Hi's Like, Idiot But Psiko

Gadis Berbahaya



Gadis Berbahaya

0Mobil sudah berhenti, Aleandra turun dari mobil dengan terburu-buru dan berlari seperti sedang melarikan diri dari sesuatu. Dia bahkan tampak panik saat hendak membuka pintu. Max melangkah lebar, ingin lari darinya? Jangan harap bisa.     

"Oh, tidak... tidak!" Aleandra semakin panik.     

Dia tahu acara mandi mereka tidak akan berakhir baik. Entah kenapa dia merasa seperti sedang dikejar oleh seekor serigala lapar. Mungkin julukan itu memang pantas untuk Maximus karena dia tidak akan melepaskan Aleandra.     

"Kau mau lari ke mana, Aleandra? Aku ingin kau menggosok punggungku sampai bersih!"     

"Sudah malam, Max. Lain kali saja!" Aleandra masih berusaha memasukkan kunci ke lubangnya. Sial, gara-gara panik membuatnya kesulitan memasukkan kunci itu.     

"Gajimu akan aku potong jika kau menolak."     

"Tidak apa-apa!" Pintu dibuka, Aleandra hendak berlari masuk ke dalam tapi sayangnya, Max sudah meraih pinggangnya sebelum dia melewati pintu.     

"Tertangkap kau!"     

"Max, aku hanya pelayanmu!" teriak Aleandra saat Max mengangkatnya dan membopongnya di atas bahu.     

"So? Aku tidak keberatan dengan pelayan!"     

Apa?" Aleandra terkejut. Kenapa Max berbicara seolah-olah mereka hendak melakukan hal itu?     

"Luka di pinggangku sakit, aduh. Perutku juga lapar!" ucap Aleandra.     

"Jika begitu aku mau melihat lukanya!"     

"Apa? Tapi aku lapar!"     

"Kita akan makan nanti!"     

"Shit!" umpat Aleandra.     

Max tersenyum lebar, dia hanya ingin menggoda Aleandra saja tapi gadis itu malah kabur sehingga membuatnya semakin ingin menggodanya. Aleandra memberontak, dia juga berusaha memukul punggung Max.     

"Max, ada yang ingin aku bicarakan padamu," ucapnya.     

"Apa? Kita bisa bicarakan nanti!"     

"Serius, oh God. Aku memang menawarkan diriku padamu waktu itu tapi sesungguhnya aku takut melakukan hal itu!" ucap Aleandra.     

"Memangnya melakukan apa, eh?" Max menurunkan Aleandra setelah mereka berada di dalam kamar.     

"Melakukan, hm?" Aleandra membuang wajahnya yang memerah.     

"Apa yang kau pikirkan, Aleandra? Sepertinya yang aku katakan tidak salah, kau memiliki fantasi liar tentang hal itu!"     

"Tidak, enak saja!" wajah Aleandra semakin merona.     

"Kau terlihat begitu mengharapkannya, Aleandra," Max mengangkat dagu Aleandra. Mereka berdua saling pandang. Jantung Aleandra berdebar, tatapan tajam Maximus membuatnya sulit berpaling.     

"Jawab aku, Aleandra? Apa kau ingin melakukan hal itu?" Max mendekatkan bibir mereka dan menempelkan bibirnya yang dingin ke bibir Aleandra.     

Mata Aleandra melotot, napasnya juga tertahan. Dia jadi mengingat ciuman panas yang mereka lakukan di kantor. Sial, apa dia mengharapkan ciuman panas dari pria itu lagi?     

"Kau belum menjawab aku, Aleandra?"     

Aleandra menggeleng tapi matanya masih tidak lepas dari wajah tampan Max yang begitu dekat. Pria itu tidak juga menyingkirkan bibirnya, dia semakin sengaja menggoda Aleandra menggunakan bibirnya yang bermain di wajahnya lalu kembali ke bibir. Jantung Aleandra semakin berdebar, dia rasa jantungnya tidak akan kuat jika selalu di goda seperti itu.     

Max berhenti menggodanya, matanya kembali menatap Aleandra dengan tajam. Gadis itu benar-benar sudah membuatnya gila. Sekarang dia ingin menggoda Aleandra lagi dan lagi karena dia merasa tidak mau berhenti. Jarinya sudah berada di bibir Aleandra, mengusap bibirnya dengan perlahan.     

"Max," Aleandra memanggilnya.     

Max memejamkan mata, dia juga melangkah mundur. Sial, dia tahu dia tidak akan berhenti jika dia kembali mencium bibir gadis itu lagi. Dia tahu dia tidak akan pernah melepaskan Aleandra. Gadis itu akan dia tawan untuk seumur hidup tapi bukan menjadi pelayannya lagi. Aleandra tidak akan pernah bisa pergi darinya, dia juga tidak akan mengijinkan satu orang pria pun dekat dengannya. Akan sangat berat dicintai olehnya dan dia rasa gadis itu tidak akan sanggup.     

Max mengusap wajahnya dan melangkah pergi, Aleandra menatapnya heran. Umpatan pria itu bahkan terdengar walau pelan.     

"Max,"Aleandra kembali memanggil.     

"Keluar, Aleandra. Pergi buat makanan!" perintahnya.     

Aleandra menatapnya dengan tatapan heran, walau tidak mengerti tapi dia keluar dari kamar sesuai perintah. Entah apa yang terjadi, sebaiknya dia tidak bertanya.     

Max melihat kepergiannya dari balik bahu, wajah diusap dengan kasar setelah pintu tertutup. Seharusnya dia tidak bermain api, seharusnya dia langsung membunuh gadis itu waktu itu. Sekarang dia justru terjebak, seharusnya dia tidak bermain dengan tawanannya.     

Umpatan Max kembali terdengar, dia jadi kacau hanya gara-gara seorang wanita. Semua itu sudah tidak benar, dia sudah tidak seperti dirinya sendiri. Max melepas semua baju yang dia gunakan, dia berdiri di bawah guyuran air shower. Aleandra, gadis itu berbahaya untuknya.     

Di luar sana, Aleandra membuat makanan untuk mereka dengan banyak pikiran. Sikap Max yang tiba-tiba berubah benar-benar membuatnya tidak mengerti. Tapi biarlah, dengan begini dia tidak perlu memandikan pria itu. Jujur dia tidak sanggup jika harus melihat tubuh Max lagi.     

Sebaiknya dia segera menyelesaikan makanan yang dia buat. Di lihat dari suasana hati Max, sepertinya sedang tidak baik dan dia tidak mau membuat kesalahan. Walau dia tidak ingin memikirkannya tapi sayangnya tidak bisa, Aleandra mengumpat sesekali, dua jari teriris pisau, dia juga menyentuh wajan panas tanpa sengaja. Sepertinya malam ini dia jadi kacau.     

"Aleandra," Panggilan dari Max mengejutkan dirinya, gelas yang Aleandra pegang jatuh ke atas lantai dan hancur berantakan.     

"Oh, Tuhan. Kau menggagetkan aku!" ucap Aleandra.     

"Kenapa kau melamun?" Max melangkah mendekati, sedangkan Aleandra berjongkok untuk membereskan pecahan beling.     

"Ma-Maaf, akan aku ganti nanti," ucapnya tanpa berani mengangkat wajah untuk melihat Max.     

"Tidak perlu dipikirkan, hanya sebuah gelas saja!"     

"Ada apa? Aku belum selesai membuat makanannya," Aleandra beranjak karena dia ingin mengambil alat untuk membersihkan pecahan beling.     

"Aku tidak makan di rumah," ucap Max.     

"Kenapa? Makanannya akan segera selesai jadi tunggulah sebentar," ucap Aleandra.     

"Jangan banyak bertanya, Aleandra!" teriak Max lantang.     

Aleandra terkejut, dia bahkan memandangi pria itu dengan tatapan tidak mengerti. Kenapa Max berteriak seperti itu? Apa dia sudah menanyakan sesuatu yang salah?     

"Berhenti banyak bertanya karena aku tidak suka dan turuti saja apa yang aku katakan!" Setelah berkata demikian Max melangkah pergi, dia harus keluar dari dapur secepatnya jika tidak dia bisa lepas kendali. Beberapa luka yang ada di jari Aleandra membuatnya sangat ingin meraih tangannya dan menghisap jarinya, dia tahu dia tidak akan berhenti sampai di sana jika dia melakukannya. Agar gadis itu aman darinya sebaiknya dia pergi, dia melakukan hal itu untuk kebaikan Aleandra karena dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan jika dia sudah lepas kendali.     

Aleandra tidak bergeming, dia sungguh tidak tahu apa yang telah terjadi dan kesalahan apa yang telah dia lakukan. Suara pintu yang ditutup dengan kasar mengejutkan dirinya. Aleandra berjalan menuju kursi dan duduk di sana, matanya jatuh pada makanan yang sudah jadi di atas meja.     

Rasa ingin tahu memenuhi hati, padahal tadi mereka baik-baik saja. Apa dia sudah keterlaluan dan lupa siapa dirinya? Napas berat dihembuskan, sepertinya memang demikian. Dia hanya pelayan Max, mungkin Max tidak senang dan marah karena sikapnya yang sudah seperti kekasihnya.     

"Bodoh dasar kau bodoh, Aleandra!" ucapnya seraya memukul kepalanya sendiri.     

"Kau terlalu tidak tahu diri karena kebaikannya dan bertindak sesuka hati bagaikan nyonya rumah padahal jelas-jelas kau hanya pelayannya saja!" Aleandra kembali menghela napas, "Lihatlah, kau menuai hasil dari apa yang kau lakukan," ucapnya lagi.     

Aleandra kembali menggerutu, dia akan meminta maaf pada Max saat pria itu kembali dan dia tidak akan berlaku tidak sopan lagi tapi sesungguhnya Max pergi bukan karena hal itu. Max hanya tidak ingin melukai Aleandra karena dia tahu dia tidak akan berhenti.     

Aleandra beranjak, sebaiknya dia segera membersihkan pecahan gelas agar tidak melukai siapa pun tapi di rumah itu hanya ada dirinya saja. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa sepi dan yeah, rumah itu memang sepi. Setelah membersihkan pecahan gelas, Aleandra makan sendiri dan setelah itu dia masuk ke dalam kamar.     

Sementara itu, Marline terkejut dan sangat heran ketika melihat putranya pulang. Max meminta ibunya membuatkan makan malam untuknya dan tentunya hal itu semakin membuat ibunya heran.     

"Ke mana Aleandra, apa dia tidak membuatkan makanan untukmu?" tanya ibunya saat mereka berada di meja makan.     

"Dia ada di rumah," jawab Max.     

"Lalu, kenapa dia tidak membuatkan makanan? Apa dia sakit?"     

"Tidak!" Max menjawab dengan singkat.     

Marline menatap putranya dengan tatapan curiga. Apa telah terjadi sesuatu dengan mereka berdua? Entah kenapa dia merasa demikian, putranya juga terlihat aneh tidak seperti biasanya.     

"Jika dia tidak sakit, lalu kenapa?"     

"Mom," Max menyela ucapan ibunya.     

"Bisakah tidak membicarakan Aleandra? Aku hanya ingin di rumah dan tidur di sini untuk beberapa saat. Apa Mommy keberatan?"     

"Tentu tidak, Sayang. Rumah ini juga rumahmu, tentu saja Mommy tidak keberatan. Mommy hanya ingin tahu ada apa dengan Aleandra saja."     

"Dia baik-baik saja di rumah, Mommy tidak perlu khawatir," ucap Max.     

"Baiklah, habiskan makananmu. Mommy tidak akan bertanya lagi."     

"Thanks," Max menikmati makanan yang ibunya buatkan tapi ibunya semakin penasaran karena dia merasa ada yang aneh pada putra semata wayangnya itu. Sebaiknya besok dia melihat keadaan Aleandra tanpa sepengetahuan putranya, jujur dia khawatir putranya telah melakukan sesuatu pada gadis itu tapi sesungguhnya belum, itu sebabnya Max lebih memilih pulang agar dia tidak lepas kendali.     

Setelah selesai makan, Max masuk ke dalam kamar tanpa berkata apa-apa. Lemari adalah tempat yang dia butuhkan. Max masuk ke dalam lemari dan menutupnya rapat, tempat gelap itu benar-benar memberinya ketenangan. Malam ini dia bisa menjauhi gadis itu tapi bagaimana dengan malam berikutnya? Sial, dia tidak yakin bisa menahan diri jika melihat Aleandra. Dia hanya tidak mau menyakiti Aleandra karena gadis itu bisa membenci dirinya.     

Max mengusap wajah, sejak kapan dia mempedulikan hal seperti ini? Dia tidak pernah mempedulikan siapa pun apalagi perasaan seorang wanita tapi kenapa dia peduli dengan perasaan Aleandra. Max mengumpat, dia benar-benar sudah membuat kesalahan besar dnegan membiarkan gadis berbahaya itu tinggal di rumahnya.     

Pikirannya jadi buntu, napas berat dihembuskan. Malam ini saja dia seperti ini tapi untuk esok dan seterusnya dia tidak akan seperti ini lagi. Mulai sekarang dia tidak boleh menggoda gadis itu.     

Malam itu tidak dia saja yang kacau, Aleandra juga tidak bisa tidur. Dia sudah berpikir dengan keras untuk mencari setiap kesalahan yang dia lakukan. Selain sikapnya yang sudah keterlaluan, sepertinya sudah tidak ada lagi. Ya, sepertinya itulah kesalahannya dan dia akan meminta maaf pada Max saat pria itu kembali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.