatnya. Dia sangat ingin mencegat Max tapi mobilnya terus melaju pergi. Caitlyn mengumpat, sebaiknya dia mengikuti mobil Max tapi tunggu, bukankah lebih baik dia bertemu dengan wanita yang ada di dalam sana dari pada mengejar Max? Sepertinya itu bukan ide buruk dan akan dia lakukan setelah Max pergi agak lama. Dia melakukan hal itu karena dia khawatir Max tiba-tiba kembali. Apa pun caranya dia harus tahu, apakah wanita yang ada di dalam sana benar-benar pacar Max? Jika benar maka dia tidak terima.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.