Hi's Like, Idiot But Psiko

Aku Tidak Akan Menyesal



Aku Tidak Akan Menyesal

0Aleandra tampak kusut, itu karena dia tidak bisa tidur sama sekali. Semua itu akibat perbuatannya sendiri, tidak seharusnya dia mencium Max. Sepertinya dia sudah gila, tapi dia melakukan hal itu karena dia senang. Dia tidak menduga Maximus begitu baik, padahal dia hanya seorang pelayan. Max bahkan memberinya sebuah senjata, apa pria itu tidak takut dia menembaknya saat itu juga?     

Tapi dia tidak mungkin melakukan hal itu, dia tidak mungkin membunuh orang yang sudah bersedia membantunya bahkan Max tidak meminta apa pun padahal dia sudah menawarkan keperawanannya pada pria itu. Dia juga tidak akan mengkhianati Max. Nomor ponsel yang diberikan oleh Oliver sudah dia buang entah ke mana, itu karena dia tidak mau mengingat tawaran dari wanita itu dan dia akan menganggap mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.     

Dia tidak boleh serakah, cukup Max saja dan dia sudah sangat yakin jika pria itu mampu membantunya untuk membalaskan dendamnya.     

Aleandra bangun dengan enggan, entah bagaimana dia harus bertemu dengan Max nanti yang pasti semua itu karena ulahnya sendiri. Satu ciuman pipi bagaikan boomerang untuknya dan sialnya, dia melakukan hal itu tanpa pikir panjang.     

Dia harap Max tidak memikirkannya dan tidak perhitungan. Hanya sebuah ciuman pipi saja, bukan? Seharusnya itu hal biasa yang tidak perlu didebatkan tapi dia tidak tahu jika Max berniat membalas untuk menggodanya.     

Seperti biasa, Aleandra pergi mandi terlebih dahulu sebelum membuat sarapan. Lupakan ciuman pipi itu, lagi pula tidaklah spesial. Setelah menggunakan pakaiannya, Aleandra mulai sibuk di dapur. Dia akan membangunkan Max setelah sarapan jadi tapi sayangnya pagi ini agak berbeda.     

Tanpa sepengetahuan Aleandra, Max sudah bangun lebih pagi dari pada biasanya. Dia bahkan sudah mandi dan terlihat rapi, dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menggoda pembantu cantiknya.     

Max keluar dari kamar, dapur menjadi tempat tujuan karena dia tahu Aleandra ada di sana. Max tersenyum melihat gadis itu, dari pada menganggap dirinya gila lebih baik dia bersenang-senang dan melakukan apa yang ingin dia lakukan.     

Aleandra tidak menyadari kehadirannya, bahkan suara langkah kakinya tidak dia dengar. Aleandra sedang mengambil bumbu dapur ketika Max sudah berdiri di belakangnya dan memeluknya.     

"Morning, Aleandra."     

Aleandra terkejut, bumbu dapur yang dia ambil lepas dari tangannya dan terjatuh di atas meja. Matanya bahkan terbelalak saat Max mencium pipinya. Tunggu, sepertinya ada yang salah.     

"Ma-Max!" Aleandra hendak menyingkirkan tangan Max yang melingkar di perutnya.     

"Kenapa? Kau boleh menciumku, apa aku tidak boleh menciummu?"     

"Bu-Bukan begitu," Aleandra gugup luar biasa.     

"Jadi, aku boleh menciummu bukan seperti apa yang kau lakukan padaku semalam?"     

"Tapi itu ciuman sebagai tanda terima kasih," ucap Aleandra.     

"Dan ini ciuman selamat pagi," ucap Max pula.     

"Aku rasa tidak pantas melakukannya."     

"Kenapa tidak pantas? Apa kau pantas menciumku dan aku tidak pantas, begitu?"     

Aleandra menggigit bibir dan menunduk, apa lagi yang bisa dia ucapkan?     

"Tapi aku pelayanmu," ucapnya.     

"Wah, waktu kau menciumku kau tidak memikirkan hal ini," Max semakin sengaja.     

Aleandra mengumpat dalam hati, sial. Pasti pria itu sengaja meributkan satu ciuman pipi yang dia berikan. Bukankah pria itu berkata jika dia sudah memerawani banyak wanita? Seharusnya satu ciuman pipi saja tidak jadi soal, bukan?     

"Ba-Bagaimana jika pacarmu melihat? Kau tidak mau hal ini menjadi skandal, bukan?"     

"Sepertinya kau sangat peduli dengan hal ini, Aleandra."     

"Bukan begitu," Aleandra masih menunduk dan kembali mengumpat dalam hati, apa Max sedang menggodanya atau pria itu sengaja mengganggunya?     

Max tersenyum, tubuh Aleandra membeku saat Max memainkan beberapa helai rambut pendeknya dan menciumnya.     

"Apa kau mau jadi kekasihku, Aleandra?" tiba-tiba Max bertanya demikian.     

Aleandra terkejut mendengar pertanyaan itu, dia bahkan memutar tubuhnya karena dia ingin melihat ekspresi wajah Max. Max tersenyum, dia ingin melihat apa jawaban yang akan Aleandra berikan.     

"Tolong jangan bercanda dengan hal seperti ini, Max. Aku tahu kau hanya menggoda aku saja tapi aku tidak ingin ada yang salah paham dengan ucapanmu. Mungkin kau ingin menggoda aku tapi yang mendengar bisa salah paham."     

"Jadi kau mengira aku menggodamu saja?"     

"Jika kau tidak sedang menggoda aku, lalu apa namanya? Aku sudah punya pacar dan aku rasa kau juga sudah punya."     

"Jadi kau sudah punya pacar?"     

"Tentu saja punya," jawab Aleandra karena dia memang memiliki kekasih di Rusia.     

"Apa kau meminta pertolonganku agar kau bisa kembali ke Rusia dan bertemu dengan pacarmu lagi?" Max mengangkat dagu Aleandra dan menatapnya tajam. Entah kenapa dia jadi tidak senang mendengarnya dan hal itu mengusik dirinya.     

"Tidak, jangan salah paham," ucap Aleandra.     

"Kenapa memangnya jika aku salah paham? Apa menjadi masalah untukmu?"     

Aleandra diam saja, sesungguhnya dia kesal karena Max seperti sedang memancing dirinya. Apa sebenarnya yang pria itu inginkan? Dia benar-benar tidak paham.     

"Sarapannya belum jadi," Aleandra mengalihkan percakapan. Dia rasa percakapan mereka tidak akan selesai.     

"Kau belum menjawab aku, Aleandra. Apa selain balas dendam kau juga ingin bertemu dengan kekasihmu? Jika memang itu tujuanmu aku bisa meminta seseorang membawanya kemari agar kau bisa bertemu dengannya!"     

Aleandra terbelalak mendengar ucapan Max. Apa pria itu tidak sedang bercanda? Jika Max tidak bercanda, bukankah dia bisa bertemu dengan kekasihnya lagi? Aleandra memeluk lengannya dan berpaling, sedangkan Max masih menatapnya tajam.     

"Tidak," jawab Aleandra.     

"Kenapa? Bukankah ini kesempatan untukmu bertemu dengannya?"     

"Tidak, terima kasih atas tawaranmu, Max. Saat ini keinginanku hanya satu, yaitu balas dendam. Aku tidak butuh yang lainnya lagi. Lagi pula aku sudah terikat denganmu untuk seumur hidup. Bukankah kau tidak akan melepaskan aku dan membiarkan aku pergi? Aku akan menjadi pelayanmu dan bekerja dengan baik, mulai sekarang aku akan selalu berada di sini dan tidak akan pergi sampai kau sendiri yang mengusir aku pergi. Aku akan mengikuti semua perintahmu, jika kau ingin aku mati maka aku akan mati. Jika kau meminta aku melompat maka aku akan melompat jadi aku akan melupakan semua kesenangan yang pernah aku rasakan dan aku juga akan melupakannya!"     

"Aku sudah berbaik hati tapi kau menolak, jangan sampai menyesal nantinya," ucap Max.     

"Tidak, aku tidak akan menyesal," Aleandra tersenyum. Tentu dia tidak akan menyesal dengan apa yang dia putuskan. Lagi pula dia sudah tidak mempedulikan masalah percintaan karena dia akan berada di sana untuk seumur hidupnya. Walau harus menjadi pelayan untuk seumur hidup, dia tidak keberatan sama sekali.     

Beruntungnya dia masih perawan sehingga dia tidak tahu bagaimana rasanya dibelai oleh laki-laki, Yeah, dia akan menjadi tua dan mati dalam keadaan perawan pula. Tidak buruk, lagi pula banyak yang mati dalam keadaan perawan.     

"Baiklah," Max melangkah mundur. Perasaannya sedikit lega karena Aleandra tidak mempedulikan kekasihnya lagi. Aneh, untuk apa dia lega? Aleandra mau mempedulikan kekasihnya lagi atau tidak seharusnya dia tidak mempedulikan hal itu.     

"Baiklah jika itu maumu, jangan menyesali keputusan yang sudah kau ambil."     

"Tidak, aku tidak akan menyesal," ucap Alendra.     

"Bagus, hari ini ikut aku ke kantor. Tidak perlu memikirkan pekerjaan rumah, ada pelayan yang datang membersihkan rumah ini nanti."     

Aleandra mengangguk, sedangkan Max melangkah pergi. Aleandra kembali melanjutkan membuat Sarapan, dia memang sudah tidak peduli dengan yang lainnya selain dendamnya. Sudah bisa membalas kematian kedua orangtuanya saja sudah cukup, dia tidak membutuhkan yang lainnya. Asmara atau apa pun itu, harus dia lupakan.     

Max berada di dalam ruangannya saat itu, matanya tidak lepas dari kolam renang yang dapat dia lihat dengan jelas dari jendela ruangannya. Beberapa hari ini dia merasa aneh, dia sendiri tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Kenapa dia mau membantu Aleandra. Apa dia benar-benar iba dengan gadis itu atau? Semakin di pikir, semakin membuatnya tidak mengerti.     

Max mengusap wajahnya dengan kasar, lupakan. Dia tidak suka banyak berpikir apalagi untuk seorang wanita. Dari pada memikirkan hal yang tidak penting lebih baik dia fokus dengan pekerjaannya saja. Max melangkah menuju meja dan mengambil ponselnya yang ada di sana. Setelah mendapatkan benda itu, dia kembali berdiri di depan jendela.     

"Jared, siapkan sebuah meja kerja di ruanganku!" perintahnya. Tentu meja itu untuk Aleandra. Gadis itu tidak boleh jauh-jauh darinya sekalipun berada di kantor.     

"Yes, Master," jawab Jared, tentunya dia sangat heran dengan permintaan bosnya. Siapa yang akan menggunakan meja itu nanti? Apa bosnya sudah punya pacar? Dia jadi penasaran dan ingin melihat siapa yang akan menggunakan meja itu nanti.     

"Mulai sekarang bawakan makan siang untuk dua orang di ruanganku!" perintah Max lagi.     

Jared kembali menjawab, dia akan menjalankan sesuai perintah. Setelah percakapan itu selesai, Jared menyiapkan meja kerja yang bosnya inginkan, tentunya dengan perangkat komputer nantinya.     

Max masih memandangi kolam renang, entah apa yang sedang dia pikirkan. Di luar sana, Aleandra sudah berdiri di depan pintu dan mengetuknya perlahan.     

"Max, sarapan sudah jadi," ucapnya.     

Max diam saja, dia juga belum beranjak. Tiba-Tiba dia mengijinkan seorang wanita tinggal dengannya dan tentunya dia merasa sedikit berbeda.     

"Max," Panggil Aleandra lagi.     

Max tersenyum, Aleandra tidak seperti pelayannya tapi sudah seperti kekasihnya saat ini. Apa Aleandra tidak menyadarinya? Anehnya dia tidak keberatan sama sekali.     

"Max," Aleandra kembali memanggil, apa bosnya tidak ada di dalam sana? Tapi dia sangat yakin karena dia sudah mencari pria itu di kamarnya tadi. Aleandra hendak melangkah pergi tapi tiba-tiba saja pintu ruangan terbuka.     

Mata Aleandra tidak lepas dari sosok pria tampan yang keluar dari ruangan itu, mata Max juga tidak lepas darinya.     

"Kenapa begitu cerewet? Apa kau tidak tahu, kau sudah seperti pacarku saja!" ucap Max.     

"A-Apa? Tidak!" wajah Aleandra tampak tersipu.     

"Aku tidak keberatan jika kau mau."     

"Tidak perlu menggoda, aku tidak berminat!" tolak Aleandra seraya melangkah pergi.     

"kenapa? Apa kau takut sosis Amerika ini tidak bisa memuaskan dirimu?"     

Aleandra hampir terjungkal saat mendengar perkataan Max. Kenapa pria itu selalu mengungkit perihal sosis Amerika? Semua ini gara-gara perkataannya.     

"Ja-Jangan asal bicara," Aleandra melangkah terburu-buru dengan wajah memerah, sedangkan Max terkekeh. Sangat menyenangkan menggoda gadis itu dan dia akan menggodanya lagi nanti.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.