Hi's Like, Idiot But Psiko

Ucapan Terima kasih



Ucapan Terima kasih

0Aleandra takut setengah mati saat dia berada di kamar mandi. Jika di kamar mandi itu ada jendela, dia pasti sudah melompat keluar. Sungguh dia takut membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia juga takut keluar karena Max mengancam tidak akan melepaskannya semalaman jika dia berani kabur.     

Max juga memerintahkannya untuk mengisi air bathtub, apa pria itu ingin mengajaknya bermain basah-basahan? Sial, dia semakin takut membayangkannya. Aleandra menunggu air bathtub penuh dengan cemas dan jantung berdebar. Dia sangat berharap Max tidak segera masuk ke dalam karena dia sedang berbicara dengan ibunya saat ini.     

Ketika dia ingin mengisengi pelayan cantiknya, kesenangannya jadi terganggu karena suara ponsel. Tadinya Max mengabaikannya tapi ketika melihat ibunya yang menghubungi, Max memerintahkan Aleandra untuk mengisi air bathtub selama dia berbicara dengan ibunya.     

"Bagaimana dengan Aleandra, Max?" tanya ibunya.     

"Dia baik-baik saja, Mom."     

"Jangan membiarkannya melakukan pekerjaan berat terlebih dahulu, lukanya pasti belum sembuh, bukan?"     

"Mommy tenang saja, besok kirimkan seseorang untuk membersihkan rumah ini," pintanya.     

"Good, Boy. Dari pada kau membiarkannya di rumah, bukankah lebih baik kau membawanya ke kantor saja?"     

Max tampak berpikir, memikirkan perkataan ibunya. Sepertinya apa yang diucapkan oleh ibunya tidak buruk. Mungkin jika dia membawa Aleandra keluar, orang-orang yang mengejarnya selama ini akan menunjukkan diri untuk menangkapnya. Jika mereka kembali mengejar Aleandra, maka dia bisa menangkap mereka dengan muda dan mencari tahu siapa orang yang menginginkan Aleandra. Lagi pula dia sudah berjanji akan membantu gadis itu maka dia akan menepati janjinya.     

"Baiklah, yang Mommy ucapkan sangat benar. Aku akan membawanya ke kantor besok."     

"Bagus, mungkin dia bisa membantumu di sana," ucap ibunya.     

"Aku rasa tidak, tapi aku akan membawanya sesuai dengan saran Mommy."     

"Baiklah, apa yang sedang kau lakukan?" tanya ibunya.     

"Aku mau mandi, Mom. Penyikat punggungku sudah menunggu."     

Marline mengernyitkan dahi, apa maksud ucapan putranya? Penyikat punggung apa? Entah kenapa dia jadi curiga.     

"Baiklah, nikmati waktumu dengan penyikat punggungmu," walau tidak mengerti tapi dia tidak mau mengganggu.     

Max tersenyum, yeah, sekarang saatnya menikmati waktu bersama dengan si penyikat punggung. Ponsel diletakkan, Max melonggarkan dasinya sambil melangkah menuju kamar mandi. Dia sudah tidak sabar mengganggu si penyikat punggung.     

Aleandra terkejut saat pintu terbuka, dia terlihat gugup dan berdiri di pojok kamar mandi. Matanya bahkan tidak berani melihat ke arah Max.     

"Kenapa diam saja di sana? Kemari dan lepaskan pakaianku!" perintah Max.     

Aleandra menelan ludah, apa dia harus memandikan pria aneh itu? Aleandra melangkah mendekati Max dengan pelan dan ragu. Max menatapnya tajam, kenapa si penyikat punggung begitu lelet?     

"Aku tidak punya waktu semalaman untuk menunggu, Aleandra? Apa kau siput?"     

"Ma-Maaf, apa yang harus aku lakukan?" Aleandra mengangkat wajah dan memberanikan diri untuk memandanginya.     

"Mandi, apa kau ingin melakukan hal yang lain? Atau kau benar-benar ingin menikmati sosis Amerika seperti yang kau inginkan? Aku tidak keberatan jika aku memang menginginkannya!"     

"Tidak, Tidak!" Aleandra melangkah cepat, tentu dia tidak mau hal itu terjadi. Ternyata Max hanya menggodanya saja padahal dia sudah takut setengah mati. Sungguh dia tidak mengerti kenapa Max menggodanya seperti itu tapi dia harus bersyukur jika Max tidak serius. Sepertinya dia harus membiasakan diri dan mulai mengenal bosnya itu lebih jauh.     

Aleandra sudah berdiri di hadapan Max, walau agak sedikit gugup tapi dia mulai membuka kancing kemeja Max. Jantungnya berdegup kencang karena napas Max membelai wajahnya, mata pria itu juga tidak berpaling darinya. Padahal dia mengira tidak perlu memandikan pria itu lagi tapi ternyata dia salah.     

"Akh!" Aleandra terkejut saat Max meraih pinggangnya dan merapatkan tubuh mereka berdua, pria itu bahkan mendekatkan wajahnya.     

"Kenapa begitu lama?" Max berbisik, bibirnya yang dingin membelai daun telinga Aleandra sehingga membuat gadis itu merasa geli.     

"Apa kau benar-benar lebih suka kita melakukan apa yang kau ucapkan?" bisik Max lagi, dia sengaja menggoda Aleandra bahkan bibirnya tidak berhenti menyentuh telinga Aleandra.     

"S-Stop!" Aleandra mencoba mendorong tubuh Max.     

"Kenapa, hm? Aku tidak melakukan apa pun," Max tersenyum secara diam-diam apalagi kedua tangan Aleandra sudah mencengkeram bajunya dengan erat. Dia hanya ingin menggodanya tapi ternyata menyenangkan.     

"Max," Aleandra berharap pria itu segera melepaskan tangannya yang sedang bergerak di pinggangnya. Dia bisa gila, jantungnya bahkan semakin berdegup cepat.     

"Kenapa? Apa kau mengharapkan sesuatu?" Max mengangkat dagunya, mata mereka saling menatap satu sama lain.     

"Apa kau mengharapkan sesuatu, Aleandra?" Max kembali bertanya.     

"Ti-Tidak," jawab Aleandra.     

"Lalu? Kenapa kau menutup matamu, apa kau mengharapkan ciuman dariku?"     

"Tidak, jangan goda aku seperti ini. Aku hanya pelayanmu dan bukan pacarmu."     

"Bagus jika kau tahu, sekarang bantu aku mandi!" Max melepaskan Aleandra dan melangkah mundur.     

Aleandra berusaha menenangkan dirinya, dia tahu Max hanya sengaja saja. Dia tidak boleh menyalahartikan tindakan yang dilakukan oleh pria itu. Dia harus tahu diri, jika dia hanya seorang pelayan yang memiliki setumpuk hutang.     

Tidak perlu berlama-lama, Max sudah berada di dalam bathtub. Pria itu bersandar dengan nyaman, sedangkan Aleandra mencuci rambutnya yang hitam dan tebal.     

"Apa pekerjaanmu sebelumnya, Aleandra?" tanya Max, dia ingin tahu sedikit tentang pelayannya.     

"Stuntman, aku sudah pernah mengatakannya," jawab Aleandra seraya memijat kepala Max dengan pelan.     

"Kenapa kau memilih pekerjaan seperti itu?"     

"Karena menyenangkan," jawab Aleandra singkat.     

"Benarkah?"     

"Hm, aku pecinta panjat tebing sebab itu aku lebih suka pekerjaan yang menantang. Aku suka menggantikan peran seorang artis saat harus melakukan adegan berbahaya. Walau menggunakan pengaman tapi bagiku, pekerjaan seperti itu lebih menyenangkan dari pada duduk di kantor."     

"Jadi keahlianmu dalam menembak kau dapatkan dari syuting film?" Max membuka matanya, menatap Aleandra yang saat itu tersenyum tipis.     

"Yeah, walau yang aku pegang bukan pistol asli tapi aku belajar bagaimana caranya menghadapi musuh ketika melakukan adegan-adegan yang berbahaya."     

Max menutup matanya kembali, menikmati pijatan yang diberikan oleh Aleandra di kepalanya. Pantas saja Aleandra terlihat tidak ragu menghabisi musuh pada malam itu. Walau dia belajar menghabisi musuh dari aksi yang dia perankan tapi tidak buruk. Sepertinya dia harus memberi sebuah senjata untuk Aleandra agar gadis itu bisa menjaga dirinya sendiri. Jangan sampai kejadian malam itu terulang kembali.     

Mereka diam saja, tidak mengatakan apa pun. Aleandra lebih fokus dengan apa yang dia lakukan, setelah mencuci rambut Max, kini dia mulai menggosok punggung Max.     

"Aleandra."     

"Ya?"     

"Mulai besok kau ikut aku pergi ke kantor," ucap Max.     

"Apa?" Aleandra tampak tidak percaya.     

"Kenapa? Apa kau keberatan?"     

"Bukan begitu, Max," Aleandra menghentikan kegiatannya dan menunduk. Bukankah dia akan tertangkap jika dia keluar dari rumah?     

"Kau tidak perlu khawatir, Aleandra. Aku tahu kau sedang dikejar, sangat berbahaya jika kau keluar dari rumah tapi percayalah padaku, aku sudah berjanji akan membantumu dan aku membawamu ke kantor untuk sebuah tujuan."     

"Aku hanya takut orang-orang itu kembali mengejarku," ucap Aleandra.     

"Itulah tujuanku, Aleandra. Aku ingin menangkap mereka sebab itu kau harus menampakkan diri. Jika kau terus bersembunyi, bagaimana aku bisa menemukan mereka? Aku sudah meminta Jared untuk mencari mereka tapi ternyata mereka bergerak secara hati-hati. Aku curiga mereka mendapat bantuan dan mulai bergerak sesuai strategi. Sebab itu kita harus membuat mereka keluar agar aku bisa mendapatkannya," jelas Max.     

"Apa kau yakin?" tanya Aleandra. Jujur dia takut apalagi dia baru saja mengalami kejadian tidak menyenangkan.     

"Tidak perlu khawatir, aku tidak akan membuatmu celaka. Kau tidak seorang diri, aku akan selalu bersama denganmu jadi percayalah aku tidak mungkin membuatmu celaka."     

Aleandra tersenyum, dia sudah meminta bantuan pada Max jadi dia akan percaya pada pria itu.     

"Aku percaya padamu," ucap Aleandra.     

"Bagus, kau memang harus percaya padaku jika kau mau hidup!"     

Aleandra mengangguk, pria itu sudah bersusah payah menyelamatkan nyawanya saat di hutan maka dia tidak boleh meragukan pria itu dan percaya sepenuhnya dengannya.     

Aleandra kembali menggosok punggung Max, dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya karena air bathtub sudah mulai dingin. Walau harus melihat tubuh Max tanpa sensor, tapi dia rasa dia mulai terbiasa. Hm, salahkan pria itu yang suka telanjang di hadapannya.     

Max memakai bajunya, sedangkan Aleandra memanaskan makanan. Dia rasa ide Max tidaklah buruk, untuk mendapatkan mangsa memang harus menggunakan umpan. Dia tidak keberatan menjadi umpan karena Max melakukan hal itu untuk membantunya.     

Setelah Max keluar, mereka makan malam bersama. Aleandra sudah terbiasa, dia bahkan tidak terlihat canggung lagi. Dia jadi ingin tahu, apa Max selalu makan sendiri seperti itu? Padahal dia punya orangtua, apa Max tidak suka bersama dengan mereka? Rasanya ingin bertanya tapi itu privasi jadi Aleandra mengurungkan niatnya.     

"Setelah selesai, datang ke ruanganku sebentar karena ada yang ingin aku berikan padamu!" perintah Max saat Aleandra sedang membereskan piring kotor.     

Aleandra hanya mengangguk, sedangkan Max berlalu pergi. Entah apa yang ingin Max berikan tapi dia harus segera bergegas. Piring di cuci dengan cepat dan setelah itu Aleandra menghampiri ruangan Max.     

"Max," Aleandra memanggil sambil mengetuk pintu.     

"Masuk saja!"     

Pintu dibuka, Aleandra melangkah masuk dan tampak ragu. Dia bahkan mendekati Max dengan canggung.     

"Kemarilah!"     

Aleandra semakin mendekat, Max meraih tangannya saat gadis itu sudah berada di hadapannya.     

"Ini untukmu," ucapnya seraya meletakkan sebuah pistol di tangan Aleandra.     

Aleandra sedikit terkejut, matanya melihat pistol lalu dia melihat ke arah Max dengan tatapan tidak mengerti.     

"Bawa benda itu dan gunakan saat kau membutuhkannya!" ucap Max.     

"Terima kasih, Max. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu," Aleandra tersenyum.     

"Bagus, sekarang kau boleh keluar," ucap Max seraya melangkah menjauh.     

"Terima kasih," tanpa Max duga, Aleandra melangkah mendekatinya dan memberikan sebuah ciuman di pipinya.     

Mata Max menatap gadis itu dengan tajam, sedangkan Aleandra tersipu malu. Dia melakukan hal itu sebagai ungkapan terima kasihnya.     

"I-Itu sebagai ucapan terima kasih," setelah berkata demikian, Aleandra segera melarikan diri sebelum Max mengucapkan sesuatu.     

Sepertinya dia sudah gila karena dia sudah berani mencium bosnya sendiri. Aleandra keluar dari ruangan itu dengan terburu-buru, tapi mata Max tidak lepas darinya. Beraninya gadis itu menciumnya? Sepertinya Aleandra sedang bermain api dengannya dan akan dia balas nanti.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.